Wafatnya Abu Thalib sebagai kepala klan Bani Hasyim mendatangkan kesedihan bagi Nabi Muhammad saw. Abu Lahab, paman Nabi yang sangat memusuhi beliau menggantikan posisinya sebagai kepala suku. Kondisi ini menyebabkan keselamatan Nabi di Makkah semakin terancam, beliau tidak mendapatkan lagi perlindungan secara politis dari sukunya. Semenjak itu tidak jarang beliau mengalami berbagai macam gangguan, kekerasan fisik, hingga ancaman pembunuhan.
Dalam kondisi sulit tersebut Nabi mencoba berdakwah ke Thaif, dataran tinggi yang subur di sebelah selatan Kota Makkah. Tetapi di sana justru disambut dengan buruk dan mendapatkan pelecehan dari para pemimpinnya. Mereka menyuruh budak, anak-anak, dan warga untuk menyoraki Nabi, menimpukinya dengan batu, dan mengusirnya dari kota seperti layaknya mengusir orang gila. Beliau berhasil menyelamatkan diri dalam kondisi berdarah-darah, lalu berlindung di salah satu kebun kepunyaan orang Quraisy.
Akhirnya beliau memutuskan untuk kembali lagi ke Makkah dengan membawa kesedihan. Untung ada seseorang di luar sukunya, yaitu Muth’im bin Adi yang bersedia memberikan jaminan perlindungan kepada beliau.
Bai’at al-Aqabah
Meski dalam konsisi penuh tekanan, Nabi saw tetap istiqomah melanjutkan tugas dakwahnya, mengajak sekalian manusia ke jalan kebenaran. Apabila ada tamu-tamu yang datang ke Makkah untuk berhaji dan umrah maka beliau mengunjungi tendanya, barangkali ada telinga dan hati yang mau mendengarkan seruannya. Pada suatu malam beliau mendatangi enam orang dari suku Khazraj Madinah. Mereka tengah berkumpul di Mina selepas menunaikan haji. Nabi sangat bersyukur bahwa para pemuda itu ternyata menyambut baik ajakannya untuk memeluk Islam.
Mereka membuat perjanjian dengan Nabi saw untuk bertemu kembali pada musim haji tahun selanjutnya, yaitu Juli 621 M di Aqabah, salah satu bukit di Mina. Para pemuda tadi mengajak beberapa kawannya sehingga peserta pertemuan kali ini bertambah menjadi 12 orang. Dua orang dari suku Aus dan sisanya dari Khazraj. Mereka mengikat janji setia kepada Nabi yang isinya: “tidak akan menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak akan membunuh anak-anak, tidak berdusta, dan tidak akan mendustai Rasul saw dalam urusan kebajikan.” (HR. Bukhori).
Nabi lalu mengutus Sahabatnya, Mush’ab bin Umair untuk menyertai mereka ke Madinah. Selama menjadi wakil Nabi untuk berdakwah di Madinah, Mush’ab tinggal di rumah As’ad bin Zararah. Ia mengajar dan memberikan bimbingan dengan tekun dari hari ke hari dan hasilnya amat sukses. Demikian Mush’ab berdakwah hingga setelah tiba tahun musim haji berikutnya, Ia kembali ke Makkah dan ketika itu hampir di setiap rumah di Madinah terdapat pemeluk agama Islam.
Pada tahun 13 kenabian ada lima ratus rombongan haji dari Madinah yang menuju Makkah. Diantara rombongan tersebut terdapat 73 muslim yang telah bersepakat dengan Nabi untuk kembali mengadakan pertemuan di Aqabah. Setelah puncak prosesi haji di Arafah, pertemuan tersebut dilakukan pada tengah malam kedua dari hari Tasyriq. Nabi ditemani pamannya, Abbas selanjutnya menerima bai’at Aqabah kubro (tsaniyah) yang isinya sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad:
- Patuh dan taat dalam kondisi senang atau susah.
- Bernafkah dalam kondisi lapang atau sempit.
- Melaksanakan amar makruf nahi mungkar.
- Menegakkan agama Allah tanpa takut celaan atau kecaman dari orang lain.
- Membela Rasul sebagaimana membela diri sendiri, keluarga dan anak anak mereka.
- Jika mereka menepati janji, Insya Allah akan menerima surga.
Sejarah mencatat seluruh peserta Bai’at Aqabah ini memenuhi janji mereka. Sekitar 70 orang diantara mereka terlibat dalam perang Badar. 33 orang diantara mereka terlibat dalam semua peperangan di masa Rasul hidup maupun sesudahnya. Hampir sepertiga diantara mereka gugur sebagai syuhada dan sisanya terlibat dalam berbagai aktivitas yang menunjang tersebarnya nilai-nilai ajaran agama Islam.
Bai’at Aqabah ini melapangkan jalan bagi kaum muslimin yang tertindas di Makkah untuk hijrah ke Madinah, bergabung bersama komunitas muslim yang baru tumbuh mekar di sana. Umat Islam yang terusir dari Makkah dan berhijrah disebut Muhajirin dan saudara-saudara seiman yang menyambut dan menolong mereka disebut kaum Anshar. Dari Madinah dakwah Islam mulai menggema ke seluruh penjuru Arabia.
