Nafs adalah unsur yang lembut yang membawa potensi kehidupan, perasaan, dan gerakan kehendak. Ia merupakan instrument perantara antara Qolbu (inti ruh) dan Basyar (Hawa). Nafs disebut sebagai pohon zaitun yang penuh berkah
الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ4
…Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api… (An Nuur : 35)
Tidak tumbuh di sebelah timur (alam ruh) atau di sebelah barat (alam basyar). Dengan Nafs manusia bisa bertambah mulia dan suci atau sebaliknya menjadi lebih hina dari hewan.
Allah ketika menciptakan manusia dalam proses penyusunannya disertakan empat campuran. Perpaduannya menorehkan sifat-sifat pada kalbunya, sebagaimana disampaikan oleh al-Ghazali dalam Ihya‘. Pertama sifat bahimiyah, yaitu sifat ‘kehewanan’ yang apabila menguasai manusia maka akan menjadi rakus dan tamak, serta berlebihan dalam kenikmatan syahwat. Kedua sifat sabu’iyah, yaitu sifat ‘kebuasan’ yang apabila menguasai diri manusia ia akan suka membenci dan bermusuhan, penuh amarah, bertindak anarkis dan kejam.
Ketiga sifat syaithaniyah, yaitu sifat ‘kesetanan’ yang apabila telah menguasai manusia maka ia akan suka merekayasa dengan tipu daya dan meraih segala sesuatu dengan cara-cara yang jahat. Sifat syetan ini senantiasa mengobarkan syahwat bahimiyah dan kebuasan sabu’iyah serta memandang baik apa yang menjadi naluri keduanya. Keempat sifat rabbaniyah, yaitu sifat ‘ketuhanan’ yang apabila telah menguasai diri manusia maka ia ingin paling berkuasa, menduduki jabatan yang tinggi, sewenang-wenang, selalu ingin dipuji dan tak mau direndahkan, ingin menjadi paling berilmu dan mengetahui segala hal.
‘Sufi’ melihat kepribadian manusia sebagai sekumpulan dari bermacam-macam sifat dan kecenderungan seperti di atas. Tugas kita adalah menyeimbangkan beragam sifat tersebut sekaligus memperkuat perkembangan spiritual kita. Cara yang paling efektif bukan dengan membunuh nafsu atau mengenyahkan kepribadian, tapi dengan mengendalikannya. Jangan sampai nafsu yang justru mengendalikan, seperti keledai yang naik di gendongan.
Transformasi Nafs
Perumpamaan Nafs adalah seperti seorang penjaga harta kekayaan sebuah rumah. Allah, sebagai Raja pemilik rumah (pemilik basyar), menitipkan ruh (harta kekayaan) kepada Nafs. Rumah itu memiliki pelayan-pelayan (hawa) yang menjaga pintu dan jendela (nafsu jasmaniah) serta pintu-pintu bawah tanah (nafsu yang lebih lembut). Sedangkan syetan merupakan perampok yang ada di luar rumah yang senantiasa mengintai dan mencuri-curi kesempatan untuk merampok harta kekayaan Raja.
Jika Nafs lengah, tidak amanah, dan lalai mendidik para pelayan maka:
- Pelayan-pelayan akan menjadi liar
- Pelayan akan bekerjasama dengan perampok, meracuni penjaga rumah sehingga menjadi lemah dan sakit.
- Pelayan itu selanjutnya akan membukakan pintu dan jendela kepada para perampok sehingga dapat leluasa membelenggu penjaga rumah (Nafs) serta berpesta pora menjarah harta kekayaan Raja.
Agar Anda tidak beroleh murka dari Sang Raja, maka Anda perlu mendidik para pelayan agar disiplin dengan tugasnya menjaga pintu dan jendela tempat masuknya syetan. Pintu dan jendela tersebut sebagaimana disampaikan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya Mukasyafatul Qulub adalah sebagai berikut:
- Kemarahan dan kegembiraan
- Keinginan dan kerakusan
- Kenyang dari makanan
- Kesenangan hidup dalam kemewahan
- Tamak mengharap manusia
- Ketergesaan dan penundaan dalam menyelesaikan segala urusan
- Uang dan harta kekayaan
- Kikir dan takut miskin
- Fanatik dan suka meremehkan orang lain
- Berburuk sangka, dendam dan Kedengkian
Dalam nafs terdapat ego positif yang sehat dengan ego negatif yang egois. Ego positif membantu mencapai tujuan-tujuan hidup, sedangkan ego negatif selalu ingin mementingkan diri sendiri, memamerkan nilai diri secara berlebihan, minta dilayani dan seterusnya.
