Di pelosok desa tinggal seorang baya bernama Bahloel. Istrinya biasa dipanggil Khotijah, mengelola warung kelontong yang cukup laris di kampungnya. Karena lama tidak punya anak, Bahloel lalu menikahi Hasanah, ustadzah TPQ di mushola dekat rumahnya. Keluarga unik ini cukup bahagia dengan keadaan mereka.
Suatu ketika Bahloel tergerak untuk pergi haji bersama kedua istrinya. Ia ingin seperti kawannya di kampung seberang yang dipanggil pak Haji dan sangat dihormati warga. Seminggu menjelang keberangkatan Bahloel kebingungan sebab ia awam tentang agama. Bagaimana tata caranya haji ia sama sekali tidak tahu, ingin ikut manasik tapi malu kalau nanti ketahuan paling bodoh.
Ia menemukan solusi untuk mengajak istrinya sowan ke kyai Ma’arif untuk belajar tentang ibadah haji. “Pak Bahloel apa sudah faham manasik haji?, apa saja yang harus dikerjakan dan doa-doa yang dibaca di sana?”, tanya pak Kyai. “Saya ndak tahu apa-apa Yai, tolong ajari saya cara yang paling gampang untuk haji”, mohon Bahloel. Kyai sepuh itu berpikir sejenak, ia tahu betul kalau tetangganya itu sangat awam. Sambil manggut-manggut ia menyahut, “Kalau gitu nanti kamu ikuti saja apa yang dilakukan teman-temanmu ketika di Ka’bah, Arafah, Muzdalifah dan Mina sambil baca doa sapu jagat”. “Kalau cuman gitu saja siap, Yai !”, timpalnya berbinar-binar. Ternyata haji gampang sekali pikir Bahloel.
Kyai Ma’arif lalu bercerita, “Dulu Nabi ketika haji bawa hewan persembahan untuk Tuhan pemilik Ka’bah, tapi sekarang tradisi membawa hadyu dari miqat tidak bisa dilakukan sebab jamaah haji naik pesawat, ndak boleh bawa kambing”. “Nggih Yai”, jawab Khotijah sambil mengangguk. Kyai melanjutkan, “Bawa uang secukupnya bu Tijah, ingat perbanyak sedekah nanti di Ka’bah serta berdoa minta punya anak!”. Setelah puas mendapat petuah-petuah, lalu keluarga calon haji itupun pulang ke rumah.
Di Asrama Haji Donohudan
Bahloel beserta rombongan haji tiba di embarkasi Donohudan Solo (SOC). Setelah diterima oleh para petugas haji melalui upacara penyambutan selanjutnya dilakukan pemeriksaan kesehatan para jamaah. Selesai pemeriksaan kemudian beristirahat di kamar gedung asrama haji. Malam harinya dilakukan kegiatan pembagian paspor, living cost, dan gelang identitas. Bahloel yang ditunjuk sebagai ketua regu (Karu) mengikuti rapat koordinasi bersama PPIH kloter sekaligus mendapatkan uang insentif Karu/Karom.
Di tempat transit ini para jamaah juga mendapatkan ceramah tentang ibadah dan peragaan manasik haji yang dilaksanakan oleh PPIH embarkasi. Mereka mengikuti bimbingan dengan tekun. Petugas haji memberikan wawasan kepada para jamaah, “Niat Ihram sebaiknya dilakukan beberapa saat sebelum pesawat sejajar dengan Yalamlam. Menurut Hanafiah hukumnya mustahab, Malikiyah dan Hambaliyah hukumnya sah tapi makruh, menurut Syafi’iyah hukumnya sah tapi jika ihram di miqat lebih utama”. Salah satu jamaah bertanya, “Bolehkah niat ihram sejak dari Bandara Adi Sumarmo, pak Ustadz?”. “Boleh saja Bapak, tapi konsekuensinya harus menjaga larangan ihram lebih lama”, jawab penyuluh.
Sebelum ada pelayanan fast track dahulu banyak jamaah haji yang mengambil miqat makani di King Abdul Aziz Air Port (KAA). Transit di bandara Jeddah sekitar tiga hingga empat jam sehingga memungkinkan bagi jamaah haji untuk menyiapkan segala sesuatu terkait pelaksanaan ihram, seperti mandi, mengenakan pakaian ihram, shalat sunnah lalu berniat umrah, sambil menunggu jemputan bis dari Bandara KAA menuju Makkah.
Setelah diterapkan kebijakan fast track maka proses pemeriksaan oleh petugas imigrasi Arab Saudi hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Untuk jamaah haji gelombang II kain ihram sebaiknya sudah dipakai sejak dari embarkasi dan niat ihram bisa dilakukan sejak dari bandara embarkasi atau ketika pesawat akan melintas di atas wilayah udara Yalamlam di Yaman.
Setelah melakukan penerbangan hampir sebelas jam akhirnya jamaah haji tiba di Bandara KAA Jeddah. Bahloel bersama rombongan kloter SOC menjalani pemeriksaan paspor dengan sangat cepat karena fasilitas fast track. Selanjutnya para jamaah diarahkan menuju bis penjemputan untuk bertolak ke Makkah. Petugas haji mengintruksikan agar para jamaah menyiapkan paspor dan menyerahkannya kepada petugas muassasah pada saat naik bus. Ketua kloter juga menginformasikan bahwa selama jamaah berada di Makkah maka paspor akan disimpan oleh pihak muassasah.
Jamaah haji tak henti-henti membaca talbiyah di dalam bis selama perjalanan dari Jeddah ke Makkah. Sekitar dua jam bis penjemputan akhirnya sampai di depan hotel akomodasi. Koper besar para jamaah sudah terlebih dahulu sampai di loby dan lorong lantai kamar hotel. Melihat bangunan hotel yang sangat besar Bahloel terkagum-kagum. Seumur-umur di kampung baru kali ini ia menginjakkan kaki di hotel.
