Ada garis pengukur obyektif untuk setiap kebaikan, keindahan dan bagaimana keadaan yang membahagiakan. Untuk menetapkan jawaban tepat atas permasalahan tersebut dibutuhkan pengenalan diri. Tapi kebanyakan orang tidak mengenal dirinya sendiri, dan karena itu kemungkinan tidak tahu kebahagiaan yang sejati. Hampir semua agama besar di sepanjang sejarah menyampaikan tentang kenyataan ini.
Basudewa Krishna dalam Mahabharata menyampaikan, agar bisa menemukan jawaban atas problematika hidup maka seseorang harus mengenal dan memahami dirinya sendiri. Dengan mengenal diri sendiri maka semua pertanyaan kehidupan akan bisa terjawab. Untuk bisa mengenal diri seseorang harus memiliki kebenaran. Untuk mengetahui kebenaran, ada lima dasar yang harus difahami yaitu: Pengetahuan, Cinta, Keadilan, Pengabdian dan Kesabaran. Manusia dilahirkan ke dunia untuk mendapatkan lima dasar kebenaran universal ini, namun untuk meraihnya diperlukan upaya yang sungguh-sungguh.
Budhisme memiliki kesamaan pandangan dasar dengan pendekatan Biologis tentang kebahagiaan, yakni Bahagia merupakan hasil dari proses-proses yang terjadi dalam tubuh seseorang, dan bukan dari peristiwa-peristiwa di dunia luar. Meski demikian konklusinya sangat berbeda dengan para ahli Biologi tersebut. Menurut Budhisme, akar penderitaan bukanlah perasaan sakit, kesedihan, atau ketidakbermaknaan. Sebab sesungguhnya dari penderitaan adalah pengejaran tanpa akhir dan tanpa makna perasaan-perasaan kekekalan, yang menyebabkan Anda terus berada dalam kondisi tegang, gelisah dan kecewa. Karena pengejaran ini, pikiran tidak pernah merasa puas. Bahkan ketika mengalami sebuah momen kesenangan, itu tetap bukanlah kebahagiaan. Sebab bersamaan dengan itu muncul kekhawatiran perasaan senang akan segera hilang, dan bernafsu agar perasaan itu terus ada dan membesar.
Perumpamaannya seperti orang berdiri di pantai yang berusaha memeluk ombak-ombak yang bagus dan berupaya mencegahnya terpecah, sambil secara simultan menyibakkan ombak-ombak yang jelek dan mencegahnya agar tidak mendekat. Hari demi hari berlalu dengan kesibukan seperti itu membuat dirinya menjadi gila dengan upaya sia-sia. Akhirnya dia terduduk di atas pasir dan membiarkan saja ombak datang dan pergi sesukanya. Alangkah damainya..!. Begitu Anda berhenti bernafsu pada perasaan-perasaan tertentu, Anda bisa menerimanya sesuai dengan tujuannya yang hakiki. Anda hidup dalam masa sekarang, bukan berfantasi tentang apa yang seharusnya terjadi di masa datang.
Anthony de Mello menyarankan untuk sering mengamati diri sendiri. Mengamati diri tidak sama dengan ‘sibuk dengan diri sendiri’. Sibuk dengan diri sendiri berarti terserap atau terpaku pada diri dan cemas pada diri sendiri. Mengamati diri berarti meneliti segala sesuatu yang terjadi di dalam diri Anda dan sekeliling Anda seluas mungkin dan mengamatinya seakan-akan hal itu terjadi pada orang lain. Anda tidak melibatkan diri dengan kejadian yang terjadi pada diri Anda. Anda memandang seakan akan tidak memiliki hubungan dengan kejadian itu.
Hal yang membuat menderita karena Anda mengidentifikasi diri dengan perasaan Anda. Stress dan kesenangan merupakan ilusi pemikiran yang semu, tidak identik dengan Anda. Perasaan itu mungkin saat ini hadir dalam diri, tetapi tunggulah beberapa saat, keadaan akan segera berubah dan terus berubah, tidak akan abadi. Seperti awan yang datang dan pergi, ada awan yang hitam ada yang putih, ada yang besar ada yang kecil. Anda ibarat langit yang luas yang sedang mengamati awan-awan yang datang dan pergi. Tidak perlu melibatkan diri, jangan ‘membereskan’ apapun, cukup Amati! Perhatikan dengan teliti!.
