Sampai kapan pun kita harus tetap waspada dan patut kritis setiap adanya wacana rohis yang dikatakan sebagai tempat suburnya pengkaderan teroris yang diramaikan oleh “media tertentu”. Memang harus diakui, bahwa sebagian para teroris itu adalah mereka yang berusia masih muda atau remaja.
Jaringan terorisme teroris kini makin menyasar anak-anak muda untuk dijadikan objek perekrutan aktivitas mereka. Salah satu media yang dimanfaatkan jaringan terorisme untuk merekrut anggota baru mereka, dimana mereka adalah kelompok-kelompok pengajian di sekolah atau kampus yang lebih di kenal sebagai rohis.
Anggapan hal semacam itulah menjadikan siswa di Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK) dan mahasiswa di perguruan tinggi yang tergabung organisasi rohis menjadi “galau” di pelbagai perguruan tinggi sekarang ini. Sebab ternyata rohis yang mereka anggap menjadi tempat organisasi yang baik, malah dianggap oleh sebagian pengamat sebagai tempat sasaran empuk dalam jejaring perekrutan kelompok berideologi radikal. Salah satunya anggapan tersebut mengarah pada kegiatan organisasi rohis yang banyak mengenduskan ajaran ekstrim, bahkan dengan lantang rohis malah di klaim sebagai oraganisasi yang banyak menyumbangkan atau mendermakan dana puluhan juta bagi keberlangsungan kelompok “radikal”.
Dalam ranah ini, penulis tidak berupaya mendukung pengklaiman itu atau bahkan menghalangi pengklaiman rohis yang di cap sebagai ladang empuk bagi jaringan teroris. Namun disini penulis ingin lebih mendekatkan pada upaya kewaspadaan diri seluruh perguruan tinggi di Indonesia khususnya mereka yang tergabung dalam organisasi rohis, karena bisa saja, suatu saat ada doktrin-doktrin yang masuk dengan tidak disangka oleh kita bahwa doktrin tersebut adalah doktrin yang di bawa oleh para teroris.
Karena jaringan teroris ini mengaku bahwa jalan yang ditempuhnya ini benar, yaitu jihad memerangi pembangkang-pembangkang Islam. Oleh karena itu doktrin semacam ini harus kita waspadai oleh seluruh anggota rohis, khususnya ketua-ketua organsisasi rohis di berbagai kampus. Bisa jadi jaringan ini mempengaruhi ketua organisasi rohis terlebih dahulu atau langsung ke anggotanya. Tetapi yang penting disini, di dalam organisasi rohis harus selalu ada komunikasi secara intensif antara ketua dengan anggota supaya ketua bisa mengetahui sejauh mana perkembangan annggotanya tersebut.
Bagaimana Solusinya?
Penulis yakin, jika doktrin-doktrin ekstrimis tersebut sampai kapanpun ingin dimasukkan ke dalam sekolah maupun perguruan tinggi oleh para teroris secara sembunyi-sembunyi, tidak hanya organisasi rohis semata, melainkan seluruh komponen kampus secara keseluruhan dengan cara mencuci otak mereka. Maka solusi yang saat ini harus diperhatikan oleh perguruan tinggi adalah mendekatkan pada tindakan-tindakan pencegahan.
Bagaimana mencegah dan memberantas tindakan akan masuknya doktrin-doktrin ekstrimis di kalangan sekolah dan kampus, atau dikenal dengan cuci otak tersebut, salah satunya dengan menanamkan jiwa kritis siswa di sekolah, dan mahasiswa di kampus dan dengan mendirikan pusat kajian deradikalisasi di seluruh sekolah maupun perguruan tinggi di Indonesia. Kenapa kritis? karena penting bagi siswa di sekolah dan mahasiswa untuk terus kritis di dalam mengupayakan pencegahan atas penanaman doktrin tersebut, dalam artian siswa dan mahasiswa supaya tidak menerima doktrin-doktrin yang baru diterimanya tanpa mengkaji secara keseluruhan dengan guru dan dosen maaupun dengan teman-teman lewat diskusi atau seminar dan lain sebagainya.
Sebab faktor penyebab terjadinya terorisme saat ini adalah yang pertama, dikarenakan pemahaman mereka hanya berpatokan pada teks keagamaan yang hanya leteralistik, pemahaman ini tergambar pada pesan teksnya saja, tanpa memperdulikan konteksnya (kondisi). Kedua, pemahaman makna jihad yang radikal yang lahir sebagai protes atas ketidakadilan yang menimpa umat Islam, terutama ketidakadilan yang menimpa masyarakat Islam di Indonesia dan di negara-negara di Timur Tengah, semisal saja di Negara Palestina, dan negara-negara lain yang mayoritasnya Islam yang saat ini lagi “di bantai” oleh kedzaliman sang penguasa atau “antek-antek” orang-orang Yahudi.
Ketiga, karena pengaruh literatur yang menjadi bahan bacaan doktriner , Keempat, kecewa terhadap sistem pemerintahan yang dianggap tidak tegas dalam mengambil sikap. Sehingga dalam ketidakberdayaan inilah, terorisme menjadi pilihan sebagai bentuk perlawanan masyarakat terhadap pemerintah. Apalagi selama ini rakyat selalu menjadi tumbal kebiadaban para elit pemerintah yang hanya memikirkan kepentingan individu dan kelompoknya masing-masing. Kalau keempat faktor timbulnya terorisme diatas tidak disikapi dengan kritis oleh siswa maupun mahasiswa, maka terjebaklah siswa dan mahasiswa pada teksnya saja, tidak pada konteksnya.
Kemudian upaya selanjutnya adalah dengan mendirikan pusat kajian deradikalisasi kampus, mengingat cara ini penting juga untuk membendung doktrin-doktrin ektrim. Tetapi kebijakan ini domainya pada pengelola pendidikan pada satuan pendidikan, serta birokrasi kampus. Tanpa langkah sekolah, dan juga birokrasi kampus, penulis kira tidak akan jadi pusat kajian deradikalisasi tersebut.
Maka sudah waktunya lembaga pendidikan dan juga birokrasi kampus mau dan segera mendirikan pusat kajian tersebut. Mengingat pusat kajian deradikalisasi di perguruan tinggi sangat urgen bagi siswa dan mahasiswa, selain mengerti ideologi ektrimis yang berkembang saat ini. Siswa dan mahasiswa juga akan lebih bertoleransi secara keseluruhan. Semoga.