Ada 3 fungsi pakaian menurut al Qur’an, pertama untuk menutup aurat dan memenuhi estetika atau keindahan (Al A’raf : 26). Kedua, melindungi dari cuaca panas dan dingin serta untuk menjaga ketentraman (An Nahl : 81). Ketiga, sebagai pembeda identitas satu orang dengan lainnya dalam sifat atau profesinya (Al Ahzab : 59).
Batasan Aurat
Al Qur’an tidak menetapkan secara jelas dan rinci batas-batas aurat sehingga terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ketentuan berpakaian yang disepakati adalah:
- Jangan bertabarruj (meniru gaya pakaian jahiliyah)
- Jangan mengundang perhatian pria
- Jangan memakai pakaian transparan
- Jangan memakai pakaian yang menyerupai lelaki
Perbedaan Pandangan Ulama terkait batasan aurat wanita adalah sebagai berikut:
- Seluruh Tubuh Wanita Aurat
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
Hai Nabi, katakanlah kepada isterimu, anak perempuanmu dan isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (al Ahzab : 59)
Jilbab dipahami sebagai selimut yang menutupi baju dan kerudung yang dipakai. Ayat tersebut dianggap berlaku umum untuk seluruh muslimah, seperti disampaikan oleh Al Jashas (Pakar tafsir): “Perempuan semuanya aurat, maka tidak boleh membukanya kecuali kondisi darurat atau ada kebutuhan seperti menyampaikan persaksian atau pengobatan penyakit”.
Jadi seluruh tubuh wanita, termasuk suaranya, adalah aurat. Para wanita harus berada di dalam rumah, jika keluar harus tertutup rapat (bercadar). Ketika berbicara dengan non muhrim harus melalui tabir. Mereka memahami ayat hijab (Al Ahzab : 53) dengan makna tabir yang bertujuan menutup seluruh badan wanita. Sandarannya adalah hadits hasan gharib: “Wanita adalah aurat, maka apabila ia keluar (rumah), maka setan tampil membelalakkan matanya dan bermaksud buruk kepadanya” (HR. Tirmidzi).
Hadits tersebut sebenarnya tidak menunjukkan seluruh tubuh wanita itu aurat, bisa jadi bagian tertentu atau gerakannya yang dapat menimbulkan rangsangan. Ulama Hadits, Nashiruddin al-Albani tidak mendukung pendapat seluruh tubuh wanita aurat karena alasan lemahnya argumen yang dikemukakan. Pakar tafsir, Quraish Shihab sependapat dengan Albani dan menambahkan bahwa pakaian memiliki fungsi sebagai hiasan atau keindahan. Di jaman Nabi saw wanita juga boleh keluar rumah untuk melakukan aneka kegiatan positif.
- Seluruh Tubuh Kecuali Wajah dan Telapak Tangan
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (al Ahzab : 53)
Ulama kelompok ini memahami hijab bukan dalam arti pakaian, tetapi tabir atau tirai. Al Qadhi Iyadh memahami ayat hijab ini hanya berlaku khusus untuk para istri Nabi saw tidak berlaku umum untuk seluruh muslimah. Tidak semua perintah untuk Nabi saw berlaku untuk semua muslim.
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya… (an Nur : 31)
Ayat ini ketika bicara tentang أَبْصَارِ (pandangan) menggunakan مِنْ yang berarti sebagian. Sedangkan ketika menyebut فُرُوجَ (kemaluan) tidak ada مِنْ. Ini menunjukkan wajah dan telapak tangan tidak termasuk aurat yang dilarang untuk terlihat, berbeda dengan kemaluan. Menurut Ibnu Arabi, arti زِينَتَهُنَّ (hiasan) yang dapat ditoleransi yaitu ‘hiasan’ yang apabila ditutup mengakibatkan kesulitan bagi wanita yaitu wajah, kedua tangan dan kaki. Al Qurthubi menambahkan ‘hiasan’ yang boleh ditampakkan adalah wajah dan telapak tangan.