Bahloel penasaran dengan orang-orang asing yang lalu-lalang di hotel besar di sebelah hotelnya. Ketika ia masuk ke dalam hotel tersebut lantainya berkarpet permadani. Ia lantas melepas dan memegang sandalnya takut mengotori karpet. Perhatian Bahloel tertuju pada lift yang baru pertama kalinya ia lihat. Ia menyangka itu sebuah mesin besar yang pintunya bisa membuka dan menutup sendiri. Ada jamaah haji dari Afghanistan yang hendak masuk lift ia cegah dengan sungguh-sungguh, “Jangan masuk Tuan, berbahaya!”, serunya. Jamaah berkulit putih itu mengabaikan Bahloel karena tidak paham bahasanya.
Setelah lift menutup Bahloel penasaran, terus dipandanginya pintu mesin tersebut sambil khawatir apa yang akan terjadi. Tidak berapa lama pintu lift terbuka dan keluarlah jamaah Afrika berkulit hitam. Bahloel menghampirinya sambil menasihati, “Nah itu kan, sudah saya bilangin agar jangan masuk ke mesin itu nanti bisa gosong, Tuan”. Jamaah Afrika itu senyum-senyum pada Bahlul yang terus menceramahinya.
Thawaf Umrah
Karena tidak mau menggunakan lift dan lebih memilih lewat tangga pintu darurat di hotel menyebabkan Bahloel dan istrinya tertinggal rombongan yang berangkat umrah. Akhirnya dengan susah payah mereka sampai juga di Masjidil Haram dengan mengendarai Bis Shalawat. Sesampai di Masjid mereka bermaksud menuju Ka’bah untuk thawaf Umrah. Hasanah yang pernah belajar di madrasah diniyah disuruh Bahloel untuk bertanya pada sekelompok askar (polisi Arab) di sekitar situ. Semula ia takut, untungnya dia teringat dulu pernah diajari terjemahan surat al-Fatihah ketika belajar di Madin.
Dia memberanikan diri mendekati askar lalu bertanya, “Ihdina Ka’bah”?. Askar yang ditanya bingung dan heran dengan pertanyaannya. Tapi salah satu dari polisi itu segera paham lalu menjawab, “Shiratal Mustaqim!”, sambil menunjuk arah yang lurus. Bahloel dan istrinya segera menuju lorong jalan yang ditunjuk oleh askar. Ketika ada persimpangan mereka hendak berbelok, tapi dari kejauhan askar berteriak sambil tertawa, “Shiratal mustaqim..! Shiratal mustaqim..!, wa ladhollin”. Hasanah pun menarik tangan Bahloel, “jangan ke arah sana nanti kita tersesat, disuruh lurus saja sama pak polisi”. Bahloel dan Khatijah pun mengikuti arah yang dimaksud Hasanah.
Akhirnya mereka bertiga sampai di area Ka’bah. Dengan sigap Bahloel mengapit lengan kedua istrinya dan mulai masuk ke arena thawaf bersama arus manusia memutari Ka’bah. Dia teringat pesan dari Pak Kyai agar mengikuti saja gerakan orang-orang yang ada di sekitar situ sambil melafalkan Doa Sapujagat, “Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina adzaban nar”. Mereka bertiga melafalkan doa itu dengan penuh semangat.
Putaran pertama berjalan lancar tidak ada masalah, tapi pada putaran kedua Hasanah mulai senyam-senyum sambil melirik ke arah Khatijah. Semakin keras Bahloel membaca doa sapu jagat makin mendidih hati Khatijah. Akhirnya karena tidak kuat lagi, pada putaran ketiga dicubit perut suaminya itu dengan keras sambil teriak, “Enak saja!, istri mudamu itu yang kamu doakan terus, padahal aku yang mengongkosi kalian berdua pergi haji!”.
Bahloel terhentak dengan hardikan istri tuanya itu. Ia sejenak berpikir keras lalu terlintaslah ide, Ia merubah lafal doanya menjadi: Rabbana atina fid dunya Khotijah wa fil akhirati hasanah... Melihat kedua istrinya tersenyum puas, maka Bahloel jadi makin percaya diri dan membaca doa lebih nyaring dan bersemangat. Jamaah haji yang berada di sekitar mereka gusar mendengar doa yang asing tersebut. Akhirnya pada putaran ke tujuh Bahloel beserta kedua istrinya digelandang oleh askar untuk di interogasi.
Askar itu marah-marah karena mereka dianggap berbuat bid’ah dan menyebabkan kegaduhan. Karena Bahloel dan istrinya tidak paham bahasa Arab, ketika sedang diceramahi mereka justru mengangkat tangan dan mengucapkan amin.. amin.. Dikiranya askar yang marah itu sedang mendoakan mereka bertiga. Kesal dengan kekonyolan itu, polisi akhirnya menyuruh mereka bertiga pergi.
Bahloel bersama istrinya berjalan lagi menuju Ka’bah dan diperjalanan bertemu dengan rombongan kloternya yang mengajak mereka bertiga bergabung untuk melaksanakan sa’i tujuh putaran mengitari bukit Shofa dan Marwah. Selesai sa’i lalu melakukan tahalul di bukit Marwah. Setelah semua rangkaian ibadah umrah selesai dilakukan mereka pun kembali ke hotel untuk melepas ihram dan beristirahat. Kawan sekamar Bahloel perlu waktu beberapa hari untuk membujuknya agar mau menggunakan lift dan mengajari caranya.
Selanjutnya –> https://kawanislam.com/kaji-bahloel-9937.html