Al-Qur’an merupakan mukjizat yang diam, jika manusia, terlebih kaum muslim tak mau dan mampu menggerakkannya, maka kebesarannya akan tetap terselimuti sepanjang masa.
PADA abad pertengahan, Islam menjadi pemimpin kebudayaan dan peradaban dunia. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya kaum nonmuslim yang mencari referensi ilmu pengetahuan dari Islam. Suatu keadaan yang memperkukuh bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Agama yang dapat menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.
Berbagai disiplin ilmu pengetahuan berkembang pesat, yang menjadikan ia sebagai motor penggerak dunia. Yang mana, hal itu juga menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang tak menihilkan kehidupan dunia, namun justru realita kehidupan dijadikan sebagai mediasi dalam mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Singkat kata, nilai-nilai ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, merupakan sesuatu yang sangat implementatif.
Akan tetapi, mulai kurang-lebih abad ke-13 hingga saat ini Islam lumpuh. Islam yang dahulunya sangat produktif dalam menemukan sebuah inovasi untuk kesejahteraan umat manusia menjadi mandul kreativitas. Entah karena human error ataukah takdir? Yang jelas agama Islam adalah agama yang optimistis. Islam memberi kebebasan kepada manusia. Apakah ia ingin maju atau tetap berdiri seraya melihat orang lain berlari menuju kemenangan dunia? Bahkan hingga ada sebuah motivasi hebat dari Islam, yakni man jadda wajada. Barang siapa yang berusaha, maka ia akan mendapatkannya.
Sehingga, tak heran jika ada orang yang mengatakan bahwa “Orang Islam mundur karena meninggalkan ajarannya. Sedangkan orang Barat maju karena meninggalkan agamanya.” Ini berarti terdapat suatu nilai besar dalam Islam yang terlupakan. Hal itu seakan menekankan bahwa Islam saat ini sedang terninabobokan oleh kejayaan pada masa lampau. Mereka lebih bangga menceritakan kejayaan pada masa dahulu, ketimbang membuat sejarah baru, yang nantinya menjadi bekal pada generasi mendatang.
Alasan ketidaksemangatan Islam karena dunia ini hanya sementara dan hidup hanya untuk beribadah, tampaknya harus mulai dikikis. Dengan kesementaraan itu, alangkah baiknya jika dapat menorehkan sebuah kenangan manis. Seperti kata pepatah “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang” yang berarti manusia mati meninggalkan nama.
Juga, ibadah berupa amal jariyah untuk kemanfaatan umat manusia, nilainya jauh lebih besar. Katakanlah, Thomas A. Eddison, sang penemu lampu, jika ia adalah seorang Islam, tak bisa dibayangkan berapa amal jariyah yang terus mengalir tiap detiknya. Hal itu yang kelihatannya dilupakan oleh umat Islam pada masa kontemporer ini. Terbukti hingga saat ini Islam masih terkapar mencari jati diri.
Umat Islam disibukkan dengan masalah intern yang tak kunjung tuntas. Bahkan, Islam saling menghancurkan satu sama lain. bukan berpikir bagaimana cara menjadikan Islam sebagai rahmat seluruh alam. Justru membuat Islam seolah-olah agama yang anarkhis, bahkan sempat dicap sebagai agama teroris. Perbedaan bukan menjadi rahmat, tapi malah menjadi laknat.
Selebihnya, redup-terangnya Islam dapat digambarkan sebagai sebuah siklus lingkaran. Masa sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW merupakan tonggak dasar atau pijakan orang Islam pertama kali. Dimulai siklus yang paling bawah tersebut, Islam menampakkan sebagai sebuah kekuatan besar. Perjuangan-perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam menyiarkan agama Islam dapat dikatakan suatu fase menuju puncak siklus lingkaran tersebut.
Periode sahabat hingga para pemikir Islam abad pertengahan dianalogikan sebagai puncak siklus lingkaran atau puncak kejayaan Islam. Yang mana, berbagai macam ilmu tumbuh dan berkembang dalam kubu Islam, yang menjadikannya sebagai agama yang tak bisa dianggap sepele. Kekuatan Islam menghegemoni di seantero jagat, karya-karya tulis Islam menjadi harta karun yang sangat berharga. Sehingga, tak mengherankan jika banyak kaum non-Islam yang turut belajar kepada Islam. Saat seperti inilah, Islam begitu terlihat jelas sebagai agama rahmat bagi seluruh umat manusia.
Akan tetapi, sekitar tujuh abad Islam merasakan sebuah kejayaan atau siklus puncak, ia turun melandai. Hal tersebut tak begitu disadari umat Islam, hingga kunci kejayaan, berupa karya-karya hebat telah dipegang oleh orang non-muslim. Kemudian, Islam tertinggal, terlihat dari merosotnya karya Islam dibanding non-muslim, baru umat Islam tahu. Setelah semua kunci keberhasilan Islam dipegang oleh orang bukan Islam, Islam berada di dasar siklus lingkaran tadi, kembali pada masa awal. Umat Islam dalam keadaan “bodoh” sains dan teknologi.
Jika kita cermati, seharusnya Islam bangkit kembali pada abad kontemporer saat ini. Masa kejayaan yang kurang-lebih tujuh abad, lalu keterpurukan mulai kurang lebih abad ke-13 hingga saat ini, lebih dari tujuh abad ketertinggalannya, yakni sekitar delapan abad. Sehingga, jika melihat dari siklus alam tersebut seharusnya Islam saat ini sudah bangkit untuk mencapai kejayaan lagi.
Siklus alam tersebut tak dapat dianggap remeh, karena ketika Islam sudah acuh terhadap kehidupan dunia, apalagi hanya sebagai konsumen belaka, maka kebangkitan kebudayaan dan peradaban Islam hanya menjadi imajinasi semata. Sungguh, ini menjadi tugas bersama.