Peristiwa hijrahnya Rasulullah Ṣaw ke Tha’if merupakan salah satu episode penting dalam sejarah Islam. Ketika Abu Thalib wafat, Rasulullah Ṣaw mengalami gangguan dari kaum Quraisy. Ketika gangguan dan perlawanan dari kaum Quraisy kepada beliau dan umat Islam semakin meningkat, beliau memutuskan untuk pergi ke Tha’if.
Kota Tha’if merupakan kota besar ketiga sesudah Makkah dan Yastrib yang letaknya di sebelah tenggara kota Makkah dengan jarak sekitar 75 mil. Kota ini terletak pada punggung gunung Ghazwan. Penduduk kota Tha’if adalah suku Tsaqif, yang merupakan pesaing Quraisy dalam perdagangan dan kepercayaan. Disebutkan dalam firman Allah:
وَمَآ اَرْسَلْنَا فِيْ قَرْيَةٍ مِّنْ نَّذِيْرٍ اِلَّا قَالَ مُتْرَفُوْهَآ ۙاِنَّا بِمَآ اُرْسِلْتُمْ بِهٖ كٰفِرُوْنَ. وَقَالُوْا نَحْنُ اَكْثَرُ اَمْوَالًا وَّاَوْلَادًاۙ وَّمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِيْنَ
Dan setiap Kami mengutus seorang pemberi peringatan kepada suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) berkata, Kami benar-benar mengingkari apa yang kamu sampaikan sebagai utusan. Dan mereka berkata, Kami memiliki lebih banyak harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami tidak akan diazab. (QS. Saba’: 34-35)
Rasulullah Ṣaw pergi ke Tha’if bersama dengan Zaid bin Harithah. Ketika sampai di Tha’if, beliau menemui kelompok para pemuka dan pimpinan Bani Tsaqif dan mengajak mereka untuk beriman kepada Allah SWT. Ternyata beliau menghadapi penolakan yang sangat keras. Seperti mengusir orang gila dari kampung, mereka menyuruh orang-orang bodoh dan budak-budak untuk mencela, meneriaki, dan melempari beliau dengan batu. Sungguh perbuatan yang amat tercela pada seorang rasul yang sangat mulia.
Dalam kondisi kepayahan Rasulullah Ṣaw berlindung di sebuah kebun kurma milik orang Quraish, yaitu Utbah bin Rabi’ah dan Syaibah. Demi menyaksikan perlakuan buruk penduduk Tha’if kepada sesame Quraish, tergeraklah kehormatan mereka. Uthbah memanggil seorang budak beragama Nasrani, yaitu ‘Addas, seraya mengatakan, “Petiklah anggur secukupnya, letakkanlah di atas talam ini, kemudian bawalah kepada laki-laki itu. Persilahkan ia untuk memakannya.”
Meskipun penuh kesulitan, peristiwa ini juga mengandung hikmah dan pelajaran penting:
- Tawakal dan keyakinan pada takdir Allah
Rasulullah Ṣaw dan Zaid bin Haritsah bersembunyi di kebun milik Uthbah bin Rabi’ah untuk menghindari kejaran orang-orang Tha’if. Di sana, Rasulullah Ṣaw memanjatkan doa:
“Ya, Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapa diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan akhirat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan dan mempersalahkan diriku. Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir)
Dalam doa tersebut, Rasulullah Ṣaw bersandar kepada Allah SWT atas usahanya dalam menyampaikan dakwah. Meskipun tidak mendapatkan penerimaan yang baik di Tha’if, beliau tetap tawakal dan percaya pada takdir yang ditentukan oleh Allah SWT. Ini mengajarkan kepada kita untuk menerima takdir dengan lapang dada dan yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari rencana Allah SWT yang lebih besar.
- Sabar, berhati lembut, dan ketabahan
Mendengar doa Rasulullah Ṣaw, Allah SWT mengutus malaikat Jibril untuk menyampaikan bahwa Allah SWT menerima doa beliau. Bersama Jibril turut serta malaikat penjaga gunung yang berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan Gunung Akhsyabin ini ke atas mereka.”
Rasulullah Ṣaw menolak tawaran tersebut. Bahkan, beliau berharap bahwa suatu saat nanti orang-orang Tha’if akan memeluk Islam dan beriman kepada Allah SWT. Rasulullah Ṣaw kemudian berdoa, “Ya Allah! Tunjukkanlah kaumku (ke jalan yang lurus), karena sesungguhnya mereka itu tidak mengerti.”
Sekalipun sudah dilempari batu hingga terluka parah, Rasulullah Ṣaw tidak menyimpan dendam kepada para penduduk Tha’if. Di kemudian hari, penduduk Tha’if akhirnya menjadi pengikut Rasulullah Ṣaw dan memeluk agama Islam.
Dari kisah tersebut, Rasulullah Ṣaw menunjukkan bahwa dakwah harus dilaksanakan dengan penuh kesabaran dan kelembutan hati. Karena tujuan dakwah adalah menyampaikan wahyu dan membawa kebaikan, maka jangan sampai perasaan kecewa dan dendam justru malah membawa keburukan bagi orang-orang yang dituju.
- Membalas keburukan dengan kebaikan
Rasulullah Ṣaw memberikan teladan mulia dalam peristiwa Thaif. Meskipun menghadapi penolakan dan penistaan, beliau justru mendoakan kebaikan bagi suku Tsaqif. Beliau memohon kepada Allah agar dibangkitkan dari keturunan orang-orang Thaif generasi yang bisa menerima dakwah Islam.
Doa ini dijawab oleh Allah SWT. Meskipun suku Tsaqif termasuk kaum yang paling akhir memeluk agama Islam, namun ketika Nabi saw wafat dan muncul gerakan kemurtadan di banyak tempat, orang-orang Tsaqif khususnya dari kalangan generasi mudanya tampil menegakkan panji-panji agama Islam. Bersama khalifah Abu Bakar mereka tampil ke medan perang, berjuang memberantas musuh-musuh Islam.
Allah berfirman dalam al-Qur’an:
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (Fussilat : 34)