Memasuki usia 17 tahun Muhammad menekuni pekerjaannya sebagai agen para pemilik modal di Makkah untuk berniaga di Syria, Iraq, Yaman dan Kota Besar lainnya. Kredibiltas dan karakternya yang kuat menjadikan Muhammad partner terpercaya dalam mengelola perdagangan serta orang yang tepat untuk dititipi amanat. Masyarakat Makkah memberinya sebutan al-Amin (Sang terpercaya).
Setelah memiliki kemandirian secara finansial pada usia 25 tahun Muhammad memutuskan untuk menikahi Khadijah binti Khuwailid. Keduanya telah cukup lama menjalin relasi bisnis dan Khadijah terpesona dengan kepribadian Muhammad. Bersatunya pebisnis dan pemodal menyebabkan perdagangan mereka mengalami kemajuan dan menghasilkan kehidupan ekonomi yang mapan. Ia memiliki keluarga yang sejahtera bersama seorang istri dan empat putrinya yang cantik: Zainab, Umi Kultsum, Ruqayyah, dan Fatimah. Pasangan yang ideal ini sangat dermawan membagikan hartanya untuk membantu orang-orang yang kesusahan.
Bertahanus di Gua Hira
Muhammad memiliki kebiasaan yang berbeda dengan para pemuda sukses seusianya di Makkah. Mereka biasanya saling berlomba menumpuk kekayaan, memperbanyak istri dan keturunan serta berebut status sosial sebagai pemimpin kabilah. Sedangkan Muhammad terbiasa melakukan tahanuts atau menyendiri selama sekian hari, bisa sepuluh hari hingga sebulan. Ia lebih sering melakukan tahanuts pada usia 35 tahun, selepas wafat putra keduanya yang bernama Abdullah. Ia sering membagikan makanan kepada fakir miskin yang mendatangi tempatnya. Setelah menyelesaikan tahanuts sebulan penuh di bulan Ramadhan yang pertama Ia lakukan yaitu thawaf di Ka’bah sebelum pulang ke rumah.
Ia melakukan hal tersebut karena mengikuti tradisi hanif, yaitu orang yang berupaya meneruskan laku Nabi Ibrahim yaitu menapaki jalan yang lurus dan penuh dengan moralitas, di tengah kerusakan moral Jahiliyah pada saat itu. Hal ini digambarkan dalam firman-Nya:
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan Demikianlah kami wahyukan kepadamu Ruh (Al-Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al-Quran itu cahaya, yang kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (asy Syura : 52)
Dr. Al Buthi menyampaikan, seorang muslim tidak sempurna keislamannya, meskipun dia telah menghiasi diri dengan berbagai ibadah, sebelum melakukan kegiatan menyendiri (uzlah) selama beberapa lama untuk meng-hisab diri dan merasakan pengawasan Allah. Serta memikirkan fenomena alam berikut bukti-bukti keagungan Allah.
Di dalam jiwa kita ada kerusakan yang hanya dapat diobati dengan cara menyendiri dari keramaian lalu mengevaluasi diri dalam suasana yang hening dari hiruk pikuk duniawi. Dengan cara itu, seseorang bisa mengurangi bahkan menghilangkan sikap sombong, ujub (mengagumi diri sendiri), dengki, riya’ dan cinta dunia. Semua itu merupakan penyakit yang akan merusak jiwa manusia dan menodai kesucian hatinya, dan menghancurkan batinnya meskipun dia banyak melakukan amal shaleh dan aneka ibadah.
Semua itu hanya terwujud melalui kegiatan meyendiri dan menjauhi segala kesibukan duniawi selama waktu tertentu yang sengaja disisihkan secara berkesinambungan. Aktivitas khalwat seperti ini ibarat obat, apabila diminum dengan ukuran dan waktu yang tepat akan memberikan efek penyembuhan berbagai penyakit kejiwaan.
