Allah menurunkan larangan praktik riba melalui beberapa tahapan. Pada awal dakwah periode Makkah (614-615 M), turun ayat yang mengindikasikan unsur negatif riba dan isyarat pengharamannya:
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ
Dan apa yang kamu berikan dari riba agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah (keberkahan) pada sisi Allah… (Ar Rum : 39)
Setelah ayat sebelumnya (30:37), menggambarkan tentang perbedaan kesejahteraan individu di kalangan masyarakat, Al Qur’an lalu memerintahkan untuk memberikan dukungan finansial bagi mereka yang lemah dan membutuhkan:
Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah… (Ar Rum : 38)
Maka ayat 39 di atas memberikan klarifikasi bahwa bantuan harus diberikan dalam basis sedekah ketimbang riba dan menyatakan bahwa mereka yang bersedekah untuk kalangan ekonomi lemah akan memperoleh imbalan berlipat ganda di dunia dan akhirat, sebagaimana bunyi teks penutup ayat.
…Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Pesan tentang riba di awal pewahyuan ini, sesuai dengan kebijaksanaan Al Qur’an. Ayat periode Makkah penuh dengan kritik pada praktik ketidakadilan ekonomi pada masyarakat Makkah saat itu. Sifat kikir, menimbun harta, curang dalam timbangan, termasuk di dalamnya praktik riba.
Tahapan selanjutnya adalah kecaman Nabi saw atas praktik riba yang biasa dilakukan oleh Yahudi, yang juga umum terjadi dalam masyarakat Arab Jahiliyah. Riba merupakan kejahatan ekonomi yang dikutuk oleh Al Qur’an karena mengeksploitasi orang-orang yang sedang mengalami kesusahan. Riba di jaman jahiliah yaitu ketika orang (dari kalangan ekonomi lemah) tidak bisa membayar hutangnya maka kreditur akan menawarkan penangguhan tapi dengan syarat penambahan pinjaman hingga 100 %, jika pada penagihan selanjutnya masih tidak bisa membayar maka dinaikkan menjadi 100 % lagi dan seterusnya. Pinjaman seekor kambing atau sejumlah uang bisa berdampak jatuh miskin akibat terlilit bunga hutang yang mencekik orang tersebut. Begitulah praktik riba yang berlipat ganda yang dilarang oleh Allah swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Ali Imran : 130)
Ayat riba ini turun pasca perang Uhud (625 M). Pada saat itu banyak syuhada yang gugur di medan perang meninggalkan janda, anak yatim dan orang tua yang berada dalam tanggungannya. Kelompok lemah ini rawan menjadi korban praktik riba di Madinah sehingga Nabi saw memerintahkan agar diberikan bantuan sebagai sedekah bukan sebagai transaksi riba. Pesan moralnya, untuk meringankan penderitaan dan memberi perhatian mendalam pada kelompok masyarakat yang miskin, serta menegaskan tanggungjawab sosial kelompok kaya atas kelompok yang lemah secara ekonomi. Al Qur’an memberi perintah zakat, sedekah dengan tulus sebagai bukti ketaqwaan, melalui ayat selanjutnya:
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit… (Ali Imran:134)
Akhirnya, larangan total riba dideklarasikan di akhir masa kenabian (630 M), melalui turunnya surah Al Baqarah (275 – 279).:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ۞ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
(278). Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
(279). Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Nabi saw berpidato di jabal Rahmah pada prosesi puncak Haji Wada’. Beliau menegaskan larangan melakukan riba dan mengawalinya dengan membatalkan praktik riba pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib. Rasulullah saw memaklumatkan perang melawan riba, praktik kejahatan ekonomi yang tidak berperikemanusiaan, karena mengambil kesempatan dan keuntungan dari kesulitan orang lain untuk kepentingannya sendiri.
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah saw melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba, pencatat riba dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama saja.” (HR. Muslim)
Sebaliknya beliau mengajarkan moralitas yang tinggi dalam rangka memperlakukan kalangan ekonomi yang lemah yaitu dengan membantu melalui pinjaman tanpa bunga atau sedekah bukan justru mengeksploitasi kelemahannya melalui praktik riba. Allah swt berfirman:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah (Ali Imran : 276)
Pinjaman tanpa bunga disebut Al Qur’an sebagai ‘qardhan khasanan’, berdasarkan keikhlasan demi mengurangi penderitaan orang-orang yang kurang beruntung di masyarakat :
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (Al Baqarah : 245)
Jika peminjam dari kalangan lemah itu mengalami kesulitan dan tidak mampu membayar hutang, maka tidak ada biaya tambahan dalam bentuk apapun yang harus ditanggung bahkan perlu diberi kelonggaran waktu dalam hal pelunasan. Tindakan yang terbaik yaitu menghapus hutang pokok sehingga bisa meringankan beban peminjam yang miskin yang tidak mampu melunasi hutangnya
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Al Baqarah : 280)
Next >> Kajian Kontekstual Riba
Referensi:
- M. Quraish Shihab, 2011, Tafsir Al Misbah : Pesan-Kesan-dan Keserasian Al Qur’an, cetakan IV, Lentera Hati, Ciputat-Tangerang
- Abdullah Saeed, 2016, Al Qur’an Abad 21 : Tafsir Kontekstual, trj. Ervan N, Mizan Pustaka, Bandung