Di akhir abad ke-18, banyak Reformis muslim muncul dan gerakan untuk membangkitkan kembali kekuatan kaum muslim menguat. Gerakan ini mengejawantah dengan baik dalam tiga Reformis besar abad ke- 18 dan 19, yaitu: Abdul Wahhab dengan gerakan Wahabisme, Sayyid Ahmad dengan gerakan Aligarh/Modernisme Sekuler, dan Sayyid Jamaluddin al Afghani dengan Modernisme Islamis.
Wahabisme
Abdul Wahhab dilahirkan tahun 1703 di Nejd. Dia pengagum berat pemikiran Ibnu Taymiyah yang menyatakan, “Allah telah meninggalkan kaum muslim dan bahwa umat Islam harus kembali ke cara-cara persis dengan Umat Pertama (salafus Sholih) jika mereka ingin kembali mendapat pertolongan-Nya”. Aneka madzhab pemikiran dan interpretasi kitab suci menurutnya adalah bid’ah, sejenis tumor yang melemahkan umat Islam.
Ketika menjadi Hakim, Abdul Wahhab menerapkan hukum Imam Hambali dengan tanpa kompromi, menghancurkan situs-situs suci seperti makam dll, sehingga mendapat penentangan dari penduduk sekitar dan digulingkan dari jabatannya. Wahhab melarikan diri ke Oasis Dariyah, dan mengadakan aliansi politik-religius dengan Muhammad Ibnu Saud, seorang pemimpin suku yang punya mimpi menyatukan Arabia. Sementara ia sedang memaksakan visinya tentang Islam murni di Saudi Arabia, di Eropa Britania Raya berada pada puncaknya, Amerika Serikat lahir, Revolusi Perancis mendeklarasikan HAM, Mozart menggubah maha karyanya, dan James Watt menciptakan mesin Uap.
Setelah Abdul Wahhab dan Ibnu Saud meninggal, Abdul Aziz mendeklarasikan diri sebagai penggantinya. Tahun 1802, Aziz bin Saud menyerang Kota Karbala dan membantai sekitar dua ribu penduduk Syiah di sana. Tahun 1804 menaklukkan Madinah dan Makkah, dan menghancurkan makam-makam sahabat serta situs kelahiran Nabi SAW. Bersama klan Hasyimiyah, keturunan Ibnu Saud ini menjalin aliansi dengan Inggris untuk melakukan pemberontakan terhadap Turki Utsmani. Pada tahun 1924 Ibnu Saud menyingkirkan kompetitornya, klan Hasyimiyah, dan menjadi penguasa efektif di wilayah yang disebut Saudi Arabia.
Kerajaan Arab Saudi yang didirikan pada 1932 di dasarkan pada cita-cita Wahabi. Para ulama memberikan legitimasi pada negara itu dan sebagai balasan raja-rajanya menegakkan nilai-nilai agama konservatif. Kaum perempuan diselubungi dari pandangan dan dikucilkan (meskipun ini tidak pernah terjadi pada jaman Nabi), judi dan alkohol dilarang, hukuman tradisional seperti potong tangan, rajam dan pancung diabadikan dalam sistem hukum. Kebanyakan negara dan organisasi muslim tidak menganggap bahwa kesetiaan kepada Al Qur’an menuntut praktik pidana pramodern seperti itu. Ikhwanul muslimin, misalnya, sejak awal sekali mengutuk penggunaan hukuman islam Saudi sebagai tidak patut dan kuno, terutama ketika kekayaan mewah para elite penguasa dipertontonkan dan distribusi kekayaan yang tidak merata melanggar nilai-nilai Al Qur’an yang jauh lebih penting.
Prinsip ajaran Wahhabi bermuara pada prinsip tauhid (pemurnian agama) dan membasmi TBC (takhayul, bid’ah, churofat). Jihad menjadi kewajiban setiap muslim untuk mengalahkan musuh-musuh Islam. Daftar musuh-musuh potensial adalah: orang-orang munafik, murtad, khianat, ahli bid’ah, Syi’ah, dan termasuk di dalamnya para Sufi. Ajaran Wahhabi ini menyebar jauh melampaui Saudi Arabia, dan menemukan lahan yang subur di India. Melalui sekolah agama di kota Deoband, dakwah Wahhabi berkembang secara pesat di anak benua India hingga Afghanistan. Pada perjalanannya para Deobandi ini selanjutnya menjadi cikal bakal lahirnya gerakan Taliban di Afghanistan.
