Beberapa hari lalu sosmed sudah rame dengan kicauan para tokoh politik yang mengutuk tindakan penganiayaan yang menimpa Ratna Sarumpaet disertai unggahan foto wajah lebam lebam mengerikan di wajah wanita yg pernah saya kagumi atas keberaniannya membela HAM dan Demokrasi di era orde baru.
Rabu (3/10) di depan para pewarta televisi Ratna meralat dengan mengatakan lebam lebam diwajahnya adalah akibat dari operasi plastik sedot lemak, bukan penganiayaan.Ratna juga meminta maaf kepada masyarakat dan para tokoh karena dia telah mengatakan informasi bohong.
Pengakuan ini seperti “Gempa” di Sosmed Tak kalah “dahsyat” dampaknya dg gempa di Palu dan Donggala.
Hari ini, postingan bertemakan Ratna Sarumpaet memenuhi jagad sosmed,ada yang mengutuk dengan dilengkapi meme bullying, ada juga yang mencoba membela dg mengurangi “bobot” dosa ibu Dari artis cantik Atiqah Hasiholan ini.
Saya tak akan menganalisis dosa kebohongan Ratna atau para tokoh yang menyebarkannya karena saya bukan malaikat penghisab dosa.
Saya juga tak akan menganalisis apa motif Ratna karena saya bukan polisi,juga bukan ahli nujum.
Saya hanya berbagi cerita tentang kisah saya yang pernah jadi warso (wartawan ndeso).
Dulu sebelum ada sosmed dan istilah hoax yg begitu beken sekali , wartawan menjadi tersangka utama ketika ada informasi keliru yang sampai ke publik, apapun alasannya.
Kalo narasumber yg berbohong sudah pasti bukan hanya dimaki pembaca tapi SP dari pimpinan akan terbit karena ceroboh memilih pendusta menjadi narasumber.
Informasinya betul tapi kurang konfirmasi,tidak imbang tulisannya (coverbothside),atau keliru ketik satu huruf karena mengantuk atau gagal fokus karena telat makan,tetap saja SALAH,tetap saja akan dimaki oleh pembaca dan dievaluasi dewan redaksi.
Kalau narasumber yang dirugikan gawat lagi,bukan hanya disomasi,kita malah bisa dimejahijaukan atau diserempet motor entah oleh siapa.
Hari ini setelah sosmed menjadi garda depan media yang paling sering dibaca oleh masyarakat,suka atau tidak suka anda yang berkicau di twitter, mengunggah meme di instagram dan memposting tulisan di facebook telah menjadi PEWARTA, karena media yang anda gunakan adalah media publik,bukan Diary.
Menyebarkan informasi yang kemudian ternyata keliru adalah dosa yang harus anda tanggung sama seperti dosa yang pernah saya tanggung.
BEDAnya dulu saya dan teman teman wartawan punya sistem yang memaksa kami untuk teliti, ada etika jurnalistik,ada editor yg melototi,ada hukuman dari pembaca dan pimpinan kami.itu saja ,tak jarang bobol!Bagaimana dengan anda sekarang?
Standar dasar penyebaran informasi yang inti adalah kita harus bisa membedakan FAKTA dan OPINI, disiplin tidak mencampurkan keduanya akan menyelamatkan kita menjadi penyebar hoax.
Standar kedua adalah KONFIRMASI data sehingga faktanya menjadi bulat dan COVERBOTHSIDE, keberimbangan.
Prinsip ketiga adalah NEWS VALUE,yaitu nilai informasi apa yang ingin anda sampaikan pada pembaca.Ini etika moral agar kita tidak menyajikan SAMPAH kepada pembaca.
Jika anda tidak yakin benar informasi yang akan anda sebar tak memenuhi standar itu , jangan pernah menyebarkannya meski dengan alasan KEBAIKAN atau KEBENARAN.Sebab karena anda masih manusia kebaikan dan kebenaran yang tidak terkonfirmasi bisa jadi OPINI sepihak.
Informasi yang iseng kita sebarkan bisa jadi VIRAL karena Viral terjadi jika informasi