Akhir-akhir ini fenomena tentang dunia mistik sering menjadi trending topik. Peningkatan minat terhadap hal-hal supranatural bisa dilihat dari maraknya acara TV tentang misteri maupun konten-konten di media sosial tentang sesuatu yang gaib. Di era digital sekarang, media sosial menjadi dorongan yang kuat dalam mempopulerkan tren pencarian tema tersebut. Platform seperti Youtube, Instagram, dan TikTok dipenuhi dengan konten yang memperlihatkan berbagai aspek dunia supranatural. Video-video singkat yang menampilkan pengalaman paranormal, ritual mistis dan lain sebagainya viral dengan cepat, sehingga dalam hitungan hari bisa menarik jutaan penonton.
Algoritma media sosial dirancang untuk mempertahankan keterlibatan pengguna turut berperan dalam fenomena ini. Begitu seseorang menunjukan minat pada konten terkait hal gaib, algoritma akan terus menyajikan konten serupa, menciptakan semacam “echo chamber” dimana seseorang hanya menemukan informasi atau opini yang memperkuat kepercayaan dan rasa ingin tahu mereka. Tanpa filter yang memadai, konten sensasional seringkali lebih menarik perhatian dibandingkan penjelasan ilmiah atau rasional. Yang mengakibatkan tren pencarian hal gaib terus berkembang, didorong oleh algoritma yang tidak mengenal lelah dan keinginan manusia akan misteri dan keajaiban.
Di tengah maraknya pencarian hal-hal gaib, muncul sebuah gagasan yang mungkin terdengar sederhana namun mempunyai kedalaman luar biasa yakni pengenalanmu terhadap dirimu sendiri”. Ini jauh lebih penting dan berharga untuk dicari dan dieksplorasi. Pandangan ini bukanlah hal baru, visi ini telah disampaikan oleh para bijak bestari sepanjang sejarah, mulai dari filosof Yunani kuno Socrates hingga sufi muslim seperti ibnu Atha’illah As-Sakandari.
Mengenal diri sendiri terdengar kurang menarik dibandingkan dengan mencari sesuatu yang berkekuatan supranatural. Namun jika direnungkan lebih dalam, Know my self merupakan kunci untuk membuka potensi terbesar dalam hidup kita. Mengenal diri adalah kompas internal yang membimbing kita menuju kehidupan yang lebih bermakna dan terpenuhi. Berbeda dengan pencarian hal-hal gaib yang seringkali mengandalkan faktor eksternal dan tidak pasti.
Mengenal diri merupakan perjalanan ke dalam batin yang bisa memberikan hasil yang nyata dan bertahan lama. Proses ini adalah proses kehambaan. Manusia harus dapat meninjau dirinya dahulu kata para filsuf, sebab dalam diri manusia terdapat kekuatan yang tidak terbatas. Mengenal diri membuka pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tetang hubungan kita dengan sesama dan dengan Allah SWT, seperti yang sering dikatakan dalam tradisi spiritual “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya”. Ini bukan sekedar ungkapan puitis melainkan petunjuk praktis bahwa pemahaman diri yang mendalam bisa membawa kita pada pemahaman spiritual yang lebih tinggi.
Pesan Ibnu Ayhaillah tentang Pengenalan Diri
Ibnu Atha’illah lahir di kota Iskandariah, Mesir. Beliau dilahirkan sekitar tahun 658 H, dan wafat pada tahun 709 H serta dimakamkan di pemakaman al-Qarrafah al-Kubra. Keluarga Ibnu Athaillah merupakan keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama. Kakek dari jalur ayahnya seorang ulama fiqih ahlul hadits pada masanya. Kota Iskandariah pada masa itu terkenal sebagai pusat ilmu di semenanjung Mesir, karena banyak ulama dalam bidang ushul, hadits, fiqih, ilmu-ilmu bahasa Arab, dan tentunya banyak tokoh tasawuf dan para orang soleh (Sunnatulloh 2021).
Ibnu Atha’illah As-Sakandari seorang ulama pakar tasawuf di zamannya. Dua guru sufi yang berpengaruh besar terhadapnya dalam mempelajari ilmu tasawuf yaitu Syekh Abu Abbas Ahmad Ibn Umar Ibn Muhammad al Mursi dan Syekh Abu Hasan Ali Ibn Abdillah As Syadzili. Ibnu Atha’illah termasuk ulama yang produktif, banyak sekali karya yang dihasilkannya dalam bidang tasawuf, tafsir, ushul fiqh, Aqidah, hadits, dan nahwu. Karyanya yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Al-Hikam ditulis sebagai refleksi atas pengalaman pengahayatan spiritual penulisnya. Kitab ini terjaga dan terus dikaji selama ratusan tahun, kedalaman maknanya terus digali melalui sejumlah karya komentar (syarh) yang berusaha mengelaborasikan kekayaan maknanya.
Al-Hikam merupakan sebuah kitab yang diperuntukan bagi para salik, didalamnya berisi panduan untuk menempuh jalan spiritual. Kitab ini berisi kumpulan mutiara nasihat yang cemerlang untuk meningkatkan kesadaran spiritual, tidak hanya untuk salik yaitu murid-murid tasawuf, tetapi juga untuk masyarakat umum. Dalam pembahasannya kita diajak untuk menyelami isi kandungan hakikat supaya hidup menjadi bermakna, tentram dan indah (Syihabuddin 2022).
Kitab al-Hikam mengandung beberapa ajaran penting tentang pengelolaan diri, salah satunya beliau menekankan bahwa pengenalan diri adalah kunci untuk memahami hakikat kehidupan dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Salah satu nasihat terkenal beliau berbunyi “Ada yang lebih penting dari mengetahui barang gaib, yakni mengetahui dirimu sendiri”. Kita memahami diri kita sendiri itu lebih penting dari pada kita berusaha memahami barang gaib. Ungkapan ini menjadi air penyejuk di padang pasir spiritual. Disaat banyak manusia berlomba-lomba mencari pengetahuan tentang hal-hal yang berada di luar jangkauan panca indra, beliau justru mengajak kita untuk melakukan perjalanan ke dalam diri sendiri. Mengenal diri sendiri, bukanlah sekedar intropeksi dangkal. Hal ini adalah sebuah proses penggalian spiritual yang mendalam, dimana seseorang berusaha memahami esensi keberadaanya, motivasi hidup terdalamnya, dan hubungan dengan Sang Pencipta. Dalam pandangan sufi, diri manusia merupakan mikrokosmos yang mencerminkan makrokosmos alam semesta. Dengan mengenal diri, seseorang sebenarnya sedang membuka pintu untuk megenal rahasia alam semesta dan Penciptanya (Athaillah, n.d.)
Nasihat ini menyiratkan bahwa pencarian akan hal-hal gaib seringkali menjadi pengalihan dari tugas spiritual yang sebenarnya. Ibnu Atha’illah mengajak kita untuk menggali kekayaan spiritual yang sudah ada dalam diri kita sendiri. Proses ini adalah proses yang lebih sulit, akan tetapi lebih berharga, sebab hasilnya merupakan pemahaman sejati tentang diri dan tujuan hidup kita. Beliau juga sering mengkaitkan pengenalan diri dengan pengenalan terhadap Allah SWT, seperti dalam ungkapan sufistik yang berbunyi: من عرف نفسه، فقد عرف ربّه Yang artinya: “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.” Maksud dari ungkapan tersebut adalah kalau kamu sudah menyadari bahwa dirimu itu tidak ada baru kamu mengenal Aku.
Mengenal diri maksudnya menyadari bahwa sebenarnya diri kita itu tidak ada, diri kita itu tidak penting, kita itu cuma peran. Jadi kita jangan menyalahartikan tentang kalimat tersebut bahkan terjebak dengan kalimat tersebut. Yang menjadikan saya hidup sementara di dunia adalah Allah SWT, parameternya saya bermanfaat atau tidak. Jadi jangan pusing sama diri, sibukan diri dengan melakukan apapun yang baik. Semakin kita mengenal diri kita, semakin kita menyadari bahwa eksistensi kita tidak ada. Jangan terjebak dengan diri sendiri, konsentrasi saja kepada Allah dan perbuatan baik.
Dalam konteks modern, kedua nasihat ini sangatlah relevan. Dimana orang mudah tergoda oleh janji-janji kekuatan supranatural atau pengetahuan esoteris, ajakan untuk kembali kepada diri sendiri menjadi penyeimbang. Dengan mengenal diri kita bisa meningkatkan kesadaran akan diri kita, dimana kesadaran diri merupakan dasar dari kecerdasan emosional dan pertumbuhan pribadi manusia. Mengenal diri mempunyai arti memahami pikiran, emosi, dan perilaku kita secara mendalam. Dalam banyaknya tradisi spiritual khususnya tasawuf dalam Islam, mengenal diri dianggap merupakan langkah penting dalam mengenal Tuhan. Pemahaman akan keterbatasan dan kelemahan dari seseorang membawa orang tersebut pada kesadaran akan keagungan Tuhan. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, kita sebenarnya hanya peran, tugas kita mengenali sifat positif dalam diri sendiri seperti kasih sayang, peduli lingkungan, atau kebijaksanaan yang dapat dipahami sebagai menifestasi sifat-sifat Ilahi dalam diri manusia.
Referensi:
Athaillah, Ibnu. n.d. “Al-Hikam.”
Sunnatulloh. 2021. “Biografi Ibnu Atha’illah, Dari Perjalanan Intelektual Hingga Karamahnya.” Bincang Syariah. 2021. https://bincangsyariah.com/khazanah/biografi-ibnu-athaillah-.
Syihabuddin, Qalyubi. 2022. “Tokoh Sufi Syekh Ibnu Atha’illah Dan Kitabnya Al-Hikam.” Uin Sunan Kalijaga. 2022. https://uin-suka.ac.id/id/kolom/detail/168/tokoh-sufi-syaikh-ibnu-athaillah-dan-kitabnya-al-hikam.