Welas asih menjadi sifat yang sangat dibutuhkan di era modern ini. Para ‘pecinta’ memiliki power yang tinggi. Ia bisa mentransfer energi positifnya pada orang-orang ber-level energi rendah yang sering bermasalah. Aura ‘pecinta’ bisa menjadi oase sejuk bagi manusia kerdil yang terpuruk-tak berdaya karena terlekat oleh hawa nafsu dan egonya.
Sifat Keindahan (Jamaliah) Allah dalam Asmaul Husna bisa menginspirasi tumbuhnya ‘cinta sejati’ dalam diri. Menjadikan sifat tersebut sebagai bagian integral dari akhlaq. Secara sadar meniru sehingga mendapat anugerah sifat-sifat mulia sebagaimana sifat Jamaliah-Nya. Proses ini di kalangan sufi dikenal dengan “Takhallaqu bi akhlaq-i Allah“.
Dalam hal ini terdapat 5 Nama Indah Allah yang bisa dijadikan sebagai panduan, yaitu:
Al Lathif
Kata لَطِيفٌ melahirkan makna ketersembunyian, tersamar dari segala sesuatu, kelemahlembutan, dan ketelitian. Hakikat maknanya adalah yang tersembunyi Dzatnya dari penglihatan, tindakan-Nya tidak dapat disaksikan, kelemahlembutan-Nya sampai pada tujuan tanpa dirasakan. Kata ini diulang 6 kali dalam Al Qur’an, 5 diantaranya dirangkai dengan al Khobir. Jika lembut disandingkan dengan pengetahuan, maka maknanya menjadi sangat dalam pengetahuannya dan sangat cermat dalam menentukan sesuatu.
Allah melimpahkan karunia kepada hamba-hambanya secara tersembunyi dan tertutup, tanpa mereka ketahui, serta menciptakan untuk mereka sebab-sebab kebahagiaan tanpa terduga-duga:
اللَّهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ ۖ وَهُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيزُ
Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya; dia memberi rezki kepada yang di kehendaki-Nya dan dialah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Asy Syura : 19)
Allah menganugerahkan sifat lathif sebagai karakter dasar Nabi saw sehingga para sahabat senang sekali berdekatan dengan beliau:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…. (Ali Imran : 159)
Lemah lembut pada sifat manusia artinya menyikapi segala sesuatu secara arif dan bijaksana, bukan perilaku masa bodoh terhadap kezaliman, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Jika memiliki sifat mulia ini maka akan dibukakan pengetahuan tentang rahasia Ilahi dan hukum-hukum-Nya yang tersembunyi di alam semesta. Sifat ini menjadi landasan bagi tumbuhnya sifat halim dan rahim.
Etika praktis untuk mengamalkan sifat lathif bisa melalui upaya:
- Dzikir dan beribadah dengan rahasia tanpa diketahui oleh orang lain
- Memberikan kemaslahatan kepada orang yang berhak tanpa sepengetahuan mereka.
- Bersikap lemah lembut dalam pergaulan
- Peka terhadap kesusahan orang lain
- Menjadi pribadi yang damai dan mendamaikan
Al Halim
Secara bahasa الْحَلِيمُ berarti tidak bergegas. Ibnul Qayyim menyampaikan bahwa Allah SWT memiliki sifat penyantun yang sempurna (Al Halim). Ia tidak segera membalas orang-orang yang bermaksiat karena kemaksiatan mereka, meskipun sangat mampu untuk membalasnya, namun Allah SWT memberi mereka kesempatan agar bertaubat dan kembali kepada-Nya. Dalam Al Qur’an ada 12 ayat yang menunjuk pada makna Al Halim sebagai sifat Allah SWT, seringkali disandingkan dengan al Ghofur.
Sifat halim diberikan sebagai pujian dari Allah kepada Nabi Ibrahim sebagaimana difirmankan:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّاهٌ مُنِيبٌ
Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah. (Hud : 75)
Sifat penyantun ini diwarisi oleh puteranya yaitu Nabi Ismail dan juga keturunan dari generasi selanjutnya yakni Muhammad saw. Nabi saw selalu mengajarkan:
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ, وَإِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ,
“Ilmu itu hanya diperoleh dengan cara belajar, dan sifat penyantun diperoleh dengan cara sering berbuat santun, (HR. Khatib)
Suatu ketika Nabi saw tengah berjalan bersama para sahabat, saat itu beliau memakai burdah dari Najran. Di tengah jalan bertemu dengan Arab Badui yang langsung menarik burdah tersebut secara keras, sampai terlihat bekas merah di pundak Nabi saw. Setelah itu Badui kurang ajar itu berkata: “Beri saya dari harta Allah yang ada di sisimu”. Maka Nabi saw memalingkan tubuh ke arahnya sambil tersenyum, lalu beliau memerintahkan para sahabatnya agar orang dari gurun itu dipenuhi semua permintaannya. Menahan diri saat dihina atau diperlakukan buruk, ketika sebenarnya kesempatan untuk membalas sangat dimungkinkan tapi lebih memilih memberi kesempatan kepadanya untuk memperbaiki kesalahan itu adalah karakter dari halim.
Manusia dengan sifat halim, tidak tergesa-gesa sebab ia memikirkan secara matang semua tindakannya dan tidak grusa-grusu. Penundaan tersebut bukan karena kebodohan, keraguan atau sifat perfeksionis. Penyandang sifat halim bisa menempatkan setiap masalah yang dihadapinya pada tempat semestinya, sampai batas mana setiap kasus ditangguhkan. Hal ini mengharuskan ia memiliki sifat bijaksana.
