Suatu malam menjelang fajar di Madinah, Nabi saw bermimpi dengan kepala tercukur berjalan memasuki Ka’bah, sedangkan kunci pintu Ka’bah berada dalam genggamannya. Mimpi Nabi ini direkam dalam al Quran:
لَقَدْ صَدَقَ اللّٰهُ رَسُوْلَهُ الرُّءْيَا بِالْحَقِّ ۚ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ اٰمِنِيْنَۙ مُحَلِّقِيْنَ رُءُوْسَكُمْ وَمُقَصِّرِيْنَۙ لَا تَخَافُوْنَ ۗ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوْا فَجَعَلَ مِنْ دُوْنِ ذٰلِكَ فَتْحًا قَرِيْبًا
Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan Sebenarnya (yaitu) bahwa Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat (al Fath : 27).
Pagi harinya Nabi menceritakan mimpi itu kepada para Sahabatnya. Beliau mengajak mereka untuk melaksanakan umrah bersamanya. Pada hari Senin, awal bulan Dzulqa’dah tahun 6 H sebanyak 1400 orang berangkat bersama Nabi saw untuk melaksanakan umrah ke Makkah. Beliau membawa serta 70 ekor unta gemuk yang diberi kalung sebagai tanda bahwa hewan tersebut adalah merupakan persembahan untuk Tuhan pemilik Ka’bah. Setelah berniat ihram di Dzul Hulaifah dan mengenakan kain Ihram maka rombongan kaum Muslim tersebut bertalbiyah dan berjalan dengan tenang menuju kota Makkah.
Suku Quraish yang telah mengetahui rencana kedatangan Nabi mengumpulkan seluruh kekuatannya dan bertekad menghalangi umat Islam yang hendak berkunjung ke Makkah. Bahkan Khalid bin Walid yang saat itu belum masuk Islam telah mendahului membawa pasukan berkudanya untuk mencegat Nabi di Kura’ al-Ghamim. Untuk mencegah pertumpahan darah, Nabi saw tidak langsung menuju Makkah tapi mengambil rute yang lain. Beliau bersama rombongan mengambil arah ke Hudaybiyah yang medannya berat; jalannya terjal dan sulit, berliku-liku, sempit dan turun naik, serta dipenuhi batu-batu keras yang seringkali melukai kaki para pejalan.
Hudaybiyah merupakan batas tepi Tanah Haram, jaraknya sekitar 26 km dari Masjidil Haram. Setelah sampai di sana Nabi beserta rombongan mendirikan kemah, sambil memantau perkembangan situasi. Beliau mengutus Utsman Bin Affan sebagai delegasi ke Makkah untuk bernegosiasi, bahwa kedatangan umat Islam bukan untuk berperang tapi dalam rangka melaksanakan ibadah Umrah. Ketika sampai kabar kepada Nabi bahwa Utsman kemungkinan ditahan atau telah dibunuh oleh pihak Quraish, maka Nabi saw segera mengumpulkan semua Sahabatnya. Nabi mengangkat janji Setia kepada seluruh umat Islam yang ikut bersama rombongan untuk membela diri dan kehormatan mereka hingga tetes darah penghabisan. Peristiwa bai’at ini dikenal dengan sebutan Bai’at ar-Ridhwan, dan didokumentasikan oleh al-Qur’an dalam surat al-Fath ayat 18-19.
Kabar tentang bai’at ini rupanya menggentarkan orang Quraish. Kaum musyriq akhirnya mengirimkan beberapa utusan. Empat orang delegasi yang dikirim secara berurutan yaitu Budail bin Warqa’, Urwah bin Mas’ud, Hullais dan Mukriz bin Hafsh gagal memenuhi misinya untuk membatalkan Umrah Nabi. Selanjutnya pihak Quraish mengirimkan lagi tokohnya, Suhail bin Amr.
