Tata kelola bisnis yang mengedepankan moralitas adalah fondasi utama untuk membangun perusahaan yang berkelanjutan dan bermakna. Inspirasi ini tidak hanya berasal dari dunia bisnis kontemporer, tetapi juga dapat dicermati dari sejarah, khususnya dari ajaran dan praktek kewirausahaan Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad tidak hanya menjadi utusan Allah SWT dalam menyebarkan ajaran agama Islam, tetapi juga menunjukkan teladan luar biasa dalam tata kelola bisnis yang berbasis pada moralitas. Bagaimana beliau mengintegrasikan nilai-nilai etis dalam segala aspek perdagangan dan interaksi bisnisnya adalah sesuatu yang patut dipelajari dan diterapkan hingga hari ini.
Mari kita menengok ke masa lalu yang gemilang ini, memahami bagaimana tata kelola bisnis dengan moralitas tidak hanya menjadi strategi, tetapi menjadi bagian dari jiwa dan prinsip yang mendefinisikan setiap langkah dan keputusan bisnis yang diambil.
Etika Bisnis yang Didasarkan pada Keadilan dan Keterbukaan :
Nabi Muhammad dikenal akan etika bisnisnya yang didasarkan pada prinsip keadilan dan keterbukaan. Dalam transaksi dagangnya, beliau menegaskan pentingnya kejujuran, integritas, dan kesetaraan antara pihak-pihak yang terlibat. Prinsip integritas dan kejujuran adalah fondasi dalam setiap keputusan bisnis yang diambil.
Track record beliau dalam etika bisnis inilah yang menyebabkannya dikenal sebagai seorang yang terpercaya (al-Amin). Pada usia yang sangat muda, sekitar 20-an tahun para pemilik modal di Makkah waktu itu semakin banyak yang membuka peluang kemitraan dengan Muhammad saw. Salah seorang pemilik modal tersebut adalah Khadijah yang menawarkan kemitraan berdasarkan mudharabah (bagi hasil). Khadijah bertindak sebagai pemodal (shahibul mal), sementara Muhammad sebagai pengelola (mudharib).
Nabi Muhammad menekankan pentingnya kejujuran dan integritas dalam setiap transaksi bisnis. Di dunia bisnis modern, hal ini tercermin dalam transparansi, menghindari praktik korupsi, dan memberikan informasi yang jelas kepada konsumen dan pihak terkait lainnya. Sebuah Riwayat menceritakan bahwa Rabi bin Badr pernah melakukan kerjasama dagang dengan Muhammad. Ketika belakangan mereka bertemu lagi, Muhammad saw mengatakan, “Apakah engkau mengenaliku?” Ia menjawab, “Kau pernah menjadi mitraku dan mitra yang paling baik pula. Engkau tidak pernah menipuku dan tidak berselisih denganku.”
Praktek bisnis Nabi saw tidak hanya berorientasi pada keuntungan semata, melainkan juga memperhatikan kesejahteraan bersama dan kepentingan semua pihak yang terlibat dalam transaksi. Muhammad melakukan perjalanan dagang atas nama Khadijah sebanyak lima kali. Misi pertamanya ia menjual barang dagangannya di pasar-pasar di Busra dan memperoleh keuntungan dua kali lipat dibanding pedagang-pedagan lain. Ketika Khadijah mendapati laporan dari mitranya itu tentang capaian keuntungan yang sangat besar, maka Khadijah pun memberikan bagian keuntungan yang lebih besar daripada yang telah mereka berdua sepakati sebelumnya.
Tanggung Jawab Sosial dan Kemanusiaan :
Selain memperhatikan aspek transaksi bisnis, Nabi Muhammad juga menunjukkan tanggung jawab sosial dan kemanusiaan yang tinggi. Beliau mendorong para pedagang dan pengusaha untuk berkontribusi secara positif dalam masyarakat, baik melalui inisiatif filantropi, bantuan kepada yang membutuhkan, maupun pembagian kekayaan yang adil. Hal ini menciptakan iklim bisnis yang tidak hanya mencari keuntungan finansial, tetapi juga memperhatikan kebutuhan sosial dan kemanusiaan.
Muhammad semasa kecil mempunyai pengalaman pahit dengan terlahir sebagai anak yatim. Ayahnya, Abdullah wafat di Madinah ketika ia dua bulan di dalam kandungan Aminah. Selanjutnya ia hidup di komunitas Bani Sa’ad bersama ibu susunya Halimah. Di situ selain merasakan segarnya udara pegunungan, ia juga bisa merasakan hidup dalam kesederhanaan masyarakat Badui. Setelah ibu dan kakeknya wafat, Muhammad kemudian diasuh oleh pamannya, Abu Thalib yang kondisi ekonominya pas-pasan. Pengalaman masa kecil seperti ini lah yang menjadi modal psikologis beliau ketika menjadi seorang wirausahawan di kemudian hari.
Muhammad saw adalah orang yang sukses secara materi baik sebelum atau setelah menjadi Nabi. Hal ini tampak pada saat melamar Khadijah ia memberikan mahar 20 ekor unta dan 1,2 kg emas, jika dirupiahkan mencapai Rp 1,2 M. Setelah menikah kekayaan semakin berlimpah, memiliki 6 orang putra-putri, mengadopsi Ali & Zaid, menyantuni fakir miskin dan anak yatim, serta banyak kegiatan sosial lainnya.