Di Indonesia gerakan wahabisme muncul dalam bentuk Jamaah Salafi (Salafiyah Dakwah). Tokoh2 ulama Saudi yang sering menjadi referensi dari Salafi, seperti: Abdullah bin Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Muqbil Al Wadi’iy (Yaman), Syekh Rabi al-Madkhaly(Madinah) dan Nasiruddin Al Albani (Yordan). Tokoh2 penggerak awal Salafi di Indonesia: Ja’far Umar Thalib (Yogyakarta), Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais Asifuddin (Solo), dan Abu Nida’ (Yogyakarta).
Jamaah Salafi di Indonesia cenderung kurang perhatian kepada masalah-masalah politik dan menganggap pemilu sebagai upaya syiriq. Mereka juga tidak setuju dan mengecam aksi-aksi terorisme. Salafi ingin mempraktikkan cara hidup nabi (sunnah) dan generasi salaf sholih secara harfiah (literal) dan kaku. Gerakan ini sering menunjukkan ketidaksefahaman dengan beberapa gerakan Islam yang lain seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir yang mereka pandang mencampuradukkan Islam dengan bid’ah. Kendati menggunakan idiom ahlu sunnah, kelompok ini cenderung memandang NU yang juga sebagai penganut Ahlu sunnah Wal jamaah sebagai ahli bid’ah, bahkan juga Muhammadiyah. Salafi menekankan pada paham dan praktik keagamaan yang murni dan keras (fundamentalisme skripturalis), yang sulit diterima oleh orang islam pada umumnya.
Dalam internal Jamaah Salafi terdapat dua kelompok, Yamani dan Haraki. Salafiyah Yamani merupakan kelanjutan dari Laskar Jihad yang dibentuk oleh Ja’far Umar Thalib di awal era Reformasi. Salafiyah Yamani merupakan jaringan para da’i salafy yang berafiliasi pada syaikh-syaikh salafy di Yaman dan Timur Tengah. Kelompok Yamani yang disponsori Saudi menghindari sistem gerakan sedangkan Salafi Haraki menerapkan sistem gerakan seperti Ikhwanul Muslimin, Jamaah Islamiyah atau Hizbut Tahrir. Metode Harakiyah ini ditentang oleh Salafiyah Yamani karena tergolong sebagai bid’ah dan mempraktikkan fanatisme (hizbiyah).
Salafiyah Haraki masuk dan berdiri di Indonesia lebih dulu daripada Yamani, kendati keduanya hadir pada tahun 1990-an. Bagi salafiyah Haraki, metode harakah diperlukan karena bagaimanapun untuk membina dakwah di tengah zaman modern seperti saat ini dibutuhkan sistem organisasi (tanzhim), sebagai bentuk ijtihad dan bukan bid’ah yang dilarang. Kelompok Yamani memiliki pandangan ekstrim (sikap keras) kepada kelompok-kelompok pergerakan islam lain, sedangkan sikap kelompok Haraki lebih moderat. Salah satu tokoh Salafi Haraki adalah DR. Salman ibn Fahd al-‘Audah. Keduanya mengklaim diri sebagai pihak yang paling salafy, sehingga satu sama lain merasa dirinya yang paling murni mengamalkan sunnah dan mereka cenderung bermusuhan.
Media dakwahnya melalui kajian-kajian keislaman dengan topik utama tentang bahasan aqidah dan syari’ah (sunah). Salafi Yamani memiliki majalah Salafi dan Asy Syari’ah sedangkan kelompok Haraki punya majalah sendiri, As Sunnah. Saat ini cukup banyak ustadz salafi yang populer di Indonesia: Firanda Andirja (masjid nabawi), Badrusalam (Rodja TV), Khalid Basalamah, Syafiq Riza (Yufid TV), Muhamad Abduh Tuasikal (Rumaysho.com), Elvi Syam (Surau TV), dll. Dakwah Salafi melalui media sosial baik website, Youtube, instagram dll cukup mendominasi dibanding gerakan dakwah islam yang lain.
Referensi:
- Tamim Ansary, 2009, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam, Penerbit Zaman, Jakarta
- Muhammad Majloum K, 2008, 100 Muslim Paling Berpengaruh Pada Sejarah, Penerbit Noura Books, Jakarta
- Haedar Nashir, 2013, Islam Syariat, Mizan Pustaka, Bandung
- Ahwan Fanani, Liberalisme Islam di Indonesia Sebuah Kontroversi, Pustaka Zaman, Semarang
- Karen Armstrong, 2001, Sejarah Islam, Penerbit Mizan, Bandung
- https://rumaysho.com/600-situs-para-ustadz-rujukan-bertanya-tentang-islam.html