Ar Rahim
Ar-Rahim artinya Maha Penyayang. Muhammad Abduh menafsirkan Ar Rahim sebagai rahmat Tuhan yang bersifat mantap dan berkesinambungan yang dicurahkannya kepada makhluk yang dicintainya hingga hari kiamat.
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ۚ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ
…dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. (Al A’raf : 156)
Dalam Al Qur’an disebut 95 x, seringkali Ar Rahim dihubungkan dengan Al-Ghofur (Ampunan). Dikisahkan, suatu hari syaikh Nasrudin menyuruh muridnya memegang ember sementara ia dengan penuh semangat menimba air. Tapi embernya tidak pernah penuh meski air sudah berulangkali dituangkan. Si murid heran dengan perilaku aneh gurunya itu, karena menuangkan air timba dari sumur ke ember yang ternyata berlubang. Setelah keduanya kelelahan baru Nasrudin berujar: “Ember adalah anugerah Allah kepada hamba yang layak menerima rahimnya. Tapi dosa-dosa hamba itu menyebabkan lubang-lubang di embernya, sehingga rahmat yang melimpah terbuang percuma. Lubang dalam ember itu harusnya ditambal dulu dengan memohon ampunan atas dosa”.
Kasih sayang (rahim) yang tertanam menjadi totalitas karakter, maka akan berpadu dengan kebijaksanaan. Sebab rahim merupakan welas asih yang memiliki kadar sesuai dengan kebutuhan seseorang yang menerimanya. Ada seorang pramuka yang melihat nenek tua di pinggir jalan. Dengan sigap ia segera mennggandeng nenek tua untuk menyeberang jalan, tanpa menanyakan perihalnya terlebih dahulu. padahal si nenek sebenarnya sedang menunggu dijemput taxi. Ini adalah contoh pertunjukan kasih tapi konyol, karena tidak memahami kebutuhan seseorang yang hendak dicurahi kasih sayang.
Ar Ra’uf
Makna ra’uf hampir sama dengan rahim. Apabila rahmat demikian melimpah ruah maka ia dinamai ra’fat dan pelakunya ra’uf. Allah Ar-Rauf artinya yang Maha Kasih dengan keramahan-Nya. Keramahan memiliki konteks yang khusus, sedangkan ‘kasih’ konteksnya lebih umum, Keramahan adalah perasaan kasih yang paling dalam, maknanya lebih kuat daripada kasih sayang (rahmat).
Perbedaan rahmat dan ra’fat:
- Ra’fat menggambarkan anugerah yang sepenuhnya menyenangkan, sedangkan rahmat menyenangkan pada akhirnya meski di awal bisa merupakan hal menyakitkan.
- Ra’fah menekankan melimpah ruahnya anugerah bahkan melebihi kebutuhan, sedangkan rahmat sesuai dengan kebutuhan.
- Ra’fah merupakan rasa kasih yang alamiah, yang membuat kita tidak bisa melihat orang yang kita kasihi menderita.
Ar Ra’uf dalam Al Qur’an terulang sebanyak 11 kali. 10 ayat merujuk sifat Allah SWT dan 1 lagi menjadi sifat yang dianugerahkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw.
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan (ra’uf) lagi penyayang(rahim) terhadap orang-orang mukmin. (At Taubah : 128)
Orang yang mengamalkan sifat Ra’uf, akan memberikan kemaslahatan yang sebenarnya dibutuhkan oleh dirinya sendiri. Tetap bersedekah dalam kondisi lapang maupun sempit. Mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri bahkan lebih. Seperti persaudaraan antara sahabat Anshar dan Muhajirin di Madinah. Kaum Anshar merelakan separuh harta dan rumahnya untuk membantu muslim Makkah yang hijrah, terusir dari negerinya.
Al Wadud
Al Wadud ditemukan 2 kali dalam Al Qur’an, semuanya menunjuk pada sifat Allah SWT. Al Wadud mengandung arti cinta dan harapan, kelapangan dan kekosongan. Al Wudd menjadi sinonim dari al mawaddah dan al mahabbah yang semuanya bermakna cinta. Al Wadud menampakkan makna hiperbolis, artinya Allah SWT sangat atau paling mencintai semua hamba-Nya. Dalam Al Qur’an al Wadud disandingkan dengan al Ghofur dan ar Rahim:
وَاسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّي رَحِيمٌ وَدُودٌ
Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pecinta. (Hud : 90)
Menurut Al Ghazali makna al Wadud mirip dengan Ar Rahim, tetapi rahmat Allah tertuju pada yang lemah sedangkan al Wadud tidak demikian. Tidak tepat jika dikatakan saya merahmati Allah, karena Dia tidak pernah butuh, tapi tidak salah jika dikatakan saya mencintai Allah. Cinta yang dilukiskan dengan kata wudd atau pelakunya (wadud) harus terbukti dalam sikap dan tingkah laku, sedangkan rahmat tidak harus demikian. Jika ada sekedar perasaan perih dalam hati atas penderitaan objek yang dicintai maka itu sudah termasuk dalam kategori rahim (pengasih) meski pada kadarnya yang rendah, tapi hal ini tidak bisa berlaku pada wadud (cinta).
Menurut Ibnu Arabi, al muhibb adalah orang yang memiliki cinta murni, sedangkan al wadud adalah orang yang cintanya menetap. Jika rasa cinta kepada Allah SWT dan kepada manusia yang diperintahkan oleh Allah untuk dicintai telah menetap di hati hamba, tak peduli apapun kondisi yang ditimbulkan oleh si tercinta, baik itu selaras dengan keinginannya atau tidak, maka hamba tersebut layak disebut sebagai ‘pecinta’ (wadud).
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَٰنُ وُدًّا
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang. (Maryam:96)