Umat manusia saat ini sedang menghadapi krisis global, berupa pandemi virus Corona. Barangkali ini krisis terbesar yang pernah terjadi pada generasi kita. Covid-19 telah menyebar di 177 negara, dengan angka kematian lebih dari 28.600 orang. Di AS sudah menelan korban 2.479 jiwa, meski jumlah kematian masih jauh di bawah China (3.304) dan Italia (10.779), tapi ada 142.106 orang positif terinfeksi di AS, tertinggi di dunia.
Di kalangan umat Islam, dampak pandemi virus ini luar biasa. Umroh dan Haramain ditutup, Shalat jumat dan shalat berjamaah di sebagian masjid ditiadakan, sekolah dan perkantoran diliburkan, masyarakat melakukan sosial distancing serta tak kalah hebohnya ada tuntutan untuk lock down dlsb.
Keputusan yang dibuat oleh masyarakat dan pemerintah beberapa minggu ke-depan akan membentuk wajah Indonesia beberapa tahun selanjutnya. Sistem kesehatan, ekonomi, politik, dan kebudayaan kita akan terpengaruh dari cara-cara kita mengelola krisis saat ini.
Tindakan darurat jangka pendek sebagai solusi atas krisis, seringkali akan dijadikan landasan pengaturan tatanan hidup selanjutnya. Ibarat laboratorium kehidupan, bisa mempercepat sebuah proses sejarah. Keputusan yang pada waktu normal memerlukan pertimbangan bertahun-tahun dapat dirampungkan hanya dalam rentang hitungan jam. Teknologi yang belum layak uji dan bahkan berbahaya terpaksa dipergunakan, karena jika memilih untuk diam akan menyimpan risiko lebih besar.
Apa yang terjadi ketika orang-orang bekerja dari rumah dan berkomunikasi hanya dari jarak jauh? Apa yang terjadi ketika sekolah dan universitas beroperasi lewat daring? Pada kondisi normal, jajaran pemerintah, pengusaha, dan pendidik tidak akan pernah setuju untuk menjalankan eksperimen seperti ini. Tapi jelas saat ini bukanlah waktu normal, mau tidak mau tetap harus dilakukan.
Solusi Lock Down
Di dunia medsos muncul dua kutub wacana dari netizen terkait solusi atas pandemi Corona. Ada yang mendukung model pengawasan totaliter seperti di China. Negara lainnya seperti Italia, Perancis, Inggris, Afrika Selatan, Yordania, Malaysia dll juga ikut mengkarantina warganya (lockdown) meskipun praktiknya tidak seketat di China.
Di China, demi menghentikan epidemi, seluruh penduduk harus patuh pada panduan tertentu. Pemerintah memantau setiap orang dan menghukum siapa saja yang melanggar ketentuan. Rezim Komunis mengawasi secara seksama aktivitas setiap orang, mempergunakan ratusan juta kamera pengenal wajah, dan mewajibkan setiap orang untuk mengecek dan melaporkan temperatur tubuh dan kondisi medis mereka.
Otoritas China tak hanya dapat cepat mengidentifikasi mereka yang dicurigai terjangkit virus korona, tetapi juga melacak pergerakan dan mengidentifikasi dengan siapa saja mereka bersentuhan. Berbagai aplikasi seluler memberikan peringatan terhadap warga terkait kedekatan jarak mereka dengan pasien terinfeksi. Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, teknologi memungkinkan pemantauan terhadap semua orang di setiap saat. Pendekatan teknologi dan sistem otoriter terbukti sangat efektif membuat Wuhan, daerah asal pandemi kembali berangsur pulih.
Bayangkan, seandainya pasca sukses menangani Korona, Rezim China menuntut seluruh warganya untuk menggunakan gelang biometris yang bisa memantau suhu tubuh dan detak jantung selama 24 jam. Data yang dikumpulkan kemudian ditimbun dan dianalisis oleh algoritma pemerintah. Algoritma akan mengetahui bahwa kamu sakit bahkan sebelum kamu sendiri mengetahuinya, dan algoritma itu dapat mengetahui kamu habis dari mana saja, dan siapa saja yang kamu temui. Rantai infeksi dapat dengan segera dipangkas, dan bahkan dihentikan seutuhnya. Sistem seperti itu dapat menghentikan penyebaran epidemi dalam sehari. Terdengar Wow…, bukan?
Sisi buruknya, seandainya pemerintah kita mengikuti sistem tersebut, maka akan memberi legitimasi untuk sistem pengawasan baru yang mengerikan. Misalnya, saya lebih sering memencet chanel TV One dibanding Metro TV, maka pandangan politik dan bahkan mungkin kepribadian saya bakal terdeteksi. Ketika saya tengah asyik nonton film, maka algoritme pemerintah dapat mempelajari apa saja yang membuat saya tertawa, menangis, marah dan geram melalui data suhu tubuh, tekanan darah dan detak jantung yang direkam oleh gelang biometris tsb.
Apabila perusahaan dan pemerintah dapat mengakses data biometris kita secara massal, mereka bisa mengetahui kita lebih daripada diri kita sendiri. Mereka tidak hanya akan dapat menebak tetapi juga memanipulasi perasaan kita dan menjual apa saja yang kita inginkan, entah itu berupa aneka produk maupun tokoh-tokoh politik.