Sahabat Ibnu Abbas ra berpendapat setengah dari tangan (batas siku) temasuk bagian yang mendapat keringanan. “Tidak halal bagi wanita yang percaya kepada Allah dan Hari Kemudian dan telah haid untuk menampakkan kecuali wajahnya dan tangannya sampai di sini (beliau memegang setengah tangannya)” (HR. Thabari dari Qatadah). Al Albani termasuk ulama yang mendukung keshahihan hadits ini, sehingga banyak mendapat kecaman dari kelompok pertama. Albani mengutip pendapat Al Maududi, bahwa boleh menampakkan telapak tangan karena kebiasaan dan setengah tangan (sampai siku) ketika ada kebutuhan.
- Pandangan Ulama’ Kontemporer
Ada 3 prinsip yang menjadi dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum aurat pada wanita:
- Al Qur’an dan sunnah tidak menghendaki masyaqah (kesulitan)
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu... (Al Baqarah : 185)
- Imam Hanafi memberikan toleransi terbukanya kaki karena jika tertutup menimbulkan kesulitan dalam melakukan aktivitas. Dengan lahirnya profesi-profesi baru yang digeluti wanita, maka ulama’ kontemporer memberikan toleransi pada bagian-bagian tubuh yang tidak dinilai sebagai aurat.
- Al Qurthubi menyampaikan pengecualian wajah dan telapak tangan sebagai pendapat yang paling kuat atas dasar ke hati-hatian, berdasarkan makna an-Nur ayat 31 (مَا ظَهَرَ مِنْهَا), pendapat mufassir salaf ini mengesankan bahwa lebih dari batas itu masih diperbolehkan.
- Pendapat Imam Hanafi diperkuat oleh ulama’ kontemporer Ali As Sais yang menganggap kaki lebih menyulitkan jika ditutup dari pada tangan, khususnya bagi wanita di pedesaan yang berprofesi sebagai petani dan lainnya.
- Anas bin Malik dan Abu Thalhah pernah melihat Aisyah dan Ummu Salim pada perang Uhud bekerja demikian giat memberi minum pasukan muslim dan ketika itu mereka melihat gelang kaki yang digunakan di betis-betis kedua wanita mulia itu (HR. Bukhori-Muslim)
- Ketetapan hukum berkisar pada illat (dasar/alasan)
- Imam Hanafi berpendapat teks keagamaan dalam bidang ibadah (ta’abbudi) harus difahami secara tekstual apa adanya, sedangkan dalam bidang muamalah dapat dijangkau tujuan dan maknanya oleh nalar (kecuali ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat rinci dan qath’iy). Sedangkan Hadits dalam bidang muamalah sangat terbuka untuk dicari illatnya. Ulama’ kontemporer berpendapat pakaian bukan termasuk ta’abbudi tapi terkait dengan muamalah dan tradisi yang bisa dicari illat-nya.
- Al Asmawi memahami ayat Al Ahzab 53 (tentang perintah mengulurkan jilbab) adalah dalam rangka membedakan dengan wanita budak atau wanita yang tidak terhormat, sehingga muslimah merdeka bisa dikenali dan tidak mendapat gangguan dari orang-orang durhaka. Illat hukum dalam hal ini agar wanita merdeka dapat dikenal dan dibedakan dari wanita budak. Umar bin Khattab ketika melihat wanita budak menggunakan penutup muka atau mengulurkan jilbabnya, beliau mencambuk (mengingatkan) wanita itu. Karena saat ini yang menjadi illat (budak) sudah tidak ada maka ketetapan hukum untuk membedakan wanita dengan budak sudah tidak berlaku lagi.
- Tradisi mempunyai peranan besar dalam ketetapan hukum.