Orang yang benar dalam uzlah-nya akan berhasil mendapatkan karunia Tuhan. Tandanya melalui tersingkapnya tirai kesadaran, hidupnya kalbu, terwujudnya rasa cinta, mempunyai semangat untuk menjaga agama dan syariat, serta memelihara hukum-hukum-Nya. Para kekasih Allah selalu mengalahkan nafsu mereka untuk bisa berkhalwat dan melakukan uzlah. Mereka jauhkan nafsu dari syahwat dunia, lalu mereka didik dengan menjaga diri, bersikap qanaah, serta merasa cukup dengan yang halal dan baik. Mereka sembelih rasa tamak dan keinginan untuk dikenal orang dengan pisau kecemasan. Selanjutnya mereka mendengar dan bersahabat dengan Allah, menikmati munajat kepada-Nya, serta merasakan lezatnya dekat dengan-Nya. Allah.
Turun Wahyu Pada Lailatul Qadar
Di gua Hira pada 17 Ramadhan (6 Agustus 610), Muhammad telah memasuki usia kesempurnaan yakni 40 tahun. Tengah malam, Malaikat Jibril atas perintah Allah datang menemuinya yang saat itu dalam keadaan penuh kesadaran. Ketika itu Jibril menyampaikan wahyu yang pertama. Martin Lings dalam bukunya menceritakan peristiwa agung ini dalam bahasanya yang indah:
Malaikat itu mendekapku sampai aku sulit bernafas. Kemudian ia melepaskanku dan berkata, “Bacalah!” kujawab, “Aku tidak dapat membaca!”, Ia mendekapku lagi hingga akupun merasa tersesak. Ia melepasku dan berkata, “Bacalah!” dan kembali kujawab, “Aku tidak dapat membaca!” Lalu ketiga kalinya ia mendekapku seperti sebelumya, kemudian melepaskanku dan berkata:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ–خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ – اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ – الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ – عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ
- Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, (2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, (4) Yang mengajar (manusia) dengan pena. (5) Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-Alaq)
Muhammad mengulangi kata-kata yang diucapkan malaikat itu yang kemudian meninggalkannya. Beliau berkata,“Sepertinya kata-kata itu tertanam dalam hatiku.” Namun beliau takut jangan-jangan telah menjadi penyair yang terilhami jin atau orang yang kesurupan. Karena itu beliau lari dari gua. Di tengah perjalanan menuruni tebing bukit, beliau mendengar suara di atasnya,“Hai Muhammad! Engkau utusan Allah dan Aku Jibril.”
Beliau menengadahkan kepala ke arah langit dan di sana terlihat tamunya, masih dapat dikenalnya, namun sekarang jelas dalam rupa malaikat, memenuhi seluruh cakrawala. Rasa takut membuat Ia berpaling darinya, namun kemanapun Ia memandang ke Utara, ke Selatan, ke Timur dan ke Barat malaikat itu selalu ada di sana, menapak di cakrawala. Apa yang dialami oleh Muhammad tersebut merupakan kejutan baginya. Karena tidak pernah terbayang dalam benaknya bahwa Ia akan ditemui malaikat untuk ditugaskan menjadi Nabi. Wahyu itu bukan bersumber dari dalam dirinya, tapi semata-mata informasi yang datang dari luar dirinya, yaitu dari Allah melalui malaikat Jibril.
Perintah Membaca
Perintah pertama Allah kepada Nabi Muhammad dalam wahyu-Nya yaitu Iqra’(Bacalah), padahal yang diperintah adalah orang yang tidak bisa baca tulis (ummi). Perintah dalam wahyu tersebut juga turun di Makkah, tempat yang jauh dari tradisi keilmuan dan peradaban. Namun demikian, keheranan itu segera akan sirna begitu kita menyadari bahwa ‘membaca’ adalah tangga pertama menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Perintah dalam ayat tersebut tidak menyebutkan objek bacaan tetapi motivasi dan tujuan membaca, yakni bismi Rabbika (Demi Karena Tuhanmu), ayat ini menuntut untuk membaca apa saja, yang tertulis atau terhampar. Membaca adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia baik sifatnya aktif maupun pasif. Wahyu tersebut dalam makna dan semangatnya seperti hendak mengatakan: Bacalah!, observasilah!, temukanlah!, termasuk seluruh rahasia alam semesta, Demi karena Allah!. Untuk mengantarkan pada rasa khasyah, yaitu kekaguman pada kesempurnaan Sang Maha Pencipta.
