Dinasti Fatimiyah (969-1171 M) yang berkuasa di sepanjang pantai utara Afrika hingga Mesir, damaskus, Yaman, dan memiliki Makkah-Madinah, merupakan dinasti yang beraliran Syiah Ismailiyah. Pada akhir abad ke-11, Pemimpin sempalan Syiah yang revolusioner merasa tidak puas dengan kemegahan Fatimiyah, Ia lalu mengutus seorang intel bernama Hassan Sabbah ke Persia untuk merekrut pengikut. Sabbah mendirikan benteng yang disebut Alamut (sarang elang), terletak tinggi di pegunungan Elburz bagian utara Iran. Di Alamut si genius kejam ini mendirikan kultus Hashashin.
Sabbah adalah tipikal proto-teroris, yang menggunakan pembunuhan sebagai propaganda misinya. Karena tidak memiliki sumber daya dan pasukan untuk bertempur melawan atau menaklukkan kota2, dia mengirim individu atau kelompok2 kecil, untuk membunuh tokoh2 sasaran yang dipilih dengan hati2 untuk kejutan yang dipicu oleh kematian mereka. Hashashin merencanakan pembunuhan mereka selama berbulan2 bahkan bertahun2, kadang2 bersiasat untuk berteman dengan korban atau menjadi pelayannya lalu berusaha untuk naik ke posisi orang kepercayaan.
Kaum Hashashin dikelola dengan sangat rahasia. Di dunia luar, mereka tidak memberikan tanda2 apapun tentang identitas atau kepercayaan mereka yang sesungguhnya. Calon anggotanya menjalani indoktrinasi dan latihan intensif. Setelah diterima ke dalam sekte, setiap anggota memiliki peringkat yang mencerminkan tingkat pengetahuannya. Para pemula berpindah tahap ke tahap sembari mereka mempelajari makna terdalam (takwil) dari Al-Quran versi sektenya, sampai mereka mencapai fondasi yang di atasnya semuanya dibangun, baru setelah itu mereka diterima di lingkaran terdalam Sabbah.
Meskipun mereka merancang siasat dengan sangat rahasia, kaum Hashashin membunuh dengan cara yang sangat terbuka: sasaran mereka sebenarnya bukan untuk melenyapkan orang ini atau itu dari kekuasaan melainkan untuk membuat orang di seluruh dunia yang beradab percaya bahwa Hashashin bisa membunuh setiap orang, kapan saja, di mana saja. Para agen pembunuh disebut Fedayeen (orang yang berkorban). Mereka siap mati ketika merencanakan pembunuhan publik. Mati merupakan elemen kunci dari ritualnya, mereka adalah ‘penikam bunuh diri’. Fedayeen sering melakukan pembunuhan di masjid2 besar selama sholat jumat, agar bisa ditonton banyak orang.
Hashasin menambahkan kecemasan ke dalam dunia Islam yang sedang kacau. Sunni sedang bertarung dengan Syiah. Khalifah Abbasiyah di Baghdad sedang bergulat dengan Fatimiyah di Kairo. Hampir 1 abad invasi Sultan2 Turki telah menyengsarakan rakyat. Invasi Pasukan salib (kaum Frank) di sebelah barat telah membantai ratusan ribu muslim di Nicea, Ma’arra, Edessa dan Yerusalem.
Di tengah kekacauan ini, Hashasin sibuk di balik layar menabur ketakutan dan ancaman dengan melakukan aksi2 pembunuhan yang spektakuler. Mereka membunuh para pejabat Seljuk, ulama2 terkenal Sunni, dan membunuh 2 khalifah. Pada 1092 M mereka membunuh Nizamul Mulk, perdana menteri Abbasiyah. Beberapa minggu kemudian mereka membantai Sultan Seljuk, Malik Shah. Dua pembunuhan beruntun ini menggoyahkan dinasti Turki Seljuk yang membawa bendera Abbasiyah.
Hashashin memiliki musuh yang jadi target aksi2 mereka yaitu: sunni, syiah, Turki Seljuk, Fathimiyah Mesir, dan Khalifah Abbasiyah. Pada saat itu Frank juga memiliki musuh yang sama, maka persekutuan secara de facto, antara pasukan Salib dan Hashashin menjadi tak terelakkan. Selama abad pertama invasi Frank, setiap kali kaum muslim mulai bergerak ke arah persatuan, Hashashin membunuhi beberapa tokoh kunci untuk memicu gejolak baru. Pada 1113 M gubernur Mosul mengadakan konferensi para pemimpin muslim untuk mengatur serangan bersatu melawan Frank, tetapi sebelum pertemuan dimulai, seorang pengemis mendekati gubernur dalam perjalanan ke masjid, pura2 meminta sedekah, lalu tiba2 menikamkan pisau di dadanya.
Pada 1124-1125 M, agen2 Hashashin juga melakukan serentetan pembunuhan terhadap ulama2 berpengaruh yang menyerukan jihad. Pada 1126 M membunuh Al Barsoki, raja tangguh yang menyatukan muslim Suriah. Putera Barsoki yang menggantikannya melanjutkan upaya penyatuan muslim, namun Hashashin membunuhnya juga, dan kembali membenamkan Suriah dalam perang saudara. Hashashin juga berusaha keras membunuh Salahudin Al Ayyubi (Saladin). Dua kali mereka menerobos langsung ke kamar tidurnya ketika ia sedang terlelap. Sekali mereka melukainya di kepala tapi beruntung Saladin sedang mengenakan penyangga leher dari bahan kulit dan helm logam di bawah serbannya.
Hashashin dan markasnya di Alamut akhirnya dihancurkan oleh Mongol di bawah Hulagu Khan pada 1256 M. Ancaman Hashashin pun akhirnya berakhir, tetapi prinsip2 ideologi terorisnya nampak mengalami duplikasi pada era modern saat ini. Taliban di Pakistan dan Afghanistan seringkali melakukan serangan teror untuk publikasi misinya, seperti aksi pendudukan bandara internasional di Pakistan bbrp waktu lalu, pembunuhan Burhanuddin Rabbani yang tengah mengupayakan perdamaian bagi Afghanistan, penembakan Benazir Bhuto dll. Di Irak dan Timur Tengah marak dengan aksi ‘bom bunuh diri’, Bom Bali dan Terorisme di Indonesia, serta yang paling spektakuler adalah serangan 11 September di Amerika oleh Al Qaeda.
Aksi2 Teroris yang mengatasnamakan Islam akhir2 ini nampaknya memiliki benang merah dan persamaan strategi perjuangan dengan Hashashin di abad 11-12 M. Jika dirunut lagi ke belakang (658 M), memiliki kemiripan dengan aksi2 teror yang dilakukan oleh Khawarij (orang yang memisahkan diri), minoritas muslim garis keras yang radikal dan ingin memaksakan kehendaknya. Mereka mengadakan aksi ‘penikaman bunuh diri’ pada saat sholat subuh di masjid terhadap 3 tokoh muslim waktu itu yaitu Khalifah Ali bin Abi Tholib, Khalifah Muawiyah dan Gubernur Mesir, Amr bin Ash…