Tahun 1928 Hasan Al Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin (IM), yang awalnya semacam gerakan pramuka versi muslim. Al Banna, seorang guru yang mengajar di zona Terusan Suez, dimana budaya Eropa yang dominan mengangkangi budaya penduduk lokal Mesir yang inverior. IM membantu anak-anak muslim saling berinteraksi secara sehat, belajar tentang budaya Mesir, sambil menumbuhkan harga diri. Mereka mendatangi klub IM di waktu luang dan menerima pelajaran tentang Islam dan sejarah Islam dari Al Banna dan para instrukturnya. Program ini selanjutnya berkembang untuk orang dewasa dan menjadi sangat populer pada 1930-an.
Perlahan-lahan IM berubah menjadi gerakan politik, yang menyatakan Islam sekuler dan elite “kebarat-baratan” Mesir sebagai musuh terbesar negara itu. IM menentang nasionalisme, meski dalam pengertian tertentu nasionalisme masih memperoleh tempat dalam ideologinya. Mereka menyeru kaum muslim untuk membangkitkan kembali satu ummah trans-nasional besar, kekhalifahan baru yang mewujudkan kesatuan semua muslim. Seperti Jamaluddin Al Afghani, mereka mengkhutbahkan modernisasi pan-Islam tanpa westernisasi.
Pemikiran dasar, ideologi, dan pola gerakan IM tertuang dalam tulisan dan pidato Al Banna yang dikumpulkan dalam buku Majmu’ Rasail. Konsep gerakan IM menekankan syumuliyah (integralitas) Islam, sebagai gerakan dakwah yang sesuai dengan ajaran salaf, pengguna metode yang sejalan dengan sunnah, serta beresensikan keruhanian (Shufiyah). Dalam rangka pembentukan gerakan yang saling melengkapi, IM mendefinisikan diri sebagai: organisasi politik, kelompok olahraga, ikatan keilmuan dan kebudayaan, kelompok ekonomi, dan pemikiran sosial. Al Banna Juga menulis antologi doa berjudul Al Ma’tsurat dalam rangka mendorong spiritualitas pengikutnya. Buku dan buklet tsb diterbitkan dan diedarkan secara luas oleh anggota-anggota IM.
Pada 1949 IM dilarang di Mesir, ia dianggap mendirikan negara dalam negara dan menyebarkan propaganda anti pemerintah. Anggota jamaah IM juga dituduh mendalangi krisis dan kerusuhan yang mengakibatkan terbunuhnya Perdana Menteri Mesir, Mahmud Fahmi Nuqrasyi. Al Banna akhirnya dibunuh oleh polisi rahasia Mesir kala berusia 43 tahun. Al Banna telah mempengaruhi pemikiran banyak tokoh: seperti sayid Quthb (penulis fi Dzilalil Qur’an), Taqiuddin Al Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir), Muhammad Quthb, Muhammad Al Ghazali, Mustafa Asy Syibai, Sayid Hawwa, Syaikh Ahmad Yassin (pendiri Hammas), DR Yusuf Qordzowi dll.
Pada 1952 IM turut membantu menggulingkan raja Mesir, tetapi begitu pemerintahan sekuler Jamal Abdul Naser mulai beroperasi mereka berbalik melawannya, bahkan mencoba membunuhnya. Nasser lalu membalas dengan memenjara dan menyiksa para tokoh-tokoh IM termasuk pemimpinnya, Sayyid Quthb. Di penjara dia menulis buku Ma’alim fit Thariq, yang mengusulkan reinterpretasi radikal atas modernisme pan-islamis Jamaluddin Al Afghani. Buku tersebut memberi pandangan bahwa pemerintahan atau masyarakat yang tidak sesuai dengan syariat Islam dipandang sebagai Jahiliyyah.
Quthb menghidupkan kembali ide pembagian dunia menjadi Darul Islam dan Darul Harb, wilayah damai (muslim) dan wilayah perang (kafir). Dia mengimbau setiap muslim untuk menjalankan jihad, bukan hanya terhadap non muslim tetapi juga melawan muslim yang bimbang dalam kesetiaan mereka kepada Islam atau yang bekerjasama pada musuh. Akhirnya pada tahun 1963 Quthb dihukum gantung oleh Nasser. Eksekusi ini justru membuat dia semakin dielu-elukan sebagai martir (syahid).
