Dalam perkawinan Islam dikenal sebuah doktrin kafa’ah, yaitu suatu nilai kesetaraan derajat yang mesti menjadi pertimbangan ketika seseorang akan menikah dengan laki-laki atau wanita. Banyak pihak berargumen bahwa ajaran itu didasari oleh hadis Nabi yang mengatakan bahwa wanita dinikahi kerena empat hal, yaitu: karena ia cantik, kaya, mempunyai nasab baik, dan beragama (salihah).
Banyak tafsir seputar masalah itu dalam rangka meneguhkan bahwa apa yang ditunjukkan oleh Nabi tersebut merupakan landasan bahwa kafa’ah (kesetaraan) berdasarkan empat hal itu adalah ajaran Islam. Akan tetapi, menurut saya, hadis itu tidak melegitimasi hal itu, melainkan justru sebaliknya, karena sesungguhnya hadis berkaitan dengan hal tersebut tidak sampai di situ. Dalam klausul lanjutannya terdapat penekanan bahwa hendaklah setiap muslim menikahi wanita karena keagamaannya.
Dengan demikian, jika dipahami utuh hadis tersebut justru tidak melegitimasi masalah kafa’ah, melainkan justru ingin menghilangkan sekat-sekat itu melalui penekanan terhadap aspek agama. Banyak hadis beliau yang menunjukkan bahwa Islam sesungguhnya tidak ingin melanggengkan sekat-sekat itu, seperti sebuah sabdanya yang mengatakan bahwa budak kulit hitam lebih baik jika ia beriman di samping tentunya penegasan firman Allah bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa.
Dan, dalam rangka mengaplikasikan nilai-nilai itu, lantas dinikahkan anak angkatnya dengan seorang wanita bernama Zainab yang merupakan bangsawan di Madinah. Namun, sepertinya niat Nabi itu mendapatkan penentangan, karena Zainab merasa tidak sepadan dengan anak angkat Nabi itu, sehingga perkawinan di antara keduanya tidak berlangsung lama. Meskipun dari perceraian itu, kemudian turun ayat yang menegaskan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung sebagaimana dipraktikkan di dunia Arab sebelumnya. Konsekuensinya, anak angkat tetap dinasabkan kepada ayah aslinya. Di samping itu, ia tidak bisa menerima waris dan tidak bisa menyebabkan hubungan kemahraman.
Terlepas dari lahirnya ajaran baru sebagai akibat keengganan Zainab untuk menerima anak angkat Nabi sebagai suami, gagalnya ikatan perkawinan mereka bukan disebabkan ajaran Islam–yang menurut dugaan sejumlah ulama–berkaitan kafa’ah, namun lebih didasarkan pandangan orang-orang Islam (Arab) ketika itu bahwa seorang wanita tidak boleh menikah dengan sembarangan orang, meskipun pihak laki-laki bisa menikah dengan siapa saja, termasuk memelihara budak yang sangat banyak. Oleh sebab itu, menurut saya, sangat tidak tepat jika doktrin kafa’ah diderivasi dari hadis Nabi, karena dalam masalah itu sepertinya adatlah yang sangat dominan.
Dalam perkembangan Islam selanjutnya, dominasi adat tersebut tampaknya tidak hilang, tapi justru kemudian mendapatkan justifikasi dari sahabat dan mujtahid di kemudian hari. Hal itu, terlihat jelas dari pendapat Imam Malik dalam al-Kafi li Ahl al-Madinah, bahwa seorang wanita dari kalangan bangsawan menikah dengan orang yang tidak sekufu (tidak sederajat) wali berhak menuntut pembatalan perkawinan. Apa yang dikemukakan Imam Malik tersebut dimana salah satu pilar ijtihadnya adalah Amal Ahl al-Madinah, sangat logis mengingat praktik seperti itu masih tetap hidup di kalangan masyarakat sekitarnya sehingga baginya hal itu bisa dijadikan dalil dalam rangka melegimitasi kafa’ah itu. Hal ini, berbeda dengan Abu Hanifah melalui doktrin kebebasan memilih bagi wanita rasyidah (cerdas atau bisa berpikir) bisa menikah dengan siapa saja selama ia menghendakinya. Ijtihadnya itu didasarkan sebuah analogi kepada kebebasan berkehendak bagi wanita dalam membelanjakan hartanya termasuk melakukan akad jual beli dan transaksi lainnya. Menurutnya, jika dalam hal itu bisa bertindak sendiri kenapa tidak dalam perkawinan yang dalam praktiknya juga berupa sebuah akad. Itulah landasan pendapatnya dalam soal itu, meskipun sesuai zamannya, juga sepertinya tidak bisa lepas dari doktrin kafa’ah itu.
