Sejarah peradaban Islam selalu diwarnai perebutan pengaruh antara teks dan konteks. Sebagian kalangan berpendapat bahwa teks-teks keagamaan hendaknya diaplikasikan dengan utuh dan konsisten sedemikan hingga kemurnian agama Islam dapat terjaga. Di sisi lain, banyak juga kalangan yang mencoba menggugat hegemoni teks-teks keagamaan ini dengan menegaskan bahwa teks tidaklah lahir dari ruang hanpa, ia muncul dari sebuah konteks sosial budaya maupun politik yang melingkupinya. Dari dua kutub besar ini, dikenal istilah naql dan ‘aql; ats-tsabit (status quo) dan al-mutahawil (penyeru perubahan); ada pemikiran liberal dan pemikiran literal, yang masing-masing memiliki kesetiaan tersendiri terhadap teks maupun konteks.
Meski masing-masing memiliki keunggulan, yang harus diinsyafi adalah bahwa pemikiran yang terlalu tekstual maupun pemikiran yang sangat ‘tergila-gila’ dengan konteks memiliki titik lemah yang cukup rawan. Penerapan teks dengan apa adanya tanpa melihat konteks, dapat dikatakan ‘pemerkosaan’ terhadap teks itu sendiri. Pada saat demikian, dengan alasan kesucian teks, kembali pada al-qur’an dan as-sunnah, atau yang semisal, teks seakan-akan dipaksakan untuk diterima, sehingga yang demikian berpotensi memicu kejumudan, stagnasi pemikiran, bahkan ketidak-kreatifan yang pada akhirnya menjadikan seseorang tercerabut dari lingkungannya dan termarginalkan. Demikian pula, terlalu setia kepada konteks (aql), bukan saja berbahaya, salah-salah yang terjadi justru ‘akal-akalan’, dimana teks ‘diakali’ agar sesuai ajakan hawa nafsu.
Dalam merespon dua arus pemikiran yang terus bergulir hingga dewasa ini, kita tidak boleh apriori dengan serta merta memihak pada salah satu model pemikiran di atas. Melibatkan diri dalam pro-kontra soal corak pemikiran dikotomis itu, bukan saja kurang produktif dari sisi penggunaan waktu, lantaran hal itu merupakan pengulangan sejarah dari generasi ke generasi, melainkan juga bisa terjebak pada fanatisme subjektivis. Oleh karena itu, Kawan Islam memilih dan menawarkan jalan tengah (al-wasathiyyah) di antara dua titik ekstrem yang saling berlawanan. platform ini dijadikan sebagai landasan filosofi Kawan Islam dalam mendakwahkan Islam rohmatan lil ‘alamin.
Pada tataran praksisnya, wujud dakwah moderat (al-wasathiyyah) dalam Kawan Islam diklasifikasikan menjadi empat wilayah dakwah; Pertama, Dakwah moderat dalam persoalan ‘Aqidah, sebagai contoh keseimbangan dalam persoalan ‘aqidah ini ialah bahwa Islam tidak seperti keimanan kaum mistisisme yang cenderung berlebihan dalam mempercayai benda ghaib. Pada sisi yang berseberangan, Islam juga menentang aliran materialisme yang terkesan mengesampingkan sebuah eksistensi di balik metafisik, sehingga menafikan semua jenis eksistensi di luar jangkauan indera. Sebagai wujud konkrit dakwah moderat di sini ialah memadukan kedua kecendrungan di atas. Bahwa keberadaan metafisik dan materi dapat ditangkap sebagai keniscayaan. Mengimani benda-benda ghaib sejauh didasari dalil-dalil syar’i maupun aqli sama wajibnya dengan mempercayai wujud ciptaan Tuhan yang lain di alam raya.
