Syi’ah merupakan kelompok yang menyatakan bahwa Ali Bin Abi Thalib adalah yang paling utama diantara para Sahabat dan yang berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan atas kaum muslim sepeninggal Nabi SAW. Ali memantapkan dirinya sebagai penjaga api batin Islam, melalui khutbah2 spiritual yang disampaikan dengan penuh semangat. Para pengikutnya melihat pada diri Ali kualitas spiritual pemberian Tuhan yang membuatnya lebih dari manusia biasa, sebuah kualitas yang mereka lihat ada pada diri Muhammad juga. Tetapi mereka tidak menyebut Ali sebagai utusan Allah, mereka menyebutnya sebagai Imam.
Meninggalnya Husain (putera Ali) bersama sejumlah kecil pengikutnya yang dibantai oleh pasukan besar Yazid bin Muawiyah telah memercikkan nyala api. Orang2 yang dengan penuh semangat mendukung Ali kini menjadi api padang rumput yang bernama Syi’ah. Sampai hari ini Syi’ah di seluruh dunia setiap 10 Muharam memperingati kesyahidan Husain di Karbala. Cucu kesayangan Nabi SAW itu menjadi simbol keberanian melawan tirani ketidakadilan, kebrutalan, dan penindasan di seluruh dunia muslim.
Semenjak kematian Husain, Syi’ah menjadi ancaman bagi penguasa Bani Umayah. Militan Syi’ah terus memicu pemberontakan untuk membawa salah satu dari keturunan Ali ke tampuk kepemimpinan. Mereka mengkampanyekan bahwa kekhalifahan bukan milik Bani Umayyah. Dinasti Umayyah menanggapi ancaman ini dengan menetapkan Syiah sebagai pecundang religius yang selalu mendapat tekanan dan teror. Pada saat bersamaan, pemerintah Arab memperlakukan Persia (negara taklukan) sebagai pecundang etnis yang ditekan dan dipinggirkan. Akhirnya Persia mulai merangkul Syi’ah dan pemberontak Syi’ah mulai mencari pengikut baru di Persia.
Pada 750 M koalisi antara Persia dan Syi’ah menemukan momentumnya. Pada saat masyarakat muslim dikecewakan dengan kesombongan dinasti Umayah, Hasyimiyah (gerakan bawah tanah Syi’ah) berhasil memukul mundur pasukan Muawiyah di Irak, lalu menyatakan Abbas sebagai khalifah baru Islam. Pada awal dinasti Abbasiyah, banyak pengikut Syi’ah berpikir keluarga Abbas akan meletakkan imam Syi’ah di atas tahta, sebagaimana propaganda yang dilancarkan oleh Hasyimiyah. Akan tetapi, Dinasti Abbasiyah dengan segera mengikuti kelompok Islam Sunni, sebagai kelompok mayoritas yang memiliki kekuatan sosial yang begitu besar di dunia Islam. Perburuan terhadap keturunan Ali justru semakin diintensifkan dalam rangka meredam pemberontakan.
Sikap keras dan represif pemerintahan Abbasiyah menghidupkan kembali dorongan pengikut Syi’ah untuk memberontak. Pada 969 M, jenderal Syi’ah dari Tunisia berhasil merebut kendali atas Mesir dan memproklamirkan berdirinya kekhalifahan Islam yang sejati (dinasti Fatimiyah). Dinasti ini membangun kota Kairo di Mesir dan mendirikan Al Azhar. Pada 1000 M, kekhalifahan ini mencapai puncak kejayaannya, mengalahkan pamor Baghdad (Abbasiyah) maupun Cordoba Spanyol (Umayah II). Wilayahnya membentang di sepanjang pantai utara Afrika hingga Mesir, damaskus, Yaman, dan memiliki Makkah-Madinah. Dinasti Fatimiyah setelah melemah lalu ditaklukkan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi, muslim yang beraliran sunni pada 1163 M.
