Qunut Shubuh yang hampir dilakukan oleh sebagian, bahkan mayoritas masyarakat muslim di Indonesia khususnya warga Nahdhiyyin, telah lama menjadi salah satu objek perdebatan. Sebagian menilai bahwa hadits tentang qunut Shubuh adalah dha‘if, sehingga mengamalkannya adalah sebuah kesalahan dan bid’ah yang harus dihindari jauh-jauh. Sekalipun sejatinya, persoalan ini lebih tepat diposisikan sebagai bagian dari masalah ijtihadiyyah yang tidak diperkenankan untuk gegabah menolak. Mengenai hadits tentang qunut pun ulama juga masih ikhtilaf berselisih pendapat antara shahih dan tidaknya.
Dasar amalan qunut Shubuh menurut madzhab asy-Syafi’i adalah berdasar hadits berikut:
مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Artinya: “Rasulallah selalu melakukan qunut pada shalat Shubuh hingga beliau wafat.”
Hadits tersebut di riwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan Ishaq bin Rahuyah (bukan Rahawaih) dalam Musnad-nya dari shahabat Anas.
Hadits tentang qunut Shubuh riwayat dari shahabat Anas di atas inilah yang diperselisihkan ulama ahli hadits. Sebagian ahli hadits mengatakan dha‘if dan sebagian yang lain mengatakan shahih. Imam an-Nawawi mengatakan bahwa hadits Qunut Shubuh adalah shahih diriwayatkan oleh banyak Huffazh (jama’ dari kata al-hafizh) dan semua mengatakan shahih. Di antara ulama yang mengatakan shahih adalah al-Hafizh al-Balkhi, al-Hakim, dan al-Baihaqi. Begitu juga Imam ad-Daraquthni juga meriwayatkan dengan sanad shahih.
Dalam riwayat lain, al-Baihaqi -dengan sanad hasan- meriwayatkan dari Awwam bin Hamzah, dia mengatakan: “Aku bertanya kepada Abu ‘Utsman tentang Qunut Shubuh dan beliau menjawab: ‘Qunut Shubuh dilakukan setelah rukuk.’ Aku kembali bertanya: ‘Dari siapa keterangan tersebut?’ Beliau menjawab: ‘Dari Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhum.’” Al-Baihaqi juga meriwayatkan dari tabi’in, Abdullah bin Ma’qil dengan sanad shahih masyhur, bahwa Ali bin Abi Thalib melakukan qunut dalam shalat Shubuh.
Lepas dari perbedaan pendapat (khilafiyyah) tentang penilaian hadits di atas, sikap tidak menerima hasil pen-tashhihan hadits dari an-Nawawi, al-Baihaqi dan ulama lain yang sudah teruji keilmuannya, baik di bidang hadits maupun yang lain, merupakan perbuatan tidak menghormati jerih payah ijtihad ulama-ulama, apalagi jika ini dilakukan dengan bermodal bacaan pribadi yang masih minim dan parsial, dan hanya dilatar belakangi perbedaan keyakinan.
Di antara dasar hadits tentang tidak disunnatkannya Qunut seacara terus menerus adalah hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ
Artinya: “Rasulallah melakukan qunut selama sebulan, mendoakan jelek kepada satu kelompok (salah satu kabilah dari Bani Sulaim) kemudian tidak melakukan qunut lagi.”
Melihat dua hadis yang tanpak bertentangan ini, maka wajib adanya jam‘u dalilain (pengumpulan dua dalil). Salah satu upaya dalam pengumpulan dua dalil adalah dengan memberikan ta’wil (elaborasi). Ta’wil ini dilakukan untuk mengumpulkan hadist di atas dengan hadits riwayat Anas bahwa “Rasulallah selalu melakukan qunut Shubuh sampai beliau wafat” yang juga dinilai shahih, sehingga ditemukan indikasi makna bahwa maksud hadits riwayat Bukhari dan Muslim tersebut adalah Rasulullah tidak lagi melakukan qunut atau doa untuk orang kafir dan melaknatnya, bukan berarti meninggalkan semua qunut, artinya Rasulallah masih tetap melakukan qunut biasa. Penta’wilan ini dikuatkan riwayat al-Baihaqi dari Abdurrahman bin Mahdi, dia mengatakan: “Rasulallah meninggalkan doa laknat.” Lebih jelas lagi, sebagai penguat ta’wil di atas adalah riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rasulallah melakukan qunut setelah rukuk dalam shalatnya selama sebulan, mendoakan seseorang kemudian tidak melakukan doa lagi.
كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ
Artinya: “Rasulallah ketika akan mendoakan jelek kepada seseorang atau mendoakan baik untuk seseorang, maka beliau akan qunut (berdoa) setelah rukuk.”
Dalam Hadits lain riwayat dari Anas dan dishahihkan Ibnu Khuzaimah.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنَتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا الْقَوْمَ أَوْ دَعَا عَلَى قَوْمٍ
Artinya: “Rasulallah tidak melakukan qunut kecuali apabila berdoa kebaikan untuk kaum atau mendoakan jelek pada suatu kaum.”
Dengan keterangan hadits di atas, maka diketahui bahwa doa qunut yang dilakukan Nabi dalam waktu satu bulan kemudian beliau tinggalkan itu adalah termasuk Qunut Nazilah, bukan Qunut Shubuh. Qunut Nazilah ini beliau lakukan tidak hanya di waktu shalat subuh, tetapi juga di waktu sholat maghrib.
Imam Muslim meriwayatkan dari al-Bara’ ra.:
إَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ وَالْمَغْرِبِ
Artinya: “Sesungguhnya Rasulallah melakukan Qunut pada shalat Shubuh dan Maghrib.”
Dalam khazanah fiqh Islam, ulama yang mensunnatkan Qunut Shubuh adalah dari kelompok pengikut madzhab Syafi’i (ashab asy-Syafi’iyah) dan Maliki (Malikiyah). Sedang yang tidak melakukan adalah madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Jadi penetapan disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh telah lama diperselisihkan para ulama, termasuk para mujtahid madzhab empat. Namun, alangkah lebih terhormat, arif dan bermartabat apabila masalah ini didudukkan sebagai masalah khilafiyyah sehingga kita tidak gegabah menilai salah ijtihad ulama lain. Bukankan para shahabat Rasulallah atau para salaf shalih juga berselisih dalam aspek hukum? Namun mereka tetap saling menghormati satu dengan yang lain. Lakukan sesuatu yang engkau yakini benar, tanpa menyalahkan keyakinan orang lain. Apalagi jika ternyata keyakinan itu juga memiliki dasar pijakan normatif.
Wallahu A’lam bis Showab. Selamat membaca, semoga bermanfaat…
Hasisul Ulum