Kedua, Dakwah moderat dalam persoalan Ibadah. Term Ibadah dalam Islam dipersepsikan sebagai amalan suci dalam bentuk ritus-ritus agama. Jenis amalan ini sengaja diproyeksikan sebagai simbol identitas kehambaan seorang manusia di hadapan Sang pencipta. Dalam Islam disyariatkan jenis-jenis pelaksanaan ibadah harian, seperti shalat, ibadah tahunan, seperti puasa Ramadhan, ibadah yang bersifat tentatif, yakni zakat dan haji. Jenis-jenis ibadah ini telah ada Juklak-Juknis nya dalam fiqh Islam, yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun tak jarang, pelbagai perbedaan pendapat (ikhtilaf) muncul sebagai konsekuensi atas pemahaman teks agama yang beragam. Kondisi ini sering menyebabkan truth claim sepihak, yang berujung pada ‘penyesatan’ kelompok lain yang tidak sepaham. Dalam konteks ini, Kawan Islam mencoba hadir menawarkan ‘keluwesan’ -untuk tidak mengatakan titik temu- di antara perbedaan-perbedaan dalam praktek ibadah dengan menyerukan paradigma relativisme absolut, yakni dengan konsisten mengamalkan kebenaran relatif yang kita yakini, tanpa menyalahkan kebenaran relatif yang diyakini orang lain.
Ketiga, Dakawah moderat dalam persoalan perangai dan budi pekerti. Sebagai makhluk bi-dimensional, manusia terdiri dari dua unsur; Jasmani dan ruhani menjadikannya pada posisi makhluk paling baik dan mulia di antara sekian banyak jenis dan ragam ciptaan Allah. keseimbangan komponen yang melekat pada diri manusia tersebut pada waktu bersamaan akan menumbuhkan keseimbangan pula pada perilaku dan perangai manusia dalam berinteraksi sehari-hari. Berkaitan dengan hal ini, maka penanaman nilai-nilai sufisme (tashawwuf) dengan upaya pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs) menjadi bagian dari komitmen dakwah Kawan Islam di kalangan remaja, dengan mendakwahkan nilai-nilai kejujuran, integritas, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri, dan sinergitas, lebih-lebih di tengah dominasi dan penekanan dunia pendidikan pada bidang akademik dan kecerdasan otak serta mengesampingkan kecerdasan emosi dan spiritual yang berakibat pada berkecambahnya krisis dan degredasi moral kaum terdidik, pemiskinan sumber daya manusia, dan penyempitan cakrawala berpikir yang cenderung berkutat pada militansi sempit atau penolakan terhadap pluralitas.
Keempat, dakwah moderat dalam persoalan kebangsaan. Panggung perpolitikan tanah air ini selalu diwarnai dengan pengotak-ngotakan yang berakar pada ‘ideologi’, antara yang ‘nasionalis’ dan yang ‘religius’. Sebutan ini muncul bagai dua kutub yang berseberangan. ‘yang nasionalis’ seolah diidentikkan dengan kecintaan kepada bangsa dan keutuhan Negara, sedang ‘yang religius’ lebih dikonotasikan pada cita-cita dan perjuangan untuk mewujudkan Negara agama dengan doktrin-doktrin keislaman. Polarisasi seperti ini terasa begitu kuat di tanah air dewasa ini, seiring semakin menguatnya politik identitas. Sejak awal abad ke-20 hingga kini, ada desakan sebagian orang Islam yang mengaku sebagai pembaharu atau modernis untuk mendirikan Negara Islam atau Pan-Islamisme, termasuk tuntutan Islamisasi di pelbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Dikotomi ini sesungguhnya merupakan produk penelitian sosial yang kemudian dijadikan pijakan analisis pada tingkat kebijakan politik, seperti istilah santri-abangan. Mestinya dikotomi seperti ini tidak menjadi persoalan yang krusial bagi keretakan sosial, namun seiring meluasnya arus komunikasi lewat media sosial, persoalan ini kembali muncul ke permukanaan bahkan menjadi begitu massif dibicarakan di hampir semua kalangan masyarakat luas.
Kondisi inilah yang mengilhami Kawan Islam untuk mencoba memberikan kontribusi dengan menyunting, menyusun narasi perdamaian, kritik atas pemikiran radikalisme dalam bentuk ramuan tulisan, ceramah wacana pemikiran yang argumentatif dan sajian-sajian khas kaum milenial yang bernafaskan Islam rahmatan lil ‘alamin. Kawan Islam hadir mengajak generasi muda untuk lebih aktif dan kritis membaca setiap fenomena sosial keagamaan yang tumbuh berkembang di tengah masyarakat dan bangsa, sekaligus memperhatikan persoalan etika-religius sebagai benteng pertahanan di tengah gempuran tantangan global.
Wallahu A’lam bis Showab. Selamat membaca, semoga bermanfaat…