Cinta adalah jiwa kehidupan. Cinta adalah perlindungan dan tanggung jawab. Cintalah yang membuat Umar Ibnu Khathab –khalifah setelah Abu Bakar– tidak tidur sebelum rakyatnya tidur dalam keadaan kenyang. Hampir tiap malam, ia menyamar dan berkeliling Kota Madinah tanpa pengawal untuk memastikan keadaan itu.
Pada suatu malam di pinggiran Kota Madinah, Umar mendapati seorang ibu yang sedang memasak batu. Sang ibu memasak batu untuk menghibur anak-anaknya yang kelaparan. Sebab, ia sudah tak punya lagi bahan makanan untuk dimasak. Dengan hati yang terluka dan bersalah, Umar pergi ke kantor perbendaharaan negara dan memanggul sekarung gandum di pundaknya dan memasaknya dengan tangannya untuk sang ibu. Ketika itu, Umar menangis karena ia merasa lalai menjalankan tanggung jawab sebagai pemimpin.
Cinta juga yang membuat Umar mematikan lampu bila ada anggota keluarga atau sahabat yang datang ke kantornya untuk membicarakan urusan pribadi dan bukan urusan kenegaraan/umat. Umar tidak mau menggunakan sekecil apa pun fasilitas negara untuk mempermudah urusan pribadinya. Cinta inilah yang membuat kondisi keuangan negara kuat sehingga ia mampu mendanai alusista bala tentaranya secara optimal dan terbukti dalam kepemimpinannya umat Islam mampu mengenalkan dirinnya ke hampir 2/3 belahan bumi.
Cintanya kepada rakyat dan negaranya membuat Umar bukan saja dikenal sebagai pemimpin yang adil, sederhana, dan bijak. Namun, Umar juga dikenal sebagai salah satu sosok yang disebut ’’singa pada siang hari dan sufi pada malam hari’’. Setiap malam, ia beribadah dengan sangat khidmat sampai berderai-derai air matanya. Sebagai khalifah, ia khawatir kalau-kalau kepemimpinannya membuat rakyatnya dan umat Islam menderita. Kecintaan Umar itu bahkan membuatnya berkata, ’’Cukup seorang Umar saja yang dimasukkan ke dalam neraka, jika itu harus menjadi tebusan atas dosa-dosa yang dilakukan rakyatku.” Siapakah pemimpin hari ini yang semulia Umar?
Cinta adalah pengorbanan dan teladan terbaik. Cinta semacam inilah yang membuat Fatimah, istri Umar bin Abdul Aziz –cucu dari putra Umar bin Khathab–, menyumbangkan semua perhiasannya kepada baitul mal atau kas negara dan mengikuti suaminya pindah dari istana khalifah ke sebuah gubuk di samping istana. Sebagai ibu negara, ia memilih hidup dalam kesahajaan dan menjadi contoh bagi rakyatnya daripada dipulangkan ke rumah orang tuanya meski hidup berecukupan. Dalam kepemimpinan Umar kedua ini, umat Islam hidup dalam atmosfer keadilan dan kesejahteraan sampai-sampai zakat yang dikumpulkan mereka sumbangkan ke negara tetangga karena rakyatnya tak ada yang mau menerima zakat.
Pada zaman yang terlampau jauh sebelum kehadiran dua pemimpin ini, kita mengenal seorang raja sekaligus nabi yang memiliki negeri yang makmur dan kerajaan yang megah di Yerusalem Purba. Dia adalah Daud. Sebagai pemimpin, Daud memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki pemimpin manapun yang pernah dilahirkan bumi. Daud membuat makanannya sendiri dan tak akan pernah memulai makan jika tidak ada orang lain yang menemaninya makan dari kalangan apa pun. Bahkan, Daud membuat baju besi/baju perangnya sendiri untuk mencontohkan bahwa pemimpin negara adalah manusia biasa yang tak harus dilayani sedemikian ’’merepotkan’’ layaknya seorang majikan oleh budaknya.
Saat kepemimpinan dilanjutkan Nabi Sulaiman, salah seorang putranya, negeri itu berada di puncak kejayaan karena sifat Sulaiman yang adil, bijaksana, dan ekonomis sejak masih muda belia. Kebijaksanaan dan rasa cinta yang begitu kuat untuk rakyatnya membuat negeri yang dipimpinnya termasyur pada masanya hingga kini karena keadilan, kemakmuran, dan kesalehan. Meski tidak seeksotis Yerusalem Purba pada zaman Daud, Indonesia adalah negeri yang dianugerahi kekayaan alam yang melimpah. Kekayaan yang tak dimiliki negeri manapun di dunia. Kekayaan inilah yang seyogianya menjadi modal untuk para pemimpin mencukupi kehidupan seluruh rakyat. Dengan manajemen yang baik serta dengan cinta dan kejujuran, seluruh rakyat negeri ini dapat hidup sejahtera secara merata.
Cinta bukan sekadar bicara, melainkan tindakan nyata. Oleh karena itu, gaya-gaya lama pemimpin yang mengelabui rakyat dengan kata-kata manis tak berlaku lagi. Bangsa ini membutuhkan cinta ’’sejati’’ pemimpin bangsa yang dicontohkan dua Umar untuk umat Islam, Mahatma Gandhi untuk India, Muhammad Iqbal untuk Pakistan, Mahmoud Ahmadinejad untuk Iran, Muhammad Yunus untuk Bangladesh, hingga Putri Diana dan Madame Theressa untuk anak-anak di seluruh dunia. Mereka mengajarkan bahwa pemimpin memerlukan rasa cinta untuk membangun bangsanya agar menjadi bangsa yang besar dalam segala bidang, jiwa dan raga – intelektual dan spiritualitas. Pemimpin serupa merekalah yang dibutuhkan Indonesia saat ini dalam semua tingkatan, dari level negara hingga level keluarga.
Mari bersama berdoa semoga para pemimpin bangsa benar-benar mencintai rakyat dan bangsa ini sebagaimana mencintai diri sendiri. Semoga. Aamiin.











