Tantangan yang perlu diperhatikan dalam membangun nuansa kebersamaan dalam beragama di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari batas-batas yang disepakati sebagai fondasi. Kebebasan beragama telah ditempatkan sebagai konstitusi dan mengikat oleh UUD 45 dan amandemen. Penekanan kebebasan beragama perlu dikupas lebih jauh. Tujuannya, agar tidak terjadi miskomunikasi yang menyebabkan terjadinya kesalahan persepsi yang menimbulkan sikap yang tidak diharapkan.
Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri karena setiap elemen keagamaan ingin mengajukan batas-batasnya sendiri. Namun, dalam kovenan toleransi beragama yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) disebutkan tentang jenis-jenis kebebasan beragama. Antara lain, kebebasan memilih agama, kebebasan pindah agama, kebebasan mendakwahkan agama tanpa paksaan dan manipulasi, kebebasan menikah beda agama, kebebasan mendapatkan agama yang berbeda dari agama sendiri, kebebasan berorganisasi berdasarkan agama, dan kebebasan orang tua memberikan pendidikan agama terhadap anak.
Di luar itu, hal yang tak kalah penting untuk menjamin kerukunan umat beragama adalah pola pendidikan agama yang harus dibenahi. Selama ini, pendidikan agama di Indonesia cenderung menghakimi agama lain. Yang lebih mengkhawatirkan lagi jika terjadi penyalahan dan penggambaran agama lain sebagai ancaman bagi agama yang bersangkutan.
Klaim kebenaran terhadap apa yang diyakini tidak boleh menghalalkan tindak kekerasan yang akhirnya mengorbankan sikap toleran. Toleransi, sudah semestinya, dijunjung-dipikul sama tingginya dengan keyakinan terhadap kebenaran itu sendiri. Singkat kata, tidak ada yang boleh menjadi korban dan dikorbankan.
Peran Media Sosial
Saat ini, agama tidak seharusnya menjadi sekat pemisah antarpemeluk agama. Kemudahan mengakses informasi melalui internet merupakan gerbang pembuka untuk memulai diskusi dan melapangkan wacana. Dengan begitu, kita tidak akan mudah terperosok ke dalam lingkaran kesesatan yang membuat mata hati buta. Sehingga menghalalkan segala cara untuk membenarkan apa yang kita yakini, termasuk menempuh jalan kekerasan yang kerap dilakukan sebagian masyarakat selama ini.
Beberapa waktu lalu, di sebuah grup media sosial yang saya ikuti, diributkan oleh sepotong foto. Foto itu mengundang kontroversi karena dua hal. Pertama, karena di sana terdapat foto seorang pastur dan beberapa perempuan berkerudung sedang berfoto di depan altar. Kedua, dan karenanya, banyak komentar tak sedap yang menuduh telah terjadi manipulasi iman.
Ada yang menuduh telah terjadi pelecahan agama, yang karena kebetulan, pose foto itu bertepatan dengan misa Natal tahun lalu. Merebaklah isu-isu tak sedap tentang pemurtadan. Sangat disayangkan sekali, ternyata masyarakat kita mudah terprovokasi hanya dengan sepotong foto yang sama sekali belum mereka mengerti sepenuhnya. Tapi, kebanyakan dari komentar tersebut sudah kadung menyudutkan. Untunglah, keributan itu bisa diredam karena pihak yang terkait sudah memberikan klarifikasi.
Di sinilah peran media sosial itu berlaku. Tak bisa dibayangkan andai foto itu tersebar di media massa dan ditelan mentah-mentah tanpa ada konfirmasi dari sang empunya. Dalam hal ini, media sosial menjadi gerbang pembuka untuk sebuah pencerahan yang lebih luas. Semua bisa mengonfirmasi “kebenaran” yang mereka anggap benar, sebelum terjadi pergegeran di dunia nyata yang berpotensi memunculkan huru-hara.
Untuk mewujudkan kerukunan umat beragama di negeri ini, sudah seharusnya kita menaruh egoisme di laci masa lalu. Perilaku-perilaku tak berkemanusiaan yang memotong hak asasi manusia sudah semestinya tidak dipertontonkan lagi di muka publik. Agar keinginan itu segera terlaksana dan terus terjaga, segenap elemen masyarakat harus yakin bahwa hal itu sulit terwujud jika semua kalangan tidak mau bersepaham bahwa: kerukunan umat beragama di Indonesia adalah tugas bersama.
Menurut Karen Amstrong (2011) tugas agama sangat mirip dengan seni. Yakni, membantu manusia hidup secara kreatif, damai, dan bahkan gembira dengan kenyataan yang sulit dijelaskan. Karena itu, kemajemukan di Indonesia seharusnya juga disikapi dengan melihat agama sebagai sebuah seni, yang memajukan kehidupan manusia menjadi lebih berdaya guna. Bukan saling menuding dan mengklaim diri sebagai yang terbenar sekaligus mencecar agama lain, apalagi menggunakan jalan kekerasan.