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya (an Nur : 31)
- Al Asymawi mengutip tafsir Al Qurthubi bahwa asbabun nuzul ayat di atas: wanita-wanita di jaman Nabi saw menutup kepala mereka dengan kerudung dan mengarahkannya ke punggung sehingga bagian leher dan dada tanpa penutup. Maka ayat ini memerintahkan agar menjulurkan kerudung ke arah depan. Mantan hakim agung Mesir ini berpendapat illat ketetapan hukum ayat tersebut adalah pengubahan tradisi yang berlaku pada masa turunnya ayat itu. Tujuan ayat itu adalah syari’at menutup dada bukan untuk menetapkan mode pakaian tertentu. Ayat ini juga bermaksud untuk membedakan wanita muslimah dengan non muslim (yang ketika itu membuka dada mereka). Kesimpulannya hal ini merupakan ketetapan hukum sementara pada saat itu yang menghendaki pembedaan/pemisahan dan bukannya ketetapan hukum yang bersifat abadi/sepanjang masa.
- Sebagian ulama lain menganggap ayat hijab/jilbab ini tidak tegas mengandung perintah untuk menutup seluruh kepala, menutup sebagian kepala sebagaimana muslimah di Indonesia sudah memenuhi tuntunan ayat ini. Analoginya seperti pada perintah membasuh kepala ketika berwudhu (Al Maidah : 6), ulama berbeda pendapat apa sebagian atau seluruh bagian kepala yang dibasuh. Dalam hal jilbab, Ibnu Asyur menyampaikan: ”Cara pemakaian jilbab dapat berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan wanita yang dijelaskan oleh adat istiadat”.
- Syaikh Muhammad Su’ad Jalal (Al Azhar), menambahkan bahwa yang menjadi dasar dalam menetapkan apa yang boleh ditampakkan dari ‘hiasan’ wanita adalah apa yang berlaku dalam adat kebiasaan suatu masyarakat. Tentunya dalam batasan koridor tetap tegaknya nilai etika dan kesopanan dalam beragama. Jika dalam suatu masyarakat membuka setengah lengan dan betis tidak mengandung fitnah dan rangsangan maka bagian badan itu boleh dibuka dan ditampakkan, seperti wanita yang bekerja di perkebunan dll.
- Dalam konteks pakaian sopan dan terhormat, ulama’ kontemporer menyimpulkan: maksimal bagian yang boleh ditampakkan yaitu leher ke atas, setengah lengan dan setengah betis. Hal ini didukung dengan hadits dan makna penekanan ayat Allah (an-Nur : 31) pada pemakaian kerudung yaitu dalam rangka menutup dada bukan menutup rambut.
- “Tidaklah diterima shalat seorang yang telah dewasa kecuali dengan memakai khimar (kerudung)” (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Majah). Terkait dengan hadits ini, para ulama berpendapat hanya berlaku dalam shalat dan tidak secara tegas menunjukkan aktivitas diluar shalat.
Kesimpulan
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama’ salaf dalam menetapkan batas aurat wanita, ada yang menetapkan seluruh tubuh wanita sebagai aurat, ada yang mengecualikan wajah dan telapak tangan. Sedangkan ulama’ kontemporer dengan serangkaian argumennya berpendapat bahwa wanita yang berpakaian ‘sopan dan terhormat’ telah memenuhi kewajibannya untuk menutup aurat.
Bagi muslimah yang memilih pendapat salaf dalam rangka ke hati-hatian sebaiknya diteruskan dalam rangka mendapatkan keutamaan dalam beragama, sedangkan bagi muslimah yang bermaksud mengambil pendapat yang mudah dalam beragama juga diijinkan, dan tidak perlu merasa dirinya melanggar syariat tuntunan agama dalam berpakaian. Masing-masing saling bertoleransi dalam rangka meraih ridho Allah SWT.
وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ
“…dan pakaian takwa Itulah yang paling baik…”(Al A’raf : 26)
Disarikan dari buku:
“Jilbab Pakaian Muslimah”, M. Quraish Shihab