Solusi Pemberdayaan Warga
Kita seharusnya tetap berhak menikmati privasi dan kesehatan sekaligus. Kita dapat memilih untuk melindungi kesehatan kita dan menghentikan epidemi virus korona. Alih-alih dengan melembagakan rezim pengawasan totaliter, namun dengan cara memberdayakan warga.
Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura memainkan orkestra yang lain dalam melawan epidemi Corona. Mereka tidak menggunakan aplikasi pelacak dan ketegasan aparat keamanan, tetapi lebih demokratis. Menekankan pada pengujian secara luas, pelaporan yang jujur, dan tekad bulat untuk bekerjasama dengan publik yang terinformasi. Masyarakat yang memiliki motivasi-diri dan tidak picik biasanya jauh lebih berdaya dan efektif dibanding masyarakat yang lugu yang didisiplinkan.
Untuk meminimalkan penyebaran virus, otoritas Korsel segera berkoordinasi dengan perusahaan medis untuk membuat test kit secara masif, hasilnya mereka berhasil memproduksi 100.000 kit dalam sehari. Mereka melakukan tes masal 10.000 orang per hari, termasuk di pusat pengujian darurat dan bilik konsultasi ditempatkan di sejumlah rumah sakit. Untuk kemudahan warganya, disediakan pula layanan tes corona via drive-thru, tanpa turun dari mobil. Keberhasilan Langkah Negara K-Pop ini dalam mendidik, memberdayakan, dan melibatkan masyarakatnya sehingga berhasil menekan penyebaran covid-19 dipuji oleh ketua WHO.
Saling Percaya dan Kerjasama
Mencuci tangan dengan sabun merupakan salah satu kemajuan terbesar manusia dalam hal kebersihan. Sebelum tradisi sanitasi ini membudaya, korban sudah banyak berjatuhan. Pada masa sebelumnya, dokter tetap melanjutkan operasi bedah dari satu pasien ke pasien lainnya tanpa mencuci tangan. Hari ini milyaran orang terbiasa mencuci tangan mereka, bukan karena mereka takut akan ditangkap oleh ‘Densus Sabun’, tetapi karena mereka memahami bahwa bakteri dan virus dapat menyebabkan penyakit, dan mereka tahu sabun dapat membersihkannya.
Akan tetapi, untuk mencapai taraf kesadaran seperti ini dibutuhkan kepercayaan bersama. Orang-orang harus mempercayai ilmu pengetahuan, otoritas publik, dan media. Beberapa tahun terakhir ini, para politisi dan kaum oportunis telah mengotori itu semua dengan perilaku munafik mereka, sehingga menggerus kepercayaan publik.
Para penyebar hoax mengkampanyekan untuk lebih memilih otoritarianisme. Mereka berdalih bahwa masyarakat Indonesia tidak mungkin bisa bertindak dengan benar dalam situasi krisis seperti ini. Masyarakat harus didisiplinkan dengan tangan besi, arahkan moncong senjata agar mereka mau tinggal di rumah. India yang menerapkan seperti ini, ternyata belum seminggu masyarakatnya chaos.
Melalui wabah korona ini kita juga bisa menyaksikan pertunjukan lain yang indah. Ketika korban korona mulai berjatuhan di Wuhan, AS menawarkan bantuannya. Saat kondisi berbalik dan pandemi menyerang AS, China yang notabene musuh bebuyutan membagi pelajaran berharga tentang virus korona dan bagaimana cara mengatasinya. Presiden Xi JinPing bahkan menelpon Trumph untuk bersatu dan bekerjasama melawan Korona.
Apa yang ditemukan oleh dokter Italia di Milan di pagi hari dapat menyelamatkan nyawa di Teheran sore harinya. Ketika pemerintah Inggris menghadapi keraguan tentang beberapa kebijakan, ia bisa meminta saran dari Korsel yang telah menghadapi dilema serupa sebulan lalu. China yang sudah mereda pandeminya memberikan bantuan berupa alat kesehatan dan tenaga medis kepada negara-negara yang sedang terwabah termasuk Indonesia. Kita memerlukan semangat kerjasama global dan rasa saling percaya. Tentunya bantuan bisa datang dari arah sebaliknya, apabila terjadi kasus kemanusiaan yang lain. Sehingga muncul rasa saling percaya dan jalinan kerjasama antarnegara.
Umat manusia harus membuat pilihan. Apakah akan berjalan menurun menuju perpecahan, atau apakah akan memilih jalur solidaritas global? Apabila kita memilih perpecahan, ini tidak hanya akan memperpanjang krisis, tapi juga mungkin akan melahirkan bencana yang lebih buruk di masa mendatang yaitu kiamatnya peradaban manusia itu sendiri. Apabila kita memilih solidaritas global, itu akan menjadi kemenangan tak hanya terhadap virus korona, tapi juga terhadap seluruh epidemi dan krisis yang mungkin menimpa umat manusia di abad 21.
Sumber bacaan: Yuval Noah Harari: the world after coronavirus