Berdasarkan hal itu, sebenarnya siapa yang paling berkepentingan dengan kafa’ah? Laki-laki secara fitrah jelas tidak (terlalu) berkepentingan dengan masalah itu, karena dengan siapa saja ia bisa setara (sekufu) selama perempuan yang akan dinikahinya bersedia. Namun, bagi sejumlah wanita pertimbangan sekufu itu sepertinya sangat penting, baik yang masih dianggap tradisional maupun yang sudah moderen termasuk aktivis perempuan sekalipun.
Hal ini bisa terjadi, karena–meskipun di kalangan kaum hawa terdapat upaya untuk berdiri sejajar dengan kaum laki-laki–mindset laki-laki harus lebih tinggi atau paling tidak sama -dalam soal kekayaan dan karir–dengannya masih belum sepenuhnya hilang. Ketika mendapati laki-laki yang menjadi suaminya tidak memenuhi kriteria itu, bisa menjadi alasan untuk melakukan perceraian dengan alasan tidak bisa menafkahinya. Ini sungguh ironi memang jika dihadapkan kepada upaya mereka untuk berdiri sejajar, namun masih banyak juga yang tidak menerima hal itu sebagai buah dari perjuangan mereka. Akibatnya, doktrin kafa’ah itu pun sulit dilepaskan, karena masih adanya mindset itu dan secara tidak sadar melanggengkan superioritas laki-laki.
Berkaitan dengan persoalan kafa’ah banyak kritera yang dijadikan patokan. Namun, dari sekian banyak kriteria seperti kebangsawanan, kekayaan, dan lain-lain terdapat sebuah kriteria–menurut saya–sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan, yaitu wanita (keturunan Arab) tidak sekufu dengan laki-laki non-Arab (`ajm). Dan, berkaitan dengan hal itu di Indonesia banyak fakta yang mengkonfirmasi praktik itu dimana wanita yang masih mengklaim diri orang Arab bahkan mengklaim keturunan Nabi (syarifah) secara tradisi (sunnah mereka bukan sunnah Nabi) dilarang menikah dengan laki-laki (`ajm) atau yang di kalangan mereka dikenal dengan ahwal (orang biasa). Praktik itu memang didasari sunnah, namun bukan sunnah Nabi, melainkan sunnah dalam arti tradisi mereka saja dalam rangka untuk menjaga kelangsungan darah Arab (keturunan Nabi) pada anak-anak syarifah itu.
Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, tidak akan ada keturunan Nabi jika patokannya itu, karena keturunan Nabi semuanya berasal dari anak-anak perempuan beliau. Akan tetapi, dalam konteks ini ada argumen yang dimajukan dengan alasan bahwa beliau pernah bersabda, Fatimah adalah bagian dari saya. Hadis itu, menurut mereka khusus bagi anak-anak perempuan Nabi bukan bagi anak-anak perempuan lain sebagaimana pernah ditegaskan oleh Abu Lahab dengan sebutan abtar (terputus). Dan itu, dijawab kemudian dengan ayat, Inna syaniaka huwa al-abtar (seungguhnya yang mengejek kamu itulah yang terputus keturunannya). Namun, klaim itu bertentangan dengan isyarat Al-Qur’an–terlebih menurut pandangan Abu Hanifah bahwa hadis ahad–dalam banyak hal tidak bisa jadi dalil–sehingga harus dianggap tidak mempunyai kekuatan sebagai hujjah.
Ayat itu jelas menunjukkan bahwa keturunan bisa dari anak laki-laki maupun perempuan sehingga baik syarifah yang menikah dengan ahwal jika memang benar keturunan Nabi anaknya akan tetap menyandang hal itu minus penyebutan nasabnya. Namun, jika mau menggunakan, gunakan saja nasab ibunya, toh Fitria menggunakan nasab Sukaesih–meskipun dalam sebutan–sebagaimana ibunya. Itu saja kok–kata Gus Dur–kok repot!
Dengan demikian, menurut saya tidak ada landasan jelas bahwa kafa’ah harus menjadi pertimbangan apalagi–sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI)–harus menjadi alasan menghambat perkawinan, karena jika patokannya Islam, siapa saja sekufu dengan siapa saja selama masih sama-sama beragama Islam. Masalah perkawinan mereka kemudian tidak berhasil itu tidak lepas dari niat mereka ketika akan menikah. Maka pikirkanlah apa yang sebenarnya menjadi tujuan ketika akan menikah agar tidak keluar ungkapan, Andaikata saya tahu bakal bercerai niscaya tidak akan menikah. Itu apoligetik saja, karena harapannya tidak sesuai dengan kenyataan.