Pada 1295 M, Mahmud Ghazan, Kaisar Mongol di Persia masuk Islam dan mendirikan dinasti Il-Khan yang beraliran Syiah. Tamerlane menghancurkan dinasti Ill-Khan pada tahun 1429 M dan menggantikannya dengan dinasti Timuriyah. Dinasti Syafawi yang kuat dan beraliran Syiah 12 imam selanjutnya tampil mengggantikan Timuriyah. Dinasti ini mencapai puncak kejayaannya di abad ke 16 di bawah kepemimpinan Syah Abbas. Dia membangun kota setengah dunia, Isfahan. Seiring berjalannya waktu peradaban Syi’ah di Persia silih berganti, dari Dinasti Al Asyfar, Zandi, Qajar, Pahlevi hingga Iran saat ini yang dipimpin oleh para mullah yang beraliran Syiah Imamiyah.
Harmonisasi Sunni-Syiah
Syi’ah Imamiyah (Itsna ‘Asyariyah) sebagaimana dianut warga Iran merupakan kelompok mayoritas aliran Syi’ah di dunia. Quraish Shihab berpendapat, tidak banyak ditemukan perbedaan yang prinsipil antara Sunni-Syiah kecuali menyangkut masalah imamah. Sunni menganggap bahwa masalah kepemimpinan diserahkan kepada umat melalui syura (demokrasi), sedangkan Syi’ah meyakini bahwa kepemimpinan adalah jabatan ilahiah. Allah telah memilih para imam sebagaimana Dia memilih Nabi. Allah memerintahkan kepada Nabi Saw untuk menunjuk dengan tegas Ali bin Abi Thalib sebagai washi (yang diwasiati), dilanjutkan oleh keturunannya secara turun temurun hingga yang terakhir (imam ke-12), yaitu al-Mahdi, yang diyakini juga kemunculannya kelak oleh kaum Sunni.
Banyak studi menunjukkan bahwa versi Islam yang pertama datang ke Indonesia sesungguhnya adalah Islam Syi’ah, sebagaimana dibuktikan dengan hadirnya tradisi Syiah di Aceh. Said Aqil Siradj, menyebut NU (kelompok mayoritas muslim di Indonesia) sebagai Syi’ah kultural. Karena warga NU sangat mencintai Ahlul Bait (keluarga) Nabi Muhammad SAW dan keturunannya. Peringatan haul, acara tahlil orang meninggal tiga hari, 40 hari, dan sebagainya serupa dengan upacara2 Syi’ah. Warga NU juga pantang menikahkan anak atau berpesta pada hari Asyura, yang merupakan hari kesedihan memperingati syahidnya cucu Nabi, Al-Husain (Imam Syiah ketiga). Di kalangan NU juga sering dibacakan Shalawat Dibba’, di mana di dalamnya disebutkan nama-nama Imam Syi’ah dan keistimewaan Ahlul Bait.
Sekitar 90% muslim sedunia merupakan kaum Sunni dan 10% menganut aliran Syi’ah. Ini berarti jika ada 2,1 M penduduk muslim di seluruh dunia maka 210 juta adalah penganut Syiah. Negara2 penganut Syi’ah dan Sunni sama2 bergabung dalam OKI. Peradaban Islam yang disumbangkan dari aliran Syiah juga tidak bisa terhapus dari perjalanan sejarah Islam. Sehingga upaya untuk mengharmoniskan dua aliran besar dalam Islam ini menjadi menjadi kebutuhan pada saat ini, dimana permusuhan hanya akan menimbulkan kebencian dan saling berbunuhan seperti yang terjadi di Timur Tengah.
Upaya mempertemukan Suni-Syiah ini sudah lama dirintis oleh para ulama, yang terutama dipelopori oleh Syekh Mahmud Syaltut (Al Azhar) dan Ayatullah Burujerdi (Iran). Hasil dari kesepakatan kedua tokoh tersebut adalah bahwa mazhab Ja’fari diajarkan secara resmi di al-Azhar dan diakuinya mazhab Ja’fari sebagai mazhab resmi dalam Islam sebagaimana empat mazhab lainnya. Bahkan rektor Al-Azhar, Dr. Ahmad Thayyib, mengatakan banyak kaidah hukum yang diambil dari mazhab Ja’fari adalah sah, ketika tidak ditemukan pada empat mazhab. Dengan saling mengenal antara satu sama lain dan saling menghargai prinsip masing2 diharapkan dunia Islam berada dalam suasana keharmonisan dan persaudaraan.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (QS Ali Imron : 103)