Selesai prosesi puncak ibadah haji di Arafah dan Muzdalifah, jamaah haji berbondong-bondong menuju Mina untuk melepar jumrah Aqabah. Di tempat inilah Nabi Ibrahim dan Ismai dahulu melepari setan yang menggoda. Kita bisa memaknai manasik ini seperti halnya melempar 7 Level syetan dengan 7 batu kesadaran;
1. Setan pertama menyuruh dan mengajak kepada kekafiran sehingga kita terdorong untuk bermaksiat. Batu untuk menghadapi ini adalah firman Allah:
وَمَا لِيَ لَا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan dikembalikan? (Yasin : 22). Kalau kamu mengajak kafir wahai setan maka sesungguhnya tidak ada alasan untuk tidak menyembah Allah
2. Setan kedua datang untuk membisikan agar malas beribadah dan meninggalkan ketaatan (‘la tuti’ Rabbak’), kerikil untuk menolak ajakan ini: “Bahwa semua amal ibadah itu akan menjadi bekal kita besok di hari kiamat”
3. Setan ketiga membujuk agar menunda amal, “Beribadah tekunnya nanti saja Ketika sudah usia tua saat kesibukan sudah tidak ada”. Maka lemparlah untuk menolaknya, “Bahwa ilmu tentang kematian itu ada di Tangan Allah, tidak ada yang tahu kapan ajal akan datang”
إِحَالَتُكَ اْلأَعْمَالَ عَلىَ وُجُوْدِ اْلفَرَاغِ مِنْ رُعُوْنَاتِ النَّفْسِ
Keinginan menunda-nunda amal karena menunggu waktu yang longgar itu termasuk kebodohan (Al Hikam)
4. Bujukan selanjutnya: “Kalau mau beribadah itu harus semaksimal dan sesempurna mungkin”. Tujuan setan supaya nanti kita segera bosan lalu meninggalkan amal tersebut, atau berlekas-lekas sehingga tidak khusyu’ dan tidak ada ketenangan karena mengejar target. Maka mengatasi hal ini dengan: menghadirkan khusyu’, tuma’ninah, dan istiqamah dalam ibadah
أَحَبَُ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amal yang paling dicintai Allah adalah yang kontinu meski sedikit.” (HR Muslim)
5. Jika kita sudah bisa tuma’ninah maka muncul bisikan lagi berupa pujian-pujian dari syetan agar kita merasa senang karena dilihat amal tersebut oleh orang-orang. Untuk mengatasi riya’ seperti ini dengan tetap beramal tanpa peduli pada penglihatan orang
اَلْأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ، وَأَرْوَاحُـهَا وُجُوْدُ سِرِّ اْلإِخْلاَصِ فِيهَا
Amal-amal itu seperti jasad, ruhnya (amal) ada pada keikhlasan di dalamnya (al-Hikam)
6. Ketika kita bisa istikamah dalam keikhlasan lalu muncul lagi pujian dan sanjungan, bahwa engkau sudah seperti waliyullah yang berbuat semata karena Allah, Ketika kita meyakini hal tersebut maka disitulah kita terjatuh yang lebih rendah daripada ketika awal melangkah. Maka hendaklah dijawab: “Tidak mungkin saya ini wali, bahwa saya ini masih banyak dosa yang belum tentu diampuni, taubatku belum tentu diterima, aku ini hamba yang lemah dan hina, sedikit sekali baktinya pada Allah dan orang tua”, La Haula wa la quwwata Illa Billah… Jika aku bisa taat itu karena pertolongan Allah semata. Dengan batu hawqalah ini setan ujub akan musnah.
7. Setan yang terakhir datang dan memberi nasihat palsu: “Buat apa tekun-tekun beramal, belajar keras, beribadah jika memang sudah ditakdirkan masuk surga pasti masuk surga jika ditakdirkan masuk neraka juga nanti akhirnya ke neraka”. Maka lemparlah dengan batu yang ketujuh, yaitu dijawab dengan kalimat yang diucapkan Nabi Ibrahim:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al An’am : 162)