Majlis Mujahidin Indonesia dilahirkan dan dideklarasikan di Yogyakarta pada 7 Agustus 2000. Tokoh kuncinya yaitu Abu Bakar Baasyir, Irfan Suryahadi yang dalam kongres Mujahidin I (2000) dan II (2003) ditetapkan sebagai Amir Mujahidin dan Ketua Lajnah Tanfidyah.
Kongres Mujahidin I yang melahirkan Majlis Mujahidin mengeluarkan piagam Yogyakarta yang berisi 5 pernyataan:
- Wajib hukumnya melaksanakan syariat islam bagi umat islam indonesia dan dunia pada umumnya.
- Menolak segala ideologi yang bertentangan dengan islam yang berakibat syirik dan nifaq, serta melanggar HAM.
- Membangun satu kesatuan shaf Mujahidin yang kukuh kuat, baik di dalam negeri, regional maupun internasional.
- Mujahidin Indonesia membentuk Majlis Mujahidin menuju terwujudnya imamah (khilafah), kepemimpinan umat baik di dalam negeri maupun dalam kesatuan umat islam sedunia.
- Menyeru kepada kaum muslim untuk menggerakkan dakwah jihad di seluruh dunia demi tegaknya islam sebagai rahmatan lil alamiin.
MMI sering terlibat polemik dengan tokoh atau atau kalangan islam lain yang tidak setuju dengan formalisasi syariat islam dalam kehidupan bernegara. Dalam menghadapi pandangan yang berbeda tersebut, MMI dalam siaran pers yang disampaikan pada Kongres Mujahidin II di Surakarta (12-8-2004) di butir ke-9: “Menyatakan dengan tegas bahwa orang islam yang menolak penerapan syariat islam dalam lembaga pemerintahan dan menyetujui prinsip pemisahan agama dari negara adalah kufur i’tiqadi (murtad)”.
Majlis Mujahidin termasuk gencar mempersoalkan Piagam Jakarta dan Perjuangan memasukkan kembali tujuh kata dari piagam jakarta tersebut pada waktu amandemen UUD 1945 pada sidang tahunan MPR tahun 2000. MMI mempersoalkan dicoretnya tujuh kata, yaitu kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada sidang BPUPKI 18 Agustus 1945. Pencoretan tersebut dipandang sebagai pengkhianatan terhadap umat islam. MMI gigih berjuang bersama HTI, Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), Komisi Persiapan Penerapan Syariat Islam (KPPSI), Front Hizbullah, FPI dll. Partai islam yang mendukung secara terbuka waktu itu adalah PPP dan PBB sedangkan PK dan PAN mendukung dengan sikap yang moderat. Dua sayap islam terbesar NU dan Muhammadiyah tidak menunjukkan dukungan atas upaya menghidupkan kembali Piagam Jakarta dan formalisasi syariat islam dalam kehidupan bernegara.
MMI memiliki kesamaan dengan HTI dalam upaya menerapkan syariah islam secara kaffah, untuk merealisasikannya dengan cara menyampaikan secara terbuka ke ruang publik. Dalam melakukan gerakannya keduanya menunjukkan sikap reaktif terhadap kelompok islam lain yang tidak setuju atau menolak formalisasi syariat islam dalam kehidupan publik dan mengkategorikan yang menolak itu sebagai kufur i’tiqadi (murtad). Perbedaannya MMI lebih fokus pada perjuangan dengan isu utama penegakan atau penerapan syariat islam secara langsung dalam kehidupan negara dan masyarakat, kendati tidak secara terbuka dan tidak banyak mengangkat isutentang wadah untuk menerapkan syariat islam atau format negara tertentu. Sedangkan HTI secara terbuka dan gigih selalu mengangkat isu tentang penegakan khilafah islamiyah sebagai bentuk negara ideal bagi umat islam sedunia sekaligus menjadi wadah utama bagi pelembagaan syariat islam.
Kendati MMI dan HTI memiliki perbedaan tertentu tapi aspek substansi dan pemikiran dasarnya sama. Kedua gerakan islam syariat tersebut bahkan sering bersinergi dan bekerjasama dalam menyuarakan perjuangan syariat islam di Indonesia.
Dalam mengusung perjuangannya gerakan islam syariat membangun jaringan dengan sesama kelompok islam yang sepaham, contohnya MMI, HTI dan FPI. Mereka menempatkan pihak yang tidak sejalan sebagai kelompok sekuler, liberal dan bahkan dianggap kufur i’tiqodi. HTI menggunakan strategi mobilisasi dukungan.
Sasaran dan aksi yang pertama yaitu memperjuangkan menghidupkan kembali piagam jakarta, setelah gagal di parlemen aksi kedua gerakan beralih ke perjuangan menerapkan syariat islam di daerah-daerah. Tahun 2006 ada 22 daerah kota dan kabupaten di Indonesia yang memerlakukan perda bernuansa syariat islam. Aksi yang ke-3 yaitu membentuk otonomi khusus yang memberlakukan syariat islam, hanya berhasil di NAD sebagai akomodasi politik struktural dari pemerintah pusat. Sasaran ke-4 perjuangan membangun negara khilafah islam. Baru berupa gerakan penyadaran di tingkat wacana dan sosialisasi gagasan belum disertai dengan aktivitas politik perjuangan kekuasaan untuk membentuk negara islam.
Pada umumnya kelompok-kelompok islam syariat lebih dekat dengan kelompok islam modernis ketimbang dengan kelompok islam tradisional, kecuali pada FPI yang para aktivisnya maupun praktik keagamaan sampai batas tertentu lebih dekat ke islam tradisional. Diantara para aktivis islam syariah bahkan memiliki latar belakang keluarga besar Muhammadiyah
Perbedaan kelompok islam syariat dengan arus utama umat (NU dan Muhammadiyah) dalam memaknai sejarah umat islam dan ajaran islam di tengah kompleksitas zaman saat ini:
- Kelompok islam syariat memandang islam di jaman nabi dan generasi salaf sesudahnya sebagai tipe ideal yang secara mutlak dan harfiah harus divetak ulang tanpa reformulasi. Kelompok islam mainstream memandang pentingnya akomodasi dan aktualisasi baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman.
- Penghapusan 7 kata Piagam Jakarta 1945 sebagai bentuk pengkhianatan terhadap umat islam, sedangkan NU dan Muhammadiyah menempatkannya sebagai bentuk “konsensus nasional” yang menunjukkan kearifan umat islam.
- Islamisasi versi islam syariah lebih menonjolkan formalisasi dan orientasi serba tekstual, sementara islam mainstream lebih menekankan aktialisasi dan kontekstualisasi nilai2 islam secara lebih mencair. Kelompok islam syariah lebih menekankan syariat islam sebagai tema sentral ajaran dengan tuntutan formalisasi jalur perjuangan politik kenegaraan, sedangkan NU-MUHI lebih berorientasi pada ajaran islam secara keseluruhan dengan menitikberatkan pada dakwah di tengah2 masyarakat