Rahasia Ikhlas
Bai’ah Aqabah yang semula tampak hanya seperti percikan api peluang, ternyata pada perjalanannya menjadi bara api dakwah yang menyala dan berkobar. Semua itu bisa terjadi karena keikhlasan telah menjadi landasan dalam sebuah perjuangan Nabi saw beserta para Sahabat dalam memperjuangkan agama Allah. Amal manusia ibarat jasad, ikhlas ibarat ruh yang menghidupkan jasad dan menyebabkan amal bisa tumbuh dan berkembang menuju kesempurnaan.
Rahasia kesuksesan gemilang yang diraih oleh orang yang ikhlas dan tanpa pamrih yaitu Allah akan memberikan kecondongan hati manusia kepadanya. Orang-orang akan mengelilingi karena senang berada didekatnya. Mereka sama memberikan support, dukungan dan bantuan secara sukarela. Atas datangnya sumberdaya dari Allah yang melimpah ruah tersebut seorang yang mukhlas menjadi semakin bertambah kuat tekad dan kemauannya. Akhirnya berkembang menjadi aktivitas yang penuh dengan kesungguhan, pantang menyerah, konsisten, tekun dan telaten.
Orang yang ikhlas akan banyak mengalami keajaiban dalam hidupnya. Sebab Allah akan memberikan pertolongan kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Para malaikat akan turun menyampaikan penghiburan dan kabar gembira supaya mereka tidak merasa khawatir dan bersedih. Mereka juga akan menjadi kawan yang berada di barisan terdepan, membela orang-orang yang ikhlas dalam menjalani tantangan hidup di dunia dan akhirat.
نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ
Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. (Fussilat : 31)
Dalam hadits qudsi Allah berfirman, “Ikhlas adalah salah satu dari rahasiaKu, yang Aku berikan ke dalam hati orang yang kucintai dari kalangan hamba-hamba-Ku”. Amal yang ikhlas tidak diketahui oleh syetan sehingga mereka tidak bisa merusaknya, bahkan tidak diketahui malaikat sehingga mereka tidak kuasa mencatatnya. Allah sendiri yang secara langsung akan memberikan pahalanya.
Tidak ada amal perbuatan yang dapat tegak kecuali Allah telah memasukkan ruh berupa cahaya ikhlas yang dapat menghidupkan amal tersebut.
اَلْأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ، وَأَرْوَاحُـهَا وُجُوْدُ سِرِّ اْلإِخْلاَصِ فِيهَا
Amal-amal itu bentuk lahir semata, adapun ruh-ruh yang menghidupkannya adalah hadirnya cahaya ikhlas di dalamnya. (Al Hikam, Ibnu Athaillah)
Sebagaimana amal berkualitas tinggi yang ditampilkan oleh para nabi, rasul serta hamba-Nya yang Dia cintai, adalah karena ada ruh yang menghidupkannya. Ruh itu berupa cahaya ikhlas yang menyala di dalam hati. Seorang mukhlas akan menceburkan dirinya dan menyelam ke lautan amal yang dalam untuk memunguti manikam-mutiara tak ternilai harganya.
Ikhlas bisa menjadikan amalan kecil menjadi berbobot. Allah akan melipatgandakan pahalanya menjadi 10 kali lipat, 70 kali, 700 kali, sampai dengan tak terhingga. Ada seorang wanita tuna susila yang memberi minum anjing kehausan lalu diampuni oleh Allah dosa-dosanya. Orang yang menyingkirkan batu di jalan agar tidak membahayakan bagi yang lewat dimasukkan oleh Allah ke surga-Nya. Melalui keikhlasan amal yang tampak sederhana bisa mendatangkan keridha’an-Nya. Nabi saw bersabda: “Ikhlaslah dalam melaksanakan agamamu, niscaya cukup bagimu amal yang sedikit.” (HR. Abu Nuaim)
Motivasi para ‘kekasih’ Allah dalam melaksanakan amal adalah tidak ingin apa-apa, baik itu berupa keinginan mendapatkan keuntungan duniawi atau meraih pahala dan surga. Perlunya ibadah semata-mata tahqiiqul ubudiyyah wal qiyaamu bi wadzoo’I fir rububiyyah, untuk memperdalam kelembutan hatinya sehingga bisa merasakan ‘ngawula’ kepada Allah. Ibadahnya kepada Allah berlandaskan kesadaran sebagai hamba, sepenuh syukur, dengan membuktikan ikut perintah Allah dan sebenar-benar khidmah (pelayanan).
Ibadah seperti ini dapat menghasilkan bertambahnya kemuliaan dan ketinggian derajat di sisi Allah SWT baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
وَاَنَّ اِلٰى رَبِّكَ الْمُنْتَهٰىۙ
dan sesungguhya kepada Tuhanmulah kesudahannya (segalanya menuju), (An Najm : 42)
Orang seperti ini telah berada di puncak keihlasan dan semua gerak kehidupannya didorong oleh rasa syukur. Mereka melakukan rukun, wajib, dan kesunahan-kesunahan dalam ibadah haji sebagai ungkapan rasa terima kasihnya kepada Allah SWT. Mereka akan dilimpahi dengan kenikmatan yang abadi di dalam surga Adn dan Firdaus. Kepadanya juga diberikan nikmat tambahan yang lebih Agung, yaitu keridhaan-Nya serta anugerah bisa memandang Wajah-Nya.
وَمَسٰكِنَ طَيِّبَةً فِيْ جَنّٰتِ عَدْنٍ ۗوَرِضْوَانٌ مِّنَ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
…dan (mendapat) tempat yang baik di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang agung. (QS. At Taubah : 72)