Ibnu Athaillah As-Sakandari memiliki nama lengkap Tajuddin Abu al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athaillah al-Judzami al-Maliki al-Iskandari. Beliau lahir di Iskandariah (Alexandria) Mesir di akhir masa Perang Salib ke-7 pada tahun 1250 M.
Masa kecilnya tumbuh dalam keluarga yang mencintai ilmu pengetahuan sekaligus ketat dalam mengamalkan ajaran islam. Kakek dari jalur ayahnya adalah seorang ulama fiqih ahlul hadits pada masanya. Ibnu Athaillah banyak menghabiskan masa remajanya untuk belajar pada beberapa ulama di kota kelahirannya. Salah satu gurunya adalah al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Saat itu Iskandariah merupakan salah satu Kota Ilmu di Semenanjung Mesir. Dia mempelajari berbagai bidang keilmuan mulai dari fiqih, tafsir, hadis, dan ushul fiqih.
Pada awal perjalanan ilmiahnya, Ibnu Athaillah sangat terpengaruh kakeknya, seorang alim yang sangat getol menentang tasawuf dan tidak mengakui kaum sufi. Tidak hanya menentang, ia pun mengecam dan mencela mereka. Suatu ketika Ibnu Athaillah bertemu dengan syaikh Abul Abbas al-Mursi. Setelah berkenalan dan berdialog dengan penerus Abul Hasan al Syadzili ini, Ibnu Athaillah merasakan pesona yang sangat memikat. Dia bersegera menjadikan Sang Mursyid sebagai guru spiritualnya, dan berbai’at sebagai pengikut setia Tarekat Syadziliyah. Dia dalami tasawuf dan kemudian memadukannya dengan ilmu syariat sehingga Ibnu Athaillah menjadi tokoh simbol harmoni syariat dan tasawuf.
Ibnu Athaillah hidup semasa dengan Ibnu Taimiyah, ulama besar dari Syuriah. Sebagai sesama Tokoh berpengaruh kemungkinan mereka berdua pernah bertemu dan berdiskusi tentang prinsip pemikirannya masing-masing. Ibnu Taimiyah sebagai cendekiawan sholeh yang menentang praktik-praktik sufi dan ibnu Athaillah sebagai praktisi sufi yang alim allamah.
Setelah gurunya wafat pada 1287, Ibnu Athaillah menggantikan posisinya sebagai mursyid Thariqah Syadziliyah. Ia banyak menulis karya yang menjadi bahan kajian dari masa ke masa dan tak pernah putus memberi pencerahan akal dan hati. Beliau menulis sebuah karya besar dalam bidang tasawuf yakni Kitab al-Hikam yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Menurut Habib Luthfi bin Yahya kitab al-HIkam merupakan tasawufnya ahli tauhid, kalau kitab Ihya’ Ulumuddin karya imam al-Ghazali adalah tasawufnya para ahli fikih.
Beliau juga menulis Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah, mengenai metode cerdas berdzikir dan berdoa. Kitab At-Tanwir Fi Isqath At-Tadbir, yang menjelaskan metode madzhab Syadzili dalam menerapkan sejumlah nilai sufi, terutama tentang Kepasrahan dengan prinsip tidak ikut mengatur bersama Tuhan. Kitab Lathaif fi Manaqib Abil Abbas al-Marasi wa Syaikhihi Abil Hasan, untuk mengenang guru-guru pertama tarekat Syaziliyyah. Kitab al-Qashd al-Mujarrad fi Ma’rifat al-Ismil mufrad yang mendedahkan keagungan Asma wa Shifat Allah agar bisa bertauhid dalam berdzikir. Kitab Bahjat an Nufus tentang riyadhah (senam) jiwa ala Ibnu Athaillah, serta kitab Tajul Arusy yang penuh dengan mutiara-mutiara ma’rifat.
Ibnu Atha’illah berkata, “Sesungguhnya Allah telah menjadikan dunia ini sebagai tempat kerusakan dan sumber kerusakan, hanyalah dimaksudkan agar Anda jemu dan membencinya.” Selanjutnya beliau menasihati para muridnya, “Kosongkan hatimu dari segala sesuatu selain Allah, maka Allah akan memenuhinya dengan Pengetahuan dan Rahasia”. Untuk menghindarkan diri dari ikatan dan kelekatan duniawi beliau menganjurkan sikap zuhud: “Tidaklah engkau mencintai sesuatu kecuali bahwa bahwa engkau akan menjadi budak sesuatu itu, sementara Dia (Allah) tidak berkenan sekiranya engkau menjadi budak dari selainNya”.
Kepasrahan terhadap-Nya sejak awal urusan merupakan penanda keberhasilan perjalanan seorang salik. Ibnu Athaillah mensiratkan, “Di antara tanda keberhasilan pada ujung perjuangan adalah berserah diri kepada Allah semenjak permulaan. Barang siapa yang tersinari di awalnya, maka akan tersinari pula di akhirnya”. Segala sesuatu berjalan berdasar prinsip dan perencanaan-Nya, keyakinan beliau ini terungkap dalam kalimatnya, “Segala sesuatu bertumpu pada kehendak Allah, dan kehendak Allah tak bersandar pada apa pun”. Demikianlah sekelumit pengajaran Mursyid Besar ini tentang tasawuf.
Syaikh Ibnu Athaillah As-Sakandari hidup di periode waktu peradaban Islam yang cukup rumit. Umat Islam di belahan Dunia Timur ditaklukkan oleh Mongol. Mesir di bawah kepemimpinan Mamluk menjadi negara yang aman dan beberapa kali berhasil menghalau invasi Mongol. Pasukan Mamluk memukul telak mereka di Ayn Jalut (1260 M) dan Hims (1281 M). Menjelang akhir hayatnya, beliau menyaksikan konversi Mongol ke Islam setelah Rajanya, Ghazan menjadi penganut sufi di tahun 1295. Pada hari wafatnya, 16 Jumadil Akhir 709 H/1310 M ribuan manusia mengiringi jenazah wali agung itu di Basathin Iskandariah. Kini di atas makamnya didirikan musoleum untuk mengenang kedudukannya yang mulia di sisi Allah SWT.