Pada pertemuan puncak Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Malaysia (2003) yang dihadiri Pemimpin negeri-negeri muslim baik suni maupun syiah, ditegaskan bahwa “kendati terdapat perbedaan dalam rincian ajaran, tetapi semua pihak mengakui bahwa prinsip-prinsip pokok ajaran mereka satu”. Hasil pertemuan ulama’ sunni-syiah Irak di Makkah yang difasilitasi oleh OKI menyepakati piagam bersama yang salah satu poinnya,”Seorang muslim adalah siapa yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya”. Perbedaan antara kedua madzhab (sunni-syiah) adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam’ushul (prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak juga dalam rukun-rukun Islam.
Tidaklah dibenarkan oleh agama untuk saling mengkafirkan, Sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW:
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan panggilan ‘kafir’ padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu kembali kepada penuduh” (HR Bukhori – Muslim). Juga tidak dibenarkan mengutuk/mencela satu madzhab karena kesalahan yang dilakukan oleh pengikut madzhab tersebut.
Syaikh Muhammad Husain, ulama’ besar Syiah dalam bukunya Ashl asy-Syiah wa Usuliha menyebutkan bahwa rukun iman terdiri dari: (1)Pengetahuan/Keyakinan tentang Tuhan, (2) Pengetahuan/keyakinan tentang yang menyampaikan dari Tuhan, (3) Pengetahuan tentang peribadatan dan tata cara pengamalannya, (4) Melaksanakan kebajikan dan menampik keburukan, (5) Kepercayaan tentang hari kiamat dan (6) Imamah. Sedangkan tonggak2 yang diatas dasarnya Islam dibina, yaitu (1) Shalat, (2) Puasa, (3) Zakat, (4) Haji dan (5) Jihad”.
Ahlu sunnah berpendapat bahwa iman terdiri dari enam rukun, yaitu keimanan kepada: (1) Allah, (2) para Malaikat, (3) Kitab2 suci, (4) para Rasul, (5) Hari Kemudian dan (5_ Qadha’ dan Qadar. Sedangkan rukun Islam meliputi: (1) Syahadat, (2) Shalat, (3) Zakat, (4) Puasa dan (5) Haji, sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhori melalui Umar bin Khottob.
Syiah tidak menyebut secara eksplisit butir-butir kepercayaan kepada malaikat, kitab-kitab dan para Rasul seperti sunni karena secara dari rukun iman nomor (2) sudah mencakup rincian keimanan kepada para Rasul dan malaikat sebagai penyampai pesan2 Allah dan mencakup wahyu-wahyu-Nya yang dicantumkan dalam kitab-kitab suci.
Adapun tidak dicantumkannya keimanan tentang Qadha’ dan Qadar yang merupakan rukun ke (6) dalam pandangan sunni bukan berarti syiah tidak mempercayainya. Dalam buku-buku aqidah yang ditulis oleh ulama-ulama Syiah Imamiyah/Itsna Asyariah ditemukan uraian-uraian tentang Qadha’ dan Qadar yang mereka artikan bahwa manusia berada di lingkungan keduanya. Namun demikian, manusia memiliki kebebasan bertindak dan kemerdekaan berkehendak. Pendapat mereka ini justru serupa dengan pendapat tokoh Ahlusunnah, yaitu Abu Hasan Al Asy’ari pendiri aliran Asy’ariah, yang dianut oleh mayoritas Ahlussunnah.
Tidak adanya penyebutan syahadat dalam rukun islam karena menurut Syiah sudah termasuk dalam kategori keyakinan akan keesaan Tuhan (rukun iman yg pertama). Sedangkan bagi sunni keimanan dalam hati itu harus diungkapkan secara tegas dalam bentuk syahadat dan melaksanakan rukun-rukun islam yang lainnya.
Adapun jihad, maka Syiah sangat menekankan pentingnya hal ini. Mereka membaginya menjadi jihad Asghar(kecil) dan jihad akbar(besar). Pembagian seperti ini juga dikenal dalam sunni, kendati mereka kita tidak menyebutkan sebagai rukun tersendiri. Bahkan ulama sunni,seperti Ibnu Taymiyah sangat mengangap pentiang tentang jihad tersebut.
Kesimpulannya sunni-syiah memiliki kesamaan prinsip dalam keimanan yaitu: tauhid, kenabian dan Hari Kemudian. Satu-satunya perbedaan prinsip dengan syi’ah adalah terkait dengan masalah imamah, dimana Syaikh Husain (Ulama’ Syiah) mengatakan: “Syiah Imamiyah menambahkan rukun keenam, yaitu Kepercayaan kepada imam, yang maknanya adalah percaya bahwa imamah adalah kedudukan yang bersumber dari Tuhan sebagaimana kenabian (yang juga bersumber dari Tuhan)”.Bedanya pemilihan Nabi disampaikan Allah melalui malaikat Jibril dan mendapatkan wahyu dari Allah, sedangka penunjukan imam melalui Nabi Muhammad kepada Ali dan imam-imam selanjutnya serta imam tidak mendapatkan wahyu tetapi mereka memperoleh kedudukan yang sangat tinggi karena kesucian jiwanya.
Sementara itu sunni menganggap keyakinan tentang imamah ini terlalu berlebihan dan tidak logis, tetapi meskipun demikian Ahlusunnah memberikan penghormatan besar kepada pribadi-pribadi yang diangap sebagai imam oleh golongan syiah tersebut. Sunni berpendapat bahwa imamah berarti pemerintahan dan imam adalah kepala negara, ia tidak termasuk dalam ushuluddin (prisip-prinsip pokok agama) sebagimana diyakini oleh para penganut syiah.
<< Sebelumnya Selanjutnya >>