Aristoteles, filsuf Yunani abad 3 SM beranggapan bahwa kebahagiaan tidak dapat sempurna, kecuali bila dibarengi dengan hal-hal yang bersifat material seperti: kekayaan, kesehatan, popularitas, sukses dalam pencapaian, memiliki pandangan dan wawasan luas dll.
Para psikolog dekade terakhir ini, mendefinisikan kebahagiaan sebagai subjective well being (kesejahteraan subyektif). Kebahagiaan menurut pandangan ini adalah sesuatu yang saya rasakan di dalam diri saya sendiri, suatu perasaan kesenangan terkait dengan keadaan yang berlangsung dalam hidup saya.
Ada korelasi positif antara kekayaan dan kesejahteraan subyektif, istilahnya ‘uang membawa kebahagiaan’. Ungkapan tersebut ada benarnya, namun hanya pada satu titik tertentu dan di luar titik itu signifikansinya kecil. Contoh seorang pekerja dengan penghasilan di bawah UMR (1,2 juta perbulan) mendapatkan undian berhadiah 2,5 M. Ia mungkin akan mengalami sebuah lonjakan signifikan dan berjangka panjang dalam hal kesejahteraan subyektif. Namun jika seorang eksekutif papan atas dengan gaji 200 juta perbulan menang lotere 5 M, kebahagiaannya akan melonjak, tetapi dalam beberapa waktu segera terasa menjadi hal yang tidak istimewa. Ia akan segera membeli mobil yang lebih mentereng, pindah ke rumah megah dan belanja berbagai kemewahan lain, selanjutnya hidup akan kembali menjadi rutinitas yang biasa.
Sakit bisa menurunkan kebahagiaan dalam jangka panjang, terutama pada penyakit yang memburuk kondisinya atau yang mendatangkan rasa nyeri terus menerus dan melemahkan. Orang-orang yang didiagnosis sakit kronis seperti diabetes, jika sakitnya tidak memburuk, mereka bisa menyesuaikan diri dengan kondisi baru dan tingkat kesejahteraan subyektifnya masih sama tingginya dengan orang sehat.
Keluarga dan komunitas tampaknya memiliki dampak lebih besar dalam kebahagiaan dibanding uang dan kesehatan. Seorang cacat melarat yang dikelilingi dengan keluarga yang penuh cinta dan komunitas yang hangat bisa merasa lebih baik ketimbang seorang miliuner bertubuh atletis tapi hidupnya sendirian dan terasing, atau punya keluarga yang berantakan.
Dari semua paparan itu, temuan yang paling penting adalah kebahagiaan tidak benar-benar tergantung pada kondisi-kondisi obyektif, entah berupa kekayaan, kesehatan, atau bahkan komunitas. Namun ia tergantung pada korelasi antara kondisi-kondisi obyektif dan ekspektasi-ekspektasi subyektif. Ini cocok dengan pandangan Socrates, bahwa kebahagiaan tidak lahir dari sesuatu yang bersifat material, tetapi akibat kondisi kejiwaan dan moral, yakni lahirnya harmonisme antara keinginan manusia dengan kondisi dan situasi yang sedang mereka alami.
Semakin besar gap antara keinginan dan kenyataan maka semakin membuat Anda tidak merasa bahagia. Jika Anda ingin mobil carry dan berhasil mendapatkan mobil tersebut, maka Anda akan bahagia. Tapi jika Anda ingin mengendarai Pajero tapi kenyataannya naik mobil ‘PAnas jobo JERO’ (mobil tak ber AC), Anda tentu akan merasa kecewa. Nasihat bijak menyampaikan: “Rasa puas dengan apa yang Anda dapatkan jauh lebih penting daripada mendapatkan lebih banyak dari yang Anda inginkan”.
Jika ternyata kebahagiaan ditentukan oleh harapan dan keinginan, maka tayangan media massa, industri periklanan, dan media sosial tanpa Anda sadari akan menipiskan cadangan kebahagiaan. Ketidakbahagiaan seseorang tidak semata disebabkan oleh kemiskinan, penyakit, korupsi, penindasan politik dll tapi juga oleh paparan gaya hidup orang yang lebih kaya, standar-standar negara maju dll.
Merasa Cukup (Qana’ah)
Dalam konteks ini, agama mengajarkan untuk merasa cukup dengan apa yang ada. Mensyukuri sekecil apapun nikmat yang datangnya dari Tuhan untuk dirinya. Dalam kondisi tersebut jiwanya akan merasa puas dan berkelimpahan. Kepuasan hati merupakan kekayaan yang tak kunjung habis. Jika Tuhan memberikan kelebihan materi maka ia akan berbagi karena telah merasa berkecukupan. Jika ditakdirkan dalam kondisi penuh keterbatasan maka dia akan menerima, merasa cukup dengan kesederhanaan, dan bersabar.
Merasa cukup (qana’ah), akan bisa meminimalisir gap antara harapan/keinginan dan kenyataan. Disitulah terletak dasar bagi kebahagiaan (happiness). Nabi saw bersabda: “Beruntunglah siapa yang memeluk Islam dan hidup dalam keadaan berkecukupan serta dianugerahi qana’ah (puas hati) atas apa yang dianugerahkan Allah kepadanya” (HR. Muslim)
Al Ghazali menawarkan obat mujarab agar bisa merasakan sifat qana’ah:
- Sederhana dalam gaya hidup
- Tidak berpanjang angan yang bisa menyebabkan rasa khawatir akan masa depan dan hidupnya menjadi penuh ketegangan.
- Pengetahuan akan kemuliaan sifat qana’ah. Orang yang qana’ah sedikit kebutuhannya pada manusia, maka kehidupannya menjadi merdeka, penuh kemuliaan dan mendapatkan pahala di akhirat
- Membandingkan perilaku orang-orang yang tidak dipandu oleh agama serta enggan memfungsikan akalnya dengan hal ikhwal qana’ah yang diamalkan oleh para Nabi, Khulafaurrasyidin, Tabi’in, para Wali dll
- Kesadaran akan bahayanya menimbun harta dan kemewahan, seperti: kekhawatiran akan kecurian, terjerumus pada kemaksiyatan dan dosa besar, serta habis usia tapi tanpa makna. Untuk memperkuat sifat qana’ah, perlu sering melihat pada yang lebih rendah, sehingga bisa bersyukur.
Link Terkait: