Kebahagiaan ternyata bukanlah surplus momen kesenangan atas momen tidak menyenangkan, namun kebahagiaan terdiri dari pemandangan kehidupan secara menyeluruh sebagai hal yang bermakna dan berharga. Daniel Kahneman, pemenang Nobel Ekonomi memberikan ilustrasi pekerjaan mengasuh anak. Secara rasional, merawat anak penuh dengan momen kurang menyenangkan dan membosankan, seperti mengganti popok, mencuci bekas ompol, bangun tengah malam, mengatasi gejala tantrum dll. Alih-alih merasa diri sebagai ‘budak’ yang menderita bagi ‘bayi’ diktator, sebagian besar orang tua justru menyatakan anak-anak mereka adalah sumber utama kebahagiaan. Mereka ingin menjadi pengasuh penuh cinta bagi makhluk hidup baru.
Sebuah kehidupan yang bermakna bisa sangat memuaskan bahkan saat berada di tengah kesulitan. Kehidupan tanpa makna bagaikan siksaan, betapapun kondisinya sangat nyaman. Para Ibu mendapatkan makna hidup dalam perjuangannya mengandung dan melahirkan. Ilmuwan merasakan makna hidup karena dia meningkatkan tumpukan pengetahuan. Tentara mendeklarasikan makna kehidupannya sebab dia berjuang untuk membela negara dan kebenaran. Demikian juga profesi lainnya, mereka menemukan makna dalam membaca kitab suci, membangun perusahaan, melahirkan karya seni dll.
Kemampuan manusia untuk memberi makna atas kehidupan yang Ia jalani bisa melahirkan spiritualitas. Kecintaan kepada Tuhan, alam, sesama manusia, diri sendiri, negara atau bahkan dunia merupakan wujud pengejawantahan dari spirit jiwa, yakni sikap moral yang dipandang luhur oleh sang pelaku. Ia mampu memaknai seluruh fenomena yang dialami dalam kerangka rasa syukur, berpikir positif, optimis dan berbesar hati. Tokoh sufi, Rumi berujar dalam puisinya:
Karena cinta tembaga berubah menjadi emas
Sebab cinta, ampas menjadi anggur murni
Lewat cinta, pengemis menjadi raja
Melalui cinta, derita menjadi bahagia
—– 0 —–
Siklus kehidupan modern yang memfokuskan dirinya pada efisiensi, produktivitas, akumulasi kekayaan ataupun sekedar survivalitas menyebabkan munculnya krisis makna. Teknologi juga turut berperan dalam erosi spiritualitas masyarakat. Salah satu cirinya adalah selalu menginginkan solusi cepat dan instan atas segala permasalahan hidup. Pemecahan berbagai persoalan hidup secara berproses, bertahap dan mendalam di level-level prilaku, perasaan maupun nilai-nilai tampaknya kurang menjadi fokus dunia modern.
Contohnya, solusi kegemukan adalah dengan obat kimiawi mujarab yang bisa menurunkan BB 10 kg dalam sebulan, bukan dengan mengubah pola makan dan olahraga yang teratur. Penanganan masalah stress adalah dengan prozac atau obat penenang lainnya, bukannya mencoba mengendalikan sebab-sebab depresi dengan mengubah secara perlahan mindset sang penderita. Pemecahan kesulitan menjalin hubungan cinta yang menuju pernikahan adalah dengan menawarkan sex bebas, tidak dengan melatih keterampilan emosi dan spiritual sehingga mampu memahami serta membina hubungan yang harmonis dengan pasangan hidupnya.
Berbagai problematika hidup sesungguhnya adalah bentuk pendidikan dari Tuhan bagi manusia untuk mencapai makna dalam kehidupan mereka masing-masing. Salah satu cara dalam pencarian makna ini adalah selalu mencoba memformulasikan misi hidup. Misi sebaiknya adalah sesuatu yang bersifat ideal dan imaterial dan semestinya lebih tinggi dari seluruh bayangan masa depan yang bisa dicapai oleh masa kini Anda. Misi memberikan komitmen dan kesungguhan, juga memberikan makna pada aktivitas kehidupan.
Manusia modern memerlukan waktu-waktu khusus untuk menggairahkan kembali spiritualitasnya. Ciptakan ruangan di rumah Anda, di alam terbuka maupun di tempat favorit lainnya, yang dapat berfungsi sebagai tempat tinggal landas menuju ‘ketakterbatasan’, atau sebagai pusat pengembangan ruhani. Anda bisa menjelajahi tema eksistensi diri dan larut dalam doa, kontemplasi serta perenungan mendalam.
Howard Gardner, psikolog kenamaan, menyebut kemampuan jenis ini sebagai kecerdasan Eksistensial, yaitu kecerdasan yang menaruh perhatian pada masalah hidup yang paling utama. Intinya dapat dirumuskan ke dalam 2 bagian penting:
- Menempatkan diri sendiri dalam jangkauan wilayah kosmos kehidupan semesta.
