Cinta tak cukup untuk menyatukan dua insan. Tatkala jalan telah berbeda, tak kan mungkin mereka saling bersama. Namun cahaya keimanan akan mempertemukan kembali yang telah terpisahkan sekian lama. Tersebutlah kisah tentang putri pemimpin para nabi. Terlahir dari rahim ibundanya, seorang wanita bangsawan Quraisy, Khadijah bintu Khuwailid. Saat ayahnya, Muhammad memasuki usia tiga puluh tahun lahirlah anak pertama, Zainab.
Semasa hidup ibunya, sang putri yang menawan ini disunting oleh seorang pemuda, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’. Dia putra Halah, saudari perempuan Khadijah. Abul ‘Ash tumbuh menjadi seorang pemuda yang kaya, rupawan, dan mempesona ketika dewasa. Dia hidup bergelimang harta dan kenikmatan hingga setalah cukup usia ia menikahi Zainab. Pernikahan keduanya berlangsung sebelum masa kenabian. Ketika itu Khadijah menghadiahkan seuntai kalung untuk pengantin putrinya. Dari pernikahan itu, lahir Umamah dan Ali, dua putra-putri Abul ‘Ash.
Tatkala cahaya Islam merebak, Allah SWT membuka hati Zainab untuk menyambutnya. Namun, Abul ‘Ash masih berada di atas agama nenek moyangnya. Dua insan di atas dua jalan yang berbeda. Orang-orang musyrik pun mendesak Abul ‘Ash untuk menceraikan Zainab, namun Abul ‘Ash dengan tegas menolak mentah-mentah permintaan mereka. Akan tetapi, Zainab masih pula tertahan untuk bisa turut hijrah ke Madinah.
Ramadhan tahun kedua setelah hijrah, terukir peristiwa Badr. Saat itu, Zainab gelisah karena peperangan tersebut. Dalam perang itu, sang suami berada di pihak musuh yang melawan ayahnya, padahal keduanya adalah sosok yang sangat ia cintai. Zainab pun hanya bisa berdoa agar Allah SWT memberikan kemenangan kepada kaum muslimin. Namun, di sisi lain dia juga berharap suaminya dijauhkan dari bahaya dan mendapatkan hidayah untuk memeluk Islam.
Dalam pertempuran itu, terbunuh tujuh puluh orang dari pihak musyrikin dan tertawan tujuh puluh orang dari mereka. Di antara tawanan itu ada Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’. Penduduk Makkah pun mengirim tebusan untuk membebaskan para tawanan. Tebusan yang ditetapkan antara 1.000 – 4.000 dirham. Tebusan itu bisa dibayarkan sesuai dengan kedudukan dan kekayaan para tawanan di kaumnya.
Zainab lalu mengirimkan uang tebusan dan terselip di antara harta tebusan itu seuntai kalung pemberian ibunya, Khadijah, untuk kebebasan suaminya. Ketika melihat kalung itu, Rasulullah terkenang pada Khadijah yang telah tiada. Betapa terharu hati beliau mengingat putri yang dicintainya. Lalu beliau berkata pada para shahabat, “Apabila kalian bersedia membebaskan tawanan yang ditebus oleh Zainab dan mengembalikan harta tebusan yang dia berikan, lakukanlah hal itu.” Para shahabat pun menjawab, “Baiklah, wahai Rasulullah!. Kemudian, mereka lepaskan Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ dan mengembalikan seuntai kalung Zainab yang dijadikan harta tebusan itu.
Ketika itu, Rasulullah SAW meminta Abul ‘Ash untuk berjanji agar membiarkan Zainab pergi meninggalkan negeri Makkah menuju Madinah. Kemudian, Rasulullah SAW mengutus Zaid bin Haritsah bersama salah seorang Anshar sembari berkata, “Pergilah kalian ke perkampungan Ya’juj sampai bertemu dengan Zainab, lalu bawalah dia kemari.” Maka, berpisahlah Zainab di atas jalan Islam, meninggalkan suaminya yang masih bertahan dalam agama nenek moyangnya.
