Masifnya penggunaan internet membuat kita mengalami banjir informasi. Ada berita yang benar, namun tidak sedikit informasi yang salah, bahkan palsu, atau akrab dengan istilah hoax, yaitu berita bohong/palsu. Misalnya hoax tentang bahaya makanan, minuman, agama, dan suku tertentu yang mudah kita temukan di internet.
Hoax mudah menyebar karena pada dasarnya setiap orang adalah makhluk sosial yang peduli dengan orang lain. Di era media sosial kepedulian tersebut bisa diwujudkan dengan meng-klik share (bagikan). Menyebarnya hoax karena, pertama, menyentuh isu-isu kepentingan publik dan sensitif, misalnya agama. Masyarakat yang menerima berita terkait agamanya cenderung memberikan respon. Respon yang paling mudah adalah dengan membagikannya, dan merasa turut menjaga marwah agama.
Kedua, masyarakat malas melakukan verifikasi. Banyak survei menyebutkan tingkat membaca masyarakat Indonesia sangat rendah. Data penelitian Central Connecticut State University pada Maret 2016 menyebut minat baca masyarakat Indonesia adalah peringkat ke 60 dunia. Padahal infrastruktur untuk mendukung minat baca kita urutan 34 (kompas.com, 29/8/2016). Kurangnya memanfaatkan infrastruktur membaca ini berakibat kita mudah percaya dengan informasi dari satu media.
Mengidentifikasi hoax
Sebuah berita tergolong hoax atau bukan bisa diidentifikasi. Survei Mastel menyebut sebanyak 53,50 % responden mudah memeriksa kebenaran hoax, 30,30% sulit, 12,80% sangat mudah, dan 12,80% sangat sulit. Jika ditotal, ada 43,1% yang sulit dan sulit memeriksa kebenaran hoax. Persentase tersebut berpotensi menjadi sasaran empuk penyebar hoax.
Survei Mastel dilakukan pada usia yang beragam, belum secara khusus menyasar pelajar. Sebagai gambaran persepsi hoax pada anak-anak, pada awal 2017 di Amerika Serikat diadakan survei hoax pada 853 responden berusia 10-18 tahun. Sebanyak 44% responden bisa membedakan berita hoax atau bukan. Sedangkan 31% tidak bisa membedakan berita hoax atau bukan (Yulaika Ramadani, tirto.id, 1/10/2017). Angka tersebut cukup menggambarkan bahwa remaja memang rentan menjadi korban hoax.
Ada tiga cara mudah yang bisa dilakukan untuk mengidentifikasi hoax. Pertama, situs berita penyebar hoax merupakan situs gratis. Misalnya banyak pesan ke nomor ponsel bahwa nomornya memenangkan undian dan diminta mengecek situs www.xxx.blogspot.com. Hal ini pasti hoax karena perusahaan besar pasti menggunakan situs berbayar. Berita-berita hoax mayoritas muncul dari situs abal-abal yang hanya mengejar klik untuk mendapatkan dolar.
Kedua, judul berita menggunakan kalimat bombastis-hiperbolik. Terungkap, terbongkar, mengejutkan, adalah contoh kata-kata yang digunakan untuk berita hoax. Mereka bahkan tidak ragu mencantumkan kata-kata islami, semisal Subhanallah, Alhamdulillah, Astaghfirullah, Allahu Akbar.
Ketiga, informasi bertentangan dengan logika umum atau akal sehat. Sekarang kita hidup di zaman modern dan ilmiah. Ilmu pengetahuan telah berhasil mengungkap peristiwa yang dulu dianggap ajaib dan mitos. Jadi jika ada informasi yang sulit diterima akal, informasi tersebut dicurigai sebagai hoax. Jika ada informasi dari media digital yang memenuhi kriteria di atas, 99,99 persen adalah hoax.
Mencegah hoax
Pencegahan hoax dapat dimulai dari kita sendiri. Jika mendapat pesan tentang berita yang hampir seratus persen hoax, jangan membagikannya. Ketika berita hoax muncul dalam grup WA, langsung saja bertanya pada penyebar berita. Apakah ada media terpercaya atau seseorang yang dapat dikonfrimasi atas berita yang disebarkan? Kalau tidak ada, kemungkinan besar itu hoax.
Bagaimana untuk mencegah siswa tidak mempercayai informasi hoax? Peran guru dalam menangkal informasi hoax adalah literasi digital kepada siswa. Pertama, membaca berita dari beberapa media. Media besar arus utama sangat berhati-hati dengan informasi yang diterbitkan karena akan berpengaruh pada nama besar media tersebut. Jika media besar menerbitkan hoax, akan menjatuhkan kepercayaan masyarakat.
Kedua, membiasakan membaca berita sampai utuh, bukan hanya judulnya. Media abal-abal sering menampilkan berita yang judul dan isi berita tidak sama. Di facebook sering kita jumpai ada akun membagikan tautan berita dengan judul bombastis. Lalu komentar-komentar dengan bahasa kasar pun muncul.
Ketiga, menghubungi teman yang tinggal dekat lokasi peristiwa. Misalnya berita tabrakan bus yang merenggut korban tewas 100 orang di Tegal. Kita bisa mencari informasi pada teman yang tinggal tinggal di Tegal, apakah informasi ini benar atau tidak.
Keempat, membiasakan siswa untuk membaca. Tidak hanya buku-buku pelajaran, tetapi buku-buku pengetahuan umum, fiksi akan membuat mereka memiliki sikap kritis terhadap informasi yang mereka terima.
Siswa merupakan anak-anak dan remaja yang berada di fase rasa ingin tahu yang tinggi. Peran guru adalah mengarahkan rasa ingin tahu siswa ke hal-hal yang positif. Pembelajaran dapat diarahkan sebagai media pencegahan hoax, bukan semata mengajarkan ilmu pengetahuan.
Nilai dan etika juga wajib diajarkan di sela pembelajaran. Ketika guru menyampaikan pelajaran tertentu, guru juga bercerita tentang nilai-nilai yang bermanfaat bagi murid (Toety Heraty Noerhadi, Prisma, No. 7 Juli 1980 Tahun VIII). Seringkali nilai-nilai yang mungkin tidak berhubungan dengan pelajaran, justru yang akan diingat siswa sampai dewasa.
Siswa harus kita selamatkan dari racun hoax. Hoax beracun karena membunuh akal sehat kita. Ketika akal sehat kita sudah lumpuh, kemunculan ekses-ekses negatif tinggal menunggu ledakannya. Tentu kita tidak mau generasi mendatang adalah orang-orang yang nalarnya sudah terjangkit racun hoax bukan?