- Menempatkan diri sendiri dalam ciri manusiawi yang paling eksistensial, seperti: makna hidup, makna kematian, keberadaan akhir dari dunia jasmani dan jiwa, pengalaman batin seperti welas asih dll.
Kecerdasan eksistensial lebih bersifat integral, terutama bila menilik kemampuannya untuk merambah ke hampir semua profesi maupun segi kehidupan. Kehidupan banyak menyimpan peristiwa tak terduga yang merangsang dimensi eksistensi dalam diri. Ada hal tertentu yang dapat Anda lakukan untuk menciptakan suatu ruang atau lingkungan yang dapat menjamin tumbuh kembangnya kesadaran eksistensial, sehingga berbagai tantangan yang menghadang hidup-pun dapat Anda manfaatkan untuk kebaikan.
Kepasrahan
Dalam memaknai hidup, seseorang membutuhkan delusi baik secara personal maupun kolektif yang bisa meyakinkan diri bahwa hidupnya bermakna, serta berharap menemukan kebahagiaan dalam keyakinannya itu. Tapi delusi diri semacam ini tidak selamanya tepat. Diperlukan kebijaksanaan dalam memaknai kehidupan. Untuk mencapai itu dibutuhkan kepasrahan diri secara total.
Seseorang yang telah menyelami kesabaran dalam hidup maka telah sampai di gerbang kepasrahan. Mindset pasrah adalah terputusnya kecenderungan hati kepada selain Tuhan, dalam istilah agama disebut dengan tawakal. Seorang yang telah bertawakal, menyerahkan segala urusan hidupnya kepada Allah, tidak akan ada keraguan dan kemasygulan tentang apapun yang menjadi keputusan-Nya.
Jiwa yang dalam kondisi berserah akan merasakan ketenangan dan ketentraman, merasa mantap dan optimis dalam bertindak, serta mendapatkan kekuatan spiritual. Kepasrahan jika diukur dengan alat Kinesiology memiliki power (kekuatan dalam diri) yang tinggi. Bila Anda merasakan kepasrahan, lalu kekuatan (power) otot-otot Anda dideteksi dengan perangkat elektrik maka akan menunjukkan level power di atas 400, dalam skala 1-1000. Sebagai pembanding, semangat yang membara memiliki power di level 200.
Agar bisa memiliki sikap pasrah, maka kita perlu belajar untuk keluar dari gelapnya keinginan ‘mengatur diri’ menuju terangnya sikap ‘penyerahan urusan kepada Tuhan’, hingga dapat menyaksikan bahwa diri ini diatur dan tidak turut mengatur, ditentukan dan tidak ikut menentukan, serta digerakkan dan tidak bergerak sendiri. Begitu pemahaman tinggi ini diperoleh maka kehidupan akan menjadi sangat efektif dan efisien, tidak ada waktu yang terbuang untuk mengerjakan hal-hal yang tidak relevan.
Model kepasrahan seperti ini tidak perlu dicap sebagai bentuk kepasifan dalam hidup. Ada sebagian orang yang memahami tawakal sebagai tidak berbuat apapun, berhenti bekerja, dan bahkan meninggalkan doa karena merasa telah menyerahkan semuanya pada kehendak Tuhan. Sikap semacam ini bukan tawakal namanya, tapi menyia-nyiakan karunia Allah dan merasa sok tahu tentang rahasia takdir-Nya. Dari segi cara hidup (ikhtiar), baik orang yang tawakal ataupun orang yang ‘tidak berserah’ nyaris tiada bedanya. Yang membedakan adalah mindsetnya, yaitu cara mereka memandang, merasai dan menyikapi kehidupan.
Mindset ‘tidak ikut mengatur’ bersama Allah, membuahkan sikap mental sebagai berikut:
- Tidak risau akan sarana-sarana penghidupan.
Sikap ini penting agar hidup tidak tertekan oleh perasaan cemas, khawatir, gundah dan gelisah. Ia meyakini segalanya akan dicukupi oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
…Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (At Talaq : 3)
- Tidak menggantungkan diri pada upaya.
Sikap mengandalkan hasil akhir pada usaha seringkali menyebabkan frustasi, putus asa, perasaan terpuruk ketika menemui kendala, kegagalan, atau hasil akhir yang tidak sesuai dengan harapan.
- Rela menerima kenyataan.
Kecewa, kesal, tidak puas atas kejadian yang menimpa hanya akan menguras energi yang sebenarnya bisa dialihkan untuk hal lain yang lebih positif.
- Optimisme Hidup.
Bersandar kepada Allah dan yakin bahwa Dia selalu memberikan yang terbaik bisa melipatgandakan rasa optimisme, terlepas dari betapa buruk hal-hal yang menimpa Anda di mata orang lain. Anda menjadi terbebas dari penjara keterbatasan, merasa lapang sekalipun dikepung oleh berbagai kemustahilan, serasa menjadi pemenang dalam hidup selamanya. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى
Aku sesuai persangkaan hamba-Ku kepada Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. (HR. Bukhori dan Muslim)
Link Terkait