Mengamati diri sendiri merupakan hal yang sangat menyenangkan dan luar biasa. Setelah beberapa waktu, pada saat ilusi-ilusi mulai terkuak. Anda mulai berhadapan dengan hal-hal yang tidak dapat diuraikan dengan kata-kata. Hal itu bernama kebahagiaan. Segala sesuatu berubah dan Anda mulai akan kecanduan dengan penyadaran (Awareness). Seseorang yang diliputi oleh kesadaran akan mengenal dirinya sendiri, mereka akan lebih sedikit bereaksi dan lebih banyak beraksi. Menjadi lebih bersemangat, hidup menjadi bergairah.
Semua penderitaan disebabkan karena Anda mengidentifikasi diri dengan sesuatu, baik yang ada di dalam maupun di luar diri Anda. Budha memberikan rekomendasi agar menghentikan tidak hanya pengejaran pencapaian-pencapaian eksternal, tetapi juga pengejaran perasaan-perasaan dalam hati. Sebagian besar orang salah mengidentifikasi diri dengan perasaan-perasaan mereka, pikiran-pikiran mereka, kesukaan dan ketidaksukaan. Akibatnya mereka menghabiskan hidup untuk menghindari jenis-jenis perasaan tertentu, dan memerangkap mereka dalam penderitaan. Kunci kebahagiaan adalah mengetahui kebenaran tentang diri sendiri, untuk memahami siapa atau apa sesungguhnya Anda.
Menuntut banyak kesadaran untuk memahami bahwa mungkin kenyataan yang Anda sebut ‘Saya’, itu hanyalah sekedar tumpukan pengalaman masa lalu, pengondisian yang dialami atau program-program yang dimasukkan ke dalam mindset Anda. Gelar, profesi, kedudukan, kekayaan, nama baik, agama, pandangan politik dll juga seringkali melekat dan seolah menjadi jati diri. Padahal semua itu sebenarnya seperti pakaian, yang sama sekali tidak berpengaruh pada diri Anda yang sesungguhnya. Ketika seseorang memuji atau mencaci sesungguhnya sedang bereaksi pada pakaian-pakaian, bukan jati diri Anda, jadi tidak perlu merasa terganggu.
Bila Anda hidup bukan untuk sesuatu, Anda dapat mengerahkan seluruh kemampuan. Anda merasa tidak tegang, tapi santai. Anda tidak peduli apakah menang atau kalah, pikiran Anda melampaui itu semua. Kebahagiaan yang langgeng dan sejati adalah kebahagiaan yang tidak bersebab. Kebahagiaan merupakan keadaan diri Anda yang alami. Anda tidak perlu melakukan apapun untuk memperolehnya, karena kebahagiaan bukan sesuatu yang perlu diusahakan. Karena sejatinya kebahagiaan sudah ada dalam diri kita masing-masing. Untuk bisa merasakan dan mengalami kebahagiaan, Anda harus melepaskan ilusi-ilusi. Hidup terasa sulit jika dikuasai oleh ilusi, ambisi, keserakahan dan oleh kebutuhan Anda yang mencekam. Itu semua bisa muncul karena Anda mengidentifikasi diri dengan segala macam label yang Anda lekatkan pada diri Anda.
Para sufi menyebut kondisi jiwa seperti ini dengan zuhud. Prinsip hidupnya, laa yamliku syai’an wa laa yamlikuhu syai’un, Tidak merasa memiliki atau dimiliki oleh sesuatu. Jiwanya bebas dan merdeka dari segala kelekatan dengan hal-hal yang bersifat eksternal (label, profesi dll) maupun internal (ego, perasaan dll). Melalui zuhud, cermin hati dicuci sebersih-bersihnya hingga mengkilat. Di cermin itulah bayangan kehendak Tuhan dan rahasia penciptaan akan dapat terbaca dengan sangat jelas. Sehingga manusia bisa mengenali rahasia dirinya yang sejati, dan hatinya akan selalu rela (ridha), terliputi dengan kebahagiaan yang mendarah daging.
Hidup itu sederhana, mudah dan penuh kegembiraan. Seorang yang ridha, seperti bayi yang bisa menangis dan tertawa lepas, semua manusia akan bersamanya dengan pandangan dengan penuh cinta.
Link Terkait: