Pada tanggal 8 Dzulhijjah jamaah haji mulai bersiap-siap untuk melaksanakan rangkaian puncak ritual haji. Rombongan haji dari Indonesia sebagian besar tidak melaksanakan Tarwiyah ke Mina, tapi mereka langsung berangkat menuju Arafah. Mengingat kepadatan manusia dan terbatasnya transportasi maka tidak memungkinkan jika semua jamaah haji dibawa ke Mina terlebih dahulu baru ke Arafah. Dikhawatirkan resiko adanya jamaah yang terlambat atau terhambat untuk sampai di Arafah pada waktunya wukuf.
Para ulama bersepakat mabit di Mina pada malam Arafah hukumnya sunah, tapi bukan merupakan bagian dari manasik haji. Nabi bersama para sahabat mendirikan tenda di Mina dan menyiapkan berbagai akomodasi yang diperlukan pasca wukuf di Arafah. Itulah sebabnya disebut Tarwiyah, yang artinya mempersiapkan air. Sedangkan saat ini segala sesuatunya di Mina sudah disiapkan dengan baik oleh pemerintah Arab Saudi, termasuk tenda dan persediaan air yang melimpah.
Nabi saw dari tendanya di Namirah berpindah ke wadi Urnah lalu ke al-Shakhrat di Arafah untu melaksanakan wuquf. Tradisi ini juga tidak mungkin dilakukan oleh jamaah haji Indonesia di tengah lautan manusia di Padang Arafah. Para Jamaah melaksanakan aktivitas puncak haji pada tanggal 9 Dzulhijjah seperti khutbah, shalat jama’ taqdim Dzuhur dan Ashar, serta wukuf di tenda mereka masing-masing.
Selesai wukuf jamaah haji berkemas-kemas untuk meninggalkan Arafah. Sebagian besar jamaah biasanya mengerjakan shalat Maghrib dan Isya secara jama’ taqdim di Arafah tidak jamak ta’khir di Muzdalifah seperti dilakukan Nabi pada waktu Haji wada’. Hal ini mengingat fasilitas tempat wudhu dan shalat di Muzdalifah sangat terbatas sehingga pelaksanaan shalat jama’ Maghrib dan Isya lebih mudah dilakukan ketika berada di Arafah.
Sesampai di Muzdalifah jamaah haji diturunkan dari bis penjemputan. Mereka memasuki areal Muzdalifah dan mengambil batu kerikil untuk melempar jumrah. Jamaah haji tinggal di Muzdalifah hanya beberapa jam saja tidak sampai subuh untuk wuquf di Masy’aril Haram. Secara teknis tidak memungkinkan apabila jutaan manusia harus bergerak menuju Masy’aril Haram lalu ke Mina pada waktu yang bersamaan. Maka lepas tengah malam mulailah rombongan demi rombongan dibawa oleh bis penjemputan menuju ke Mina.
Saat ini kawasan Mina telah diperluas hingga menembus gunung sampai ke kawasan Mu’aishim bahkan sampai ke Muzdalifah. Ini merupakan hasil ijtihad pemerintah Saudi selaku khodimul Haramain agar Mina tetap bisa menampung jutaan jamaah haji yang berasal dari berbagai negara.
Pada Hari Raya Qurban Jamaah haji melempar jumrah di Mina. Jamaah Indonesia dilarang untuk melontar jumrah Aqabah pada waktu afdhal, yaitu waktu dhuha (07.00 sd. 12.00 WAS). Setelah melontar lalu melakukan tahalul dengan mencukur atau memotong rambut dan bisa mengganti pakaian ihram dengan baju biasa. Waktu utama untuk thawaf Ifadhah adalah waktu Dhuha Hari Nahar (10 Dzulhijjah). Namun karena jarak Mina dan Masjidil Haram cukup jauh dan tidak ada kendaraan, maka jamaah dijadwalkan untuk melaksanakan thawaf Ifadhah setelah selesai mabit di Mina.
Selama mabit di Mina jamaah haji melakukan pelontaran jumrah pada hari-hari Tasyriq. Jamaah haji Indonesia tidak diijinkan melontar tiga jumrah pada waktu utama yaitu ba’da zawal (pukul 12.00 sd. 16.00 WAS). Petugas haji berkoordinasi dengan pihak maktab untuk melontar sesuai jadwal yang sudah ditentukan dalam rangka menghindari penumpukan jamaah ketika berjalan menuju jamarat.
Pagi itu, Bahloel dan kedua istrinya telah selesai melempar jumrah pada hari kedua Tasyriq. Dalam perjalanan pulang ke tendanya, ada penjual kopi dari Pakistan yang menawarkan dagangannya, “Qahwah.. Qahwah..!”. Bahloel ingin memesan kopi panas untuk mereka bertiga. Ia lalu menghampiri penjual itu sambil berujar, “Qahwah Jahanam tsalatsa roka’atin!”. Penjual Pakistan itu memahami apa yang dimaksud Bahloel, lalu segera menyiapkan tiga gelas kopi panas untuk mereka nikmati.
Setelah menyelesaikan semua rangkaian ibadah haji, Jamaah yang nafar awal dan nafar tsani biasanya langsung dijemput oleh bus maktab untuk menuju hotel akomodasi di Makkah. Bahloel dan rombongannya kebanyakan haji secara mandiri, mereka langsung pulang menuju hotel. Beberapa rombongan jamaah yang dibimbing oleh KBIHU ada yang mengagendakan untuk napak tilas Nabi ketika nafar tsani dengan mencari petilasan beliau saw di lembah al-Abthah, yang diperkirakan berada di sekitar Aziziyah.
Pulang ke Tanah Air
Bahloel dan kedua istrinya telah selesai menunaikan ibadah haji dan mereka pulang ke kampung halamannya di desa. Para haji setelah pulang dari Tanah Suci biasanya semakin rajin datang ke masjid untuk shalat berjamaah tapi Haji Bahloel ini justru jarang kelihatan di masjid. Menurut cerita para tetangga jika tidak dipanggil dengan sebutan pak Haji, Bahloel sering tampak beringsut marah.
Sebagai imam masjid kyai Ma’arif mencari waktu senggang untuk bertandang ke rumah Haji Bahloel. Pak Kyai bertanya, “Pak Haji kenapa jarang datang ke Masjid?”. Dengan percaya diri Bahloel menjawab, “Pak Yai, shalat satu kali di Makkah itu pahalanya seratus ribu kali, shalat di Madinah itu pahalanya sepuluh ribu kali. Kemarin sudah saya hitung pakai kalkulator pahala saya sudah banyak sekali. Jadi saya sudah tidak perlu lagi menambah pahala, pak Yai kan belum pernah haji, apa mau saya kasih pahala saya?”.
“Bukan seperti itu cara memahaminya, pak Haji”, dengan sabar kyai Ma’arif menjelaskan maksud hadits tentang keutamaan shalat di Haramain dibandingkan dengan shalat di tempat lain. Beliau juga menjelaskan tentang tanda-tanda Haji mabrur, yaitu semakin rajin beribadah, bersedekah, dan perbuatan baik lainnya. Mereka juga semakin rendah hati, ikhlas dalam beramal serta tidak tamak dengan pujian dan status sosial. Bagi haji yang mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya kecuali surganya Allah yang seluas langit dan bumi.
Haji Bahloel dan kedua istrinya mendengarkan dengan sungguh-sungguh penjelasan dari pak Kyai. Mereka mendapatkan hidayah dan pencerahan untuk merubah perilakunya menjadi lebih baik lagi agar bisa meraih predikat Haji mabrur di sisi Allah, bukan sekedar gelar Haji atau kemuliaan status sosial di kampungnya atas gelar tersebut.
Sebelum berpamitan, kyai Ma’arif menyarankan haji Bahloel agar menyelenggarakan tasyakuran haji dengan mengundang tetangga, handai tolan, fakir-miskin serta anak-anak yatim di kampung. Pada acara walimah tersebut kyai Ma’arif akan menyampaikan kepada tamu undangan tentang perubahan nama Haji Bahloel menjadi Haji Mabroer, agar cita citanya untuk meraih haji yang mabrur lebih bersemangat lagi dan mendapat ijabah dari Allah SWT.