Akhirnya tercapailah perjanjian damai Hudaybiyah yang beberapa pasalnya tampak sangat merugikan umat Islam. Disebutkan bahwa Tahun ini umat Islam harus pulang ke Madinah, dan baru boleh menunaikan umrah di tahun depan. Apabila ada pihak musyriq yang ikut Nabi ke Madinah maka harus dikembalikan ke Makkah, sebaliknya jika ada pengikut Nabi yang membelot ke Makkah maka tidak akan dikembalikan.
Kesepakatan ini menimbulkan ketidakpuasan dikalangan para Sahabat. Apalagi secara redaksional, Suhail minta agar kalimat pembuka ‘Bismillahirrahmanirrahim’ dihapus dan tulisan ‘Muhammad Rasulullah’ harus diganti dengan ‘Muhammad bin Abdullah’. Umar bin Khattab yang dikenal bertemperamen keras mengeluh kepada Abu Bakar. Merasa tidak puas dengan jawaban Abu Bakar, Ia lalu memberanikan diri protes kepada Nabi. Melihat kegusaran Umar tersebut Nabi lantas menjawab dengan tegas: “Aku adalah Rasulullah, Aku tidak akan mendurhakai-Nya, Dia Adalah penolong dan pembelaku”.
Nabi mulai menyembelih unta persembahan yang dibawa di Hudaybiyah. Ketika beliau mulai bercukur, para Sahabat dengan penuh semangat mengikutinya. Kelesuan dan kebingungan akibat perjanjian Hudaybiyah sontak hilang, berubah menjadi kelegaan dan kegembiraan. Mereka saling berebut memohon barakah doa dari Nabi, dan beliau mendoakan para Sahabatnya baik yang bercukur maupun memendekkan rambut.
Rombongan umat Islam akhirnya kembali ke Madinah. Dalam perjalanan pulang tersebut turunlah beberapa ayat yang memberikan petunjuk tentang pelaksanaan ibadah haji. Apabila jamaah haji dalam kondisi terkepung atau terhalang menuju ke Makkah sehingga tidak bisa melaksanakan ibadah haji atau umrah dengan sempurna maka bisa mencari qurban yang mudah didapat dan menyembelihnya, sehingga bisa membebaskan dari denda akibat membatalkan niat dan amalan haji/umrah.
وَلَا تَحْلِقُوْا رُءُوْسَكُمْ حَتّٰى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهٗ
dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya… (al Baqarah : 196)
Ketika Nabi melihat ada salah seorang sahabat yang terganggu oleh banyaknya kutu-kutu yang ada di kepalanya, turun ayat yang memperbolehkannya untuk bercukur meskipun dalam kondisi ihram dengan membayar fidyah:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ بِهٖٓ اَذًى مِّنْ رَّأْسِهٖ فَفِدْيَةٌ مِّنْ صِيَامٍ اَوْ صَدَقَةٍ اَوْ نُسُكٍ
jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya, maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. (al Baqarah : 196)
Pada tengah malam dalam perjalanan pulang ke Madinah itu, turun ayat yang sangat membahagiakan khususnya bagi Nabi saw. Beliau bersabda: “Malam ini telah diturunkan kepadaku satu surat yang lebih kusukai dari segala apa yang disentuh oleh cahaya matahari”. Lalu beliau membacakan ayat:
اِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًاۙ
Sesungguhnya kami Telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata (al Fath : 1)
Perjanjian Hudaybiyah yang poin-poin kesepakatannya tampak demikian merugikan umat Islam. Ternyata pada perjalanannya, kedamaian yang tercipta menjadi titik tolak dakwah yang luar biasa. Pada tahun 8 H, yakni dua tahun pasca Sulhul Hudaybiyah kekuatan Umat Islam membanjiri Makkah dalam peristiwa Fathul Makkah. Pembukaan kota Makkah ini menjadi pertanda berakhirnya kesombongan Jahiliyah dan hancurnya penyembahan berhala. Semua ‘keajaiban’ tersebut bisa terjadi karena keikhlasan telah menjadi landasan dalam sebuah perjuangan.