14 Syawal 3 H, Nabi saw bermusyawarah dengan para tokoh Muhajirin dan Anshar guna menyiapkan diri dalam menghadapi serbuan 3000 tentara Quraisy bersenjata lengkap dengan 3 ribu onta dan 2 ratus kuda. Nabi saw dan para tetua yang berpengalaman bermaksud menghadapi pasukan kafir itu di Madinah. Pertahanan di dalam kota diyakini akan efektif membendung serangan, mengingat bahwa penduduk Madinah jauh lebih mengenali jalan dan lorong kota dibandingkan para penyerang yang datang dari Makkah.
Tetapi para pemuda yang penuh semangat dan masih dalam euforia kemenangan perang Badar setahun sebelumnya mendesak Nabi saw untuk menyongsong serangan musuh di luar kota. Nabi saw sebenarnya kurang setuju, tapi usulan ini banyak mendapat dukungan termasuk dari tokoh Muhajirin, Hamzah bin Abdul Muthalib. Atas desakan mayoritas akhirnya disepakati untuk berperang secara terbuka di pegunungan Uhud.
Bersama seribu pasukan Rasul saw berangkat ke medan perang. Ketika telah tampak kekuatan musuh, sebagian tentara muslim yang lemah iman menjadi ciut nyali. Tokoh munafik, Abdullah bin Ubay memanfaatkan kesempatan ini untuk mempengaruhi 300 pasukan agar kembali pulang ke Madinah (desersi). Dia berdalih, usulannya dahulu untuk bertahan di dalam kota lebih tepat daripada mati konyol, karena menghadapi kekuatan musuh yang tidak seimbang.
Perang Uhud-pun berkecamuk, 700 pejuang muslim yang bertarung nyaris memenangkan pertempuran, tapi akhirnya mengalami kekalahan telak. Menghadapi kenyataan yang menyakitkan ini Nabi saw tidak menyalahkan para sahabat akibat menyelisihi pendapatnya dalam strategi berperang. Bagaimanapun, hasil permufakatan bersama harus diterima dengan ketetapan hati dan kelapangan dada. Justru yang harus dikecam adalah orang-orang munafik yang menyalahi kesepakatan dalam musyawarah, dengan desersi meninggalkan Nabi saw dan para sahabat di medan pertempuran.
Dari latar peristiwa ini, turunlah ayat159 surat Ali Imran yang memberikan panduan kepada Nabi saw dalam bermusyawarah:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Ada 3 sifat dan sikap yang dikembangkan sebelum bermusyawarah:
- Berlaku lemah lembut, tidak kasar dan tidak berhati keras.
- Kesiapan mental untuk memaafkan dan membuka lembaran baru jika terjadi kesalahfahaman.
- Permohonan maghfiroh dan ampunan ilahi.
Setelah musyawarah usai dan telah mencapai kesepakatan maka dilanjutkan dengan:
- Kebulatan tekad (Azam),
- Berserah diri kepada Allah (tawakal). Siap menerima apapun hasilnya, baik sesuai dengan harapan atau tidak.
Pemilu sebagai bagian instrumen demokrasi adalah merupakan pengembangan dari konsep musyawarah (syura) dalam Islam. DR. Yusuf Qaradhawi, ulama populer dari Mesir menyebut demokrasi sebagai barang hilangnya umat Islam. Bangsa Indonesia baru saja menyelesaikan hajatan besar demokrasi yaitu Pilpres dan Pileg secara bersamaan pada 17 April 2019. Sehingga, ayat 159 surat Ali Imran di atas sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai panduan etika dalam ber-Pilpres.
Sebelum pelaksanaan pilpres, langkah pertama yang dilakukan yaitu bersikap halus, lembut dan tidak kasar. Diperlukan akhlaq dalam menyampaikan pendapat, seperti tidak otoriter, merasa pilihannya paling benar dan orang lain salah. Kedua, perlu persiapan mental. Apabila selama proses pilpres terjadi gesekan dengan orang lain maka harus siap untuk memaafkan. Kesalahfahaman seringkali terjadi terutama komunikasi di media sosial.
Ketiga, Permohonan ampun untuk semua pihak yang terlibat dalam pesta demokrasi. Hal ini merupakan upaya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Bisa melapangkan datangnya petunjuk (hidayah) sehingga dapat meraih hasil yang terbaik di sisi Allah SWT bagi kita. Sebab Allah tidak akan memberi hidayah pada orang yang berbuat zalim (2:258), kafir (2:264), bergelimang dosa (5:108), pengkhianat (12:52), pembuat berita hoax (39:3) dll.
Selama berlangsungnya masa kampanye bisa jadi Anda melakukan kezaliman dengan melanggar larangan Allah dalam surat Al Hujurat ayat 11-12, baik disadari ataupun tidak. Seperti merendahkan orang lain yang berbeda pilihan, mencela, dan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan (cebong dan kampret), berprasangka buruk (curiga), mencari-cari kesalahan dan kejelekan lawan lalu menggunjingkannya di medsos, menyebar fitnah lewat share hoax dll. Sebelum pelaksanaan coblosan, dengan ikhlas mohonkanlah ampunan Allah kepada seluruh warga NKRI.
Setelah pemilu 2019 usai Anda perlu menata hati, sambil menunggu KPU menuntaskan agendanya yaitu rekapitulasi suara (18 april – 22 Mei) dan penyelesaian sengketa pemilu (23 Mei 2019 – 15 Juni 2019). Langkah keempat ini dimaksudkan agar Anda dianugerahi Allah kebesaran jiwa untuk mendapatkan kebulatan tekad (azam), untuk menerima apa saja hasil Penetapan Calon Presiden terpilih pasca Putusan MK, baik yang terpilih itu paslon idola Anda atau bukan.
Terakhir, langkah kelima, pasrahkan diri Anda sepenuhnya kepada ketentuan Allah. Siap menerima apapun takdir lima tahun ke depan sebagai dampak dari presiden yang terpilih, baik sesuai dengan harapan Anda atau tidak. Tidak ada siapapun yang akan dijadikan sebagai kambing hitam untuk disalahkan. Kepasrahan ini akan mendatangkan simpati dan cinta dari Allah.
Lima langkah ini merupakan mindset untuk bahagia dalam kondisi apapun. Sedangkan dalam konteks upaya (ikhtiar), maka tentu saja sudut pandangnya berbeda. Anda tetap dituntut untuk berperan otimal sesuai bidang masing-masing, apakah itu sebagai pendukung atau oposisi terhadap pemerintah. Akhirnya, pesan dari Gus Mus sangat relevan untuk diamalkan: “Tak ada pihak yang perlu berpesta merayakan kemenangan dan tak ada pihak yang harus menangis karena merasa kalah. Karena kemenangan dari awal sudah kita persembahkan kepada Indonesia”