Cara mentransformasikan ego yaitu melalui cinta dan khidmat (pelayanan). Dengan melayani kita bisa belajar mengurangi sifat egois. Dengan mencintai, kita mulai mendahulukan kebutuhan orang lain daripada kita sendiri. Contohnya orang tua yang siap berkorban apa saja demi sang anak karena didorong oleh rasa cinta. Ego ibarat wadah yang kecil, tapi melalui cinta dan pelayanan wadah jiwa itu akan membesar dan bisa menampung lebih banyak curahan rahmat Tuhan.
Para guru sufi bisa mengembangkan ego dalam kerangka spiritual. Idealnya anak-anak bertumbuh kembang dalam lingkungan keluarga yang saling mencintai, diliputi rasa peduli, dukungan, dan asuhan. Dalam lingkungan yang penuh cinta dan kasih sayang kapasitas anak untuk belajar mencintai akan berkembang. Bersamaan dengan itu ego dan kepribadian anak juga tumbuh secara alamiah.
Cinta dan ego adalah dua kekuatan hebat dalam diri anak kita. Ketika mereka tumbuh dewasa dan mulai mengembangkan spiritualnya, mereka bisa mentransendensikan ego dan kepribadian lalu menggabungkan keduanya menjadi satu kekuatan. Ketika spiritualitasnya semakin matang, maka harus mengurangi peran ego untuk meningkatkan rasa kedekatan dengan sang Maha Pencipta. Maka pada saat itu, ego dan kesadaran diri akan menyatu sehingga mencapai tingkatan yang lebih besar dan lebih kuat.
Sedikit sekali tradisi spiritual yang memasukkan anak-anak yang masih belia ke dalam disiplin tasawuf. Salah satu alasannya karena ingin memberi anak-anak itu kesempatan mengembangkan ego dan kepribadiannya dahulu agar cukup matang hingga dewasa. Ketika usia menjelang tua baru masuk ke dunia thariqah. Namun, sebenarnya bukan tindakan yang cerdas membiarkan hewan buas tumbuh membesar baru kita jinakkan. Akan lebih efektif apabila sejak kecil hewan liar itu dilatih melalui kasih sayang, cinta, dan pemahaman. Seperti melatih anak anjing yang ketika besar bisa menjalankan fungsi menjaga rumah, berburu, dan selainnya. Hewan liar melambangkan ego dan si pelatih itu kesadaran spiritualnya.
Ibadah Qurban dengan menyembelih hewan adalah visualisasi perjuangan manusia (nafs) dalam rangka memotong sifat bahimiyah, agar syahwat tidak menguasai dirinya. Kepasrahan Nabi Ibrahim dalam menyembelih putera tercintanya justru menyebabkan lahirnya ‘kehidupan’ bagi Nabi Ismail. Ketulusan dalam menyembelih sifat-sifat negatif dalam kalbu akan mendatangkan karakter positif yang menghidupkan hati manusia. Upaya ini seperti halnya merubah virus hati menjadi aset diri dalam rangka ibadah pada Ilahi.
Sifat bahimiyah seperti makan, tidur, seks diatur sesuai kebutuhan dan sesuai dengan tuntunan agama sehingga bisa mendukung vitalitas untuk ibadah. Sifat sabu’iyah akan diarahkan menjadi sifat pemberani, membela kebenaran dan menolak kebatilan, menjadi anjing penjaga bagi sifat bahimiyah agar tidak melanggar batas. Sifat syaithaniyah bisa ditransformasikan menjadi sifat hati-hati, penuh kewaspadaan, kritis dan teliti. Sifat rabbaniyah dapat ditransendensikan sehingga seseorang bisa menjadi pemimpin yang efektif dan bisa melayani sesama dengan penuh ketulusan.