Surat al-Alaq menerangkan bahwa Allah menciptakan manusia dari sesuatu yang hina (sperma) kemudian memuliakannya dengan mengajar membaca, menulis dan memberinya pengetahuan. Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang memerintahkan kita untuk mendahulukan mempelajari ilmu, kemudian menerapkannya serta menyampaikannya pada orang lain sebagai jalan dakwah. Pada ayat ke-4 dan ke-5 dijelaskan dua cara yang ditempuh Allah dalam mengajar pengetahuan kepada manusia. Pertama melalui pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua inilah yang diterima oleh Muhammad, dikenal dengan istilah ilmu Ladunniy.
Semangat Iqra’ ini telah mengantar ilmuwan muslim sampai ke ambang hampir semua penemuan ilmiah jauh sebelum Barat tiba di sana. Abad 8 Jabir bin Hayyan (Geber) menyampaikan teori atomnya Democritos serta merintis teknik dan prosedur kimia. Al-Khawarizmi (Algoritma) meletakkan fondasi untuk mengembangkan Aljabar, Aritmatika, Trigonometri dan menemukan angka arab untuk hitungan praktis matematis. Abad 10 al-Razi (Razes) membantah teori Galen dalam bidang medis. Abad 11 Ibnu Haytam (Alhazen) menemukan spektrum cahaya, menjelaskan metode ilmiah, dan menetapkan kuantifikasi dan eksperimen sebagai dasar eksplorasi ilmiah. Ibnu Sina (Avicena) menganalisis gerak secara matematis seperti yang dilakukan Newton, karya fenomenalnya Al Qanun fi al-Tibb (Canon) di bidang kedokteran popularitasnya bertahan di Eropa hingga abad 16 dan 17.
Abad 12 Ibnu Rusyd (Averoes) dari Spanyol, dikenal di Eropa sebagai “Sang Komentator” atas filsafat Aristoteles, karya-karyanya dibaca secara luas dan mempengaruhi pemikiran Thomas Aquinas, Albertus Magnus, Michael Scot, Maimonides dan Roger Bacon. Al-Idrisi menulis peta dunia secara akurat dalam Book of Roger, karyanya digunakan secara luas di Barat hingga abad 16-17. Abad 13 Ibnu Nafis menggambarkan peredaran darah dalam tubuh. Nasiruddin at-Tusi mengusulkan pergerakan planet yang baru dan berbeda dari teori Ptolomeus, teori ini mempengaruhi karya-karya Copernicus. At-Tusi, juga seorang pemerhati masalah etika, dia mengusulkan toleransi beragama dan harmoni budaya untuk menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang agama dan ras berdasarkan kesamaan kemanusiaan.
Patut disayangkan, semangat membaca fenomena alam semesta (ayat kauniyah) ini melemah pada diri umat Islam. Sebaliknya orang-orang Eropa yang mewarisi khazanah karya ilmiah peradaban Islam di Spanyol demikian bersemangat menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab itu ke dalam bahasa Ibunya, agar bisa mereka baca dan fahami. Akhirnya peradaban-pun dipergilirkan. Pada abad 17-18 Barat menyampaikan kembali apa-apa yang sudah ditemukan ilmuwan muslim di abad ke-13. Pada abad 19 mereka bergerak lebih jauh dengan temuan-temuan orisinilnya. Pada abad 20-21 mereka sampai pada capaian pengetahuan yang belum pernah terbayang oleh generasi manusia sebelumnya.
Memasuki post milenium ini umat Islam perlu kembali berkaca ke belakang. Perintah Iqra’ 14 abad yang lalu sangat relevan untuk digairahkan kembali. Sebab membaca adalah jendela pengetahuan dan peradaban.