Pertanyaan: Bolehkah kita bermakmum padahal bacaan imamnya tidak fasih Prof ? (Anhar)
Waalaikum salam wr.wb Pak Anhar.
Apa yang panjenengan sampaikan memang seringkali terjadi di masyarakat, yaitu imam yang kurang fashih bacaan Al Qur’annya.
Imam berasal dari akar kata أم – يؤم – إماما yang bermakna pemimpin, dalam konteks shalat merupakan sebutan bagi seseorang yang berada di barisan paling depan dan memimpin shalat berjamaah. Nabi saw memberikan panduan dalam memilih imam shalat, melalui sabdanya:
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ،
Yang paling berhak menjadi imam suatu kaum adalah yang paling pandai dalam membaca Al Quran… (HR. Muslim)
ﷺ: لِيُؤَذِّنْ لَكُمْ خِيَارُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ قُرَّاؤُكُمْ
“Hendaknya yang melaksanakan azan adalah orang terpilih di antara kalian dan yang menjadi imam orang paling fasih bacaannya di antara kalian.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Yang berhak menjadi imam shalat adalah orang yang paling fasih bacaan Al-Qur’annya. Pemahaman secara harfiah ini dianut oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat lain, makna ’aqra’uhum’ dalam hadits di atas yaitu yang lebih memahami hukum Islam, sebab fungsi imam adalah memimpin prosesi ibadah shalat, sehingga yang paling menguasai hukum islamlah yang paling berhak menjadi imam. Oleh karena itu, Rasulullah saw lebih mengutamakan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat menggantikan beliau ketika sedang sakit, padahal menurut beliau sendiri, sahabat yang paling bagus bacaan al Qur’annya adalah Ubay bin Ka’ab.
Para ulama sepakat menyatakan bahwa bacaan ayat-ayat al Qur’an dari seorang imam yang memimpin shalat haruslah baik dan benar. Jika bacaannya keliru, khususnya surah al Fatihah, maka shalat yang dipimpinnya menjadi tidak sah.
Apabila terjadi dalam shalat berjamaah bacaan imam kurang fasih, maka:
- Apabila tidak fasihnya itu dalam bacaan Al-Fatihah maka shalatnya makmum yang sama-sama tidah fasih hukumnya sah.
- Jika bacaan al Fatihah imam tidak sesuai standar tajwid karena faktor lisan yang cedal dan sampai mengubah susunan huruf bahkan mengubah terhadap makna dari bacaan, seperti membaca dhommah atau kasroh pada ta’nya kata an’amta, atau shiratal mustaqin (nun bukan mim), maka tidak boleh (tidak sah) bagi orang yang bacaan al-Qur’annya benar untuk bermakmum pada imam tersebut.
- Apabila tidak fasihnya itu di selain bacaan al-Fatihah, maka shalatnya imam dan makmum sah, tetapi hukumnya makruh apabila orang yang fasih bermakmum pada imam tersebut.
Idealnya seorang imam adalah yang paling baik bacaan al Quran-nya khususnya Al-Fatihah. Namun dalam keadaan tidak ideal, maka sebagian ulama membolehkan secara mutlak, khususnya dalam shalat sirriyah, semisal shalat Ashar dan Dhuhur.
Apabila terjadi shalat di belakang imam yang keliru bacaannya (al Fatihah), tindakan yang paling maslahat bagi makmum adalah tetap mengikuti shalat di masjid dengan imam yang bacaannya keliru, namun shalatnya ia niati shalat sendirian, bukan niat berjamaah pada imam tersebut. Praktik shalat sendirian tanpa niat berjamaah namun tetap menyesuaikan gerakan imam ini disebut dengan istilah iqtida’ shuratan.