Tindakan represif dari pemerintah Mesir menyebabkan tumbuhnya cabang IM yang lebih radikal daripada sebelumnya, yaitu Jihad Islam yang didirikan oleh Al Zawahiri yang pada gilirannya menjadi mentor bagi jihadis Saudi, Osama ben Laden. Beberapa ideolog yang terinspirasi oleh Quthb mulai mengajarkan bahwa jihad tidak hanya sebuah kewajiban bagi muslim yang taat, melainkan rukun islam yang keenam. Beberapa jihadis seperti Abdullah Azzam, menyatakan bahwa partisipasi dalam jihad adalah satu-satunya cara untuk membedakan muslim dari non muslim. Simpatisan Quthub juga menebarkan teror dengan membunuh ulama Al Azhar dan mantan menteri agama mesir, Syekh Muhammad Husein Al Dzahabi (1977) dan intelektual Mesir Dr. Farag Foundah yang sering mengkritik pemikiran dan kebijakan Ikhwanul Muslimin. Foundah ditembak mati oleh ekstimis tahun 1992 dan Ma’mun al-Hudaibi, pimpinan IM saat itu membenarkan tindakan pembunuhan tersebut
Meski selalu diperlakukan buruk dan ditekan oleh pemerintah, IM tetap menjadi organisasi politik-religius paling kuat di Mesir. Setelah tumbangnya pemerintahan Husni Mubarak beberapa waktu lalu, IM sempat memegang tampuk kekuasaan. Akan tetapi pemerintahan Mesir di bawah Nursi, tidak berlangsung lama karena dikudeta oleh militer. Peristiwa tersebut sempat menimbulkan konflik berdarah dan menjadi perhatian komunitas internasional. Para pendukung Nursi (IM) dituduh membuat kerusuhan dan membahayakan negara, para aktivisnya kembali mengalami nasib seperti era sebelumnya.
Konsepsi-konsepsi yang digariskan oleh Hasan Al Banna tetap menjadi kiblat bagi gerakan IM hingga saat ini. Al Banna telah meletakkan visi gerakan yang mencakup dimensi-dimensi keruhanian, sosial, politik maupun ekonomi. Dia juga menciptakan sistem kaderisasi yang sangat kuat. Membentuk kader-kader loyal dan sekaligus menjalin ikatan sosial yang kokoh di antara anggota-anggotanya. Konsep pembinaan anggotanya melalui tarbiyah tampak monolitik dan melahirkan militansi yang tinggi dan radikal dalam gerakan Ikhwanul Muslimin. Sebagai sebuah gerakan IM bermetatesis, Pengaruh organisasi ini bergerak melampaui perbatasan Mesir, ke Suriah, Yordania, Emirat Arab, Saudi, bahkan menyebar ke berbagai negara muslim termasuk Indonesia. Kendati menjadi rujukan hampir banyak gerakan-gerakan Islam Ideologis di sejumlah negara dan menjadi inspirasi para aktivis Islam Ideologis, pada akhirnya Ikhwanul Muslimin termasuk gerakan Islam yang sebenarnya gagal
Referensi
- Tamim Ansary, 2009, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam, Penerbit Zaman, Jakarta
- Muhammad Majloum K, 2008, 100 Muslim Paling Berpengaruh Pada Sejarah, Penerbit Noura Books, Jakarta
- Haedar Nashir, 2013, Islam Syariat, Mizan Pustaka, Bandung
- Haedar Nashir, 2010, Manifestasi Gerakan Tarbiyah Bagaimana Sikap Muhammadiyah, PT. Surya Sarana Utama, Yogyakarta
- Ahwan Fanani, Liberalisme Islam di Indonesia Sebuah Kontroversi, Pustaka Zaman, Semarang
- Khalil Abdul Karim, 1995, Kontroversi Negara Islam Radikalisme vs Moderatisme, Nusantara Press, Surabaya
- Karen Armstrong, 2001, Sejarah Islam, Penerbit Mizan, Bandung
- Carl W. Ernst, 2003, Pergulatan Islam di Dunia Kontemporer Doktrin dan Peradaban, Mizan, Bandung