Menjelang peristiwa Fathu Makkah, Abul ‘Ash keluar dari negeri Makkah bersama rombongan dagang membawa barang-barang dagangan milik penduduk Makkah menuju Syam. Dalam perjalanannya, rombongan itu bertemu dengan seratus tujuh puluh orang pasukan Zaid bin Haritsah yang diutus oleh Rasulullah SAW untuk menghadang rombongan dagang itu. Pasukan muslimin pun berhasil menawan mereka dan mengambil harta yang dibawa oleh rombongan musyrikin itu, namun Abul ‘Ash berhasil meloloskan diri.
Ketika gelap malam merambah, Abul ‘Ash dengan diam-diam menemui istrinya, Zainab untuk meminta perlindungan. Subuh tiba. Rasulullah SAW dan para shahabat berdiri menunaikan salat Shubuh. Saat itu, Zainab berseru dengan suara lantang, “Wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’!”.
Usai shalat, Rasulullah SAW menghadap pada para sahabat sembari bertanya, “Kalian mendengar apa yang aku dengar?”. “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau, Rasulullah SAW berkata lagi, “Sesungguhnya aku tidak mengetahui apa pun sampai aku mendengar apa yang baru saja kalian dengar.” Kemudian, Rasulullah SAW menemui putrinya dan berpesan, “Wahai putriku, muliakanlah dia, namun jangan sekali-kali dia mendekatimu karena dirimu tidak halal baginya.” Zainab menjawab, “Sesungguhnya dia datang semata untuk mencari hartanya.”
Setelah itu Rasulullah mengumpulkan pasukan Zaid bin Haritsah dan berkata pada mereka, “Sesungguhnya Abul ‘Ash termasuk keluarga kami sebagaimana kalian ketahui, dan kalian telah mengambil hartanya sebagai fai’ yang diberikan Allah kepada kalian. Namun aku ingin kalian berbuat kebaikan dan mengembalikan harta itu kepadanya. Akan tetapi kalau kalian enggan, maka kalian lebih berhak atas harta itu.” Para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, kami akan kembalikan harta itu padanya.”
Seluruh harta yang dibawa Abul ‘Ash kembali ke tangannya dan tidak berkurang sedikit pun. Segera dia membawa harta itu kembali ke Makkah dan mengembalikan setiap harta titipan penduduk Makkah pada pemiliknya. Lalu dia bertanya, “Apakah masih ada di antara kalian yang belum mengambil kembali hartanya?” Mereka menjawab, “Semoga Allah memberikan balasan yang baik padamu. Engkau benar-benar seorang yang mulia dan memenuhi janji.” Abul ‘Ash pun kemudian menegaskan, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya! Demi Allah, tidak ada yang menahanku untuk masuk Islam saat itu, kecuali aku khawatir kalian menyangka bahwa aku memakan harta kalian. Sekarang setelah Allah SWT tunaikan harta itu kepada kalian masing-masing, aku masuk Islam.” Abul ‘Ash bergegas meninggalkan Makkah, hingga bertemu dengan Rasulullah SAW dalam keadaan Islam.
Enam tahun bukanlah rentang waktu yang sebentar. Akhir penantian yang sekian lama pun menjelang. Rasulullah SAW mengembalikan putri tercintanya kepada suaminya, Abul ‘Ash bin Rabi’, dengan nikahnya yang dulu dan tanpa menunaikan kembali maharnya. Dua insan kini bersama meniti jalan mereka.
Suatu Ketika Rasul saw naik ke atas mimbarnya di masjid Nabawi. Setelah menyampaikan syahadat dan memuji Allah. Nabi memuji salah satu menantunya Abul Ash bin Rabi’ atas kesetiaan, kejujuran, serta jalan berliku kisah cintanya pada Zainab. Pujian ini mengawali penolakan beliau saw kepada maksud Ali bin Abi Thalib yang akan memadu Fathimah, putri tecintanya dengan wanita lain.