Tin-tin!
Suara klakson dari arah depan, samping, sampai jauh di belakang saling bersahutan. Jalan raya semakin padat merayap. Panas dan terik matahari semakin menyengat. Helaan napas pun terasa panas. Kepulan asap dari knalpot-knalpot bocor pun tak terhindarkan. Bahkan, di hadapanku kini, cerobong asap dari salah satu bus keluar.
Hyuuuh!
Cepat-cepat aku menangkis asap hitam pekat itu agar menjauh dariku. Ah sial, kenapa aku tidak mengenakan masker saja? Bodoh! Umpatku dalam hati. Kaca helm segera kuturunkan, sebagai antisipasi kalau bus umum dan hampir tak layak pakai itu mengeluarkan kentutnya lagi.
Tin-tin!
Klakson-klakson dari banyak kendaraan bermotor saling beradu. Tak peduli seberapa banyak orang yang terganggu. Yang paling terpenting adalah aku sampai tujuan dengan cepat! Semakin siang, jalanan semakin padat merayap dan macet tak dapat terhindarkan.
Seperti banyak pengendara sepeda motor lainnya, mencari celah antar kendaraan besar menjadi hal biasa, melaju perlahan, berbelok-belok, saling lempar klakson, mengerem ndadak, bahkan sampai mengumpat. Ah iya, ada satu hal lagi yang dilupakan, dalam keadaan macet seperti ini, mereka—termasuk aku—melupakan orang-orang pejalan kaki yang sebenarnya ada hak untuk menyeberang.
“Tunggu! Bukankah menyeberang harusnya di zebra cross?” tanyaku pada diri sendiri. Kulihat, jalan kota yang sering kulalui ini tak ada zebra cross, lalu bagaimana nasib para pejalan kaki?
Trabas saja!
Mereka juga tahu kalau para pengendara juga tergesa-gesa!
Lihat saja, mereka akan mengalah!
Pikiranku kelayapan. Mencari berbagai asumsi untuk dibenarkan. Egoku mendesakku untuk terus melaju tanpa henti kecuali dihentikan oleh traffic light merah.
*****
“Kenapa Bapak berhenti?” tanyaku dengan polosnya.
Bapak tak menjawab, malah tersenyum dan mengangguk setelah melihat sepasang suami istri yang sudah tua berjalan melewati kami. Orang tua itu mengangguk ke arah bapak lengkap dengan senyuman yang mengembang. Seketika mobil dan motor yang hendak melintas juga berhenti. Menunggu sepasang suami istri yang sudah tua itu lewat—menyeberang ke ujung jalan.
Aku tersenyum.
Tak lama motor matik yang kami naiki melaju. Bahkan orang-orang yang sempat terhenti pun melaju. Karena penasaran, aku menengok orang tua tadi, mereka melihatku lalu tersenyum dan melambaikan tangan.
“Walaupun terlihat kecil, tetapi sangat berharga bagi orang tua tadi, kan, Nak?” lirih Bapak yang tetap fokus berkendara.
Seketika aku terdiam.
*****
Deg!
Tak jauh dari pandanganku, seorang laki-laki paruh baya dengan tongkat di tangan kananya berhenti di ujung trotoar. Aku masih mengamatinya sesekali melaju perlahan atas matik yang kunaiki. Sedangkan orang-orang tak henti-hentinya mengklakson, saling berebut jalan kosong agar cepat terbebas dari macet.
Semakin lama jarakku dengan laki-laki paruh baya itu semakin dekat. Lelaki paruh baya itu mulai melangkah ke jalan. Tongkat di tangan kanannya terketuk-ketuk di atas aspal jalan raya. Di lengan tangan kirinya penuh dengan koran.
Jalan raya semakin ramai, sesak, dan macet. Bahkan ketika jalan raya ada celah sesenti pun, kendaraan bermotor datang menyerbu dengan berdesak-desakan. Tak ada yang mau mengalah.
Tin-tin!
Lelaki paruh baya itu masih mengetuk-ngetukkan tongkatnya di atas aspal jalan raya. Sedangkan orang-orang yang melewati lelaki tersebut tidak peduli.
“Hei, tolong berhenti sejenak! Pelankan laju kendaraanmu!”
Seketika kendaraan bermotor yang melaju berhenti. Orang-orang tanpa perintah dengan sepakat menoleh ke samping kanan, kiri, depan, dan belakang untuk mencari sumber suara. Semua pasang mata tertuju padaku; lelaki berjaket, helm, dan tas ransel yang serba hitam.
Aku benci melakukan hal ini, menjadi pusat perhatian di tengah kemacetan kota. Tetapi apa boleh buat, hanya ini yang bisa kulakukan untuk lelaki paruh baya yang kuketahui ternyata buta.
“Terima kasih, Nak, semoga rezekimu selalu melimpah.” Lelaki paruh baya kembali melangkah di trotoar seberang jalan dengan raut muka bahagia.
Aamiin, terima kasih, Pak Tua! Batinku.