Setelah diangkat menjadi Rasul, harta beliau berasal dari Fa’i, yaitu harta yang diperoleh tanpa melalui pertempuran (contohnya tanah di Fadak). As-Shafi, harta yang dipilih Rasulullah sebagai ghanimah sebelum dibagikan kepada semua pasukan (besarnya 1/5 bagian). As-Sahm, bagian harta diluar 1/5 yang merupakan hak rasul. Sebagai contoh dalam perang Hunain pasukan muslim mendapat tawanan perang sebanyak 6000 orang, 24.000 ekor unta, 40.000 ekor kambing dan domba, persenjataan perang, tanah perkebunan, dan berbagai harta rampasan lainnya. Dari seluruh harta ghanimah tersebut 1/5 bagiannya menjadi hak rasul saw.
Namun, Nabi saw tidak menggunakan harta yang melimpah ruah tersebut untuk memperkaya diri, melainkan untuk filantropi. Nabi SAW pernah menerima 90.000 dirham kemudian beliau membagikannya sampai habis kepada masyarakat yang kurang mampu. Harta dalam perang Hunain yang menjadi hak beliau juga semuanya ia sedekahkan kepada fakir miskin. Di akhir hayatnya nabi Muhammad tidak meninggalkan warisan harta untuk anak-istrinya. Ia masih memiliki sisa uang 7 dinar yang segera disedekahkan.
Memiliki Visi Jangka Panjang :
Prinsip visi jangka panjang adalah hal yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Dalam pengambilan keputusan bisnis, ini mencakup melihat dampak jangka panjang dari keputusan yang diambil, bukan hanya fokus pada keuntungan jangka pendek. Ketika beliau menikah dengan Khadijah dan terus mengelola perdagangannya, maka status beliau naik menjadi business owner. Ketika usia beliau menginjak pertengahan 30-an, beliau menjadi seorang investor dan mulai memiliki banyak waktu untuk memikirkan kondisi Masyarakat. Pada saat ini beliau sudah mencapai kebebasan uang (financial freedom) dan waktu.
Ketika pemuda sukses Quraish seusianya banyak menghabiskan waktu untuk menumpuk kekayaan, berlomba mengejar kedudukan, memperbanyak istri dan keturunan, maka Muhammad justru mengambil visi yang berbeda. Beliau mulai sering menyendiri (uzlah) ke gua Hira’. Hal ini terus beliau lakukan sampai kemudian mendapat wahyu pertama. Sejak itulah beliau memulai periode baru dalam hidupnya sebagai seorang rasul utusan Allah SWT.
Inspirasi dari kewirausahaan Nabi Muhammad SAW menawarkan konsep tata kelola bisnis yang lebih dari sekadar mencari keuntungan finansial. Nilai-nilai moralitas, keadilan, tanggung jawab sosial, dan keberanian dalam berwirausaha adalah pondasi yang kuat untuk membangun bisnis yang berkelanjutan, berkualitas, dan memberikan manfaat luas bagi masyarakat. Dengan merenungkan ajaran dan praktek beliau, kita dapat menciptakan lingkungan bisnis yang lebih etis dan berdampak positif bagi semua pihak yang terlibat.
Dengan kata lain, tata kelola usaha yang menekankan moralitas bukanlah sekadar strategi, melainkan merupakan esensi dari setiap langkah yang diambil dalam dunia bisnis. Inspirasi dari praktik kewirausahaan Nabi Muhammad menawarkan pandangan yang mendalam tentang bagaimana etika, moralitas, dan integritas dapat menjadi landasan bagi sebuah perusahaan yang berkelanjutan dan memberikan dampak yang berarti bagi masyarakat.
Ajaran dan praktik Nabi Muhammad dalam bisnisnya menunjukkan bahwa nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab sosial, dan visi jangka panjang bukanlah sekadar slogan, melainkan prinsip yang terwujud dalam setiap tindakan dan keputusan bisnis. Menyelaraskan bisnis dengan nilai-nilai moralitas ini bukanlah hal baru, melainkan telah menjadi pijakan yang ditanamkan secara kuat oleh beliau dalam melakukan perdagangan dan interaksi bisnisnya.
Melangkah ke dalam masa lalu yang gemilang ini memberikan kita wawasan yang berharga. Praktik-praktik yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dalam tata kelola bisnisnya bisa menjadi pedoman bagi perusahaan modern untuk membangun fondasi yang kokoh, yang tidak hanya menghasilkan keuntungan, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial, etis, dan berkelanjutan.
Referensi
- Antonio, Muhammad Syafii, (2007). The Super Leader Super Manager.
- Mukhlas, A. A., & Gresik, S. A. A. M. (2020). Manajemen Bisnis Rasulullah. Jurnal Al-Iqtishod, 8(1), 46-52.
- Yahya, A. B. (2020). Etika Bisnis (Perilaku) Bisnis Rasulullah SAW Sebagai Pedoman Berwirausaha. Jurnal Masharif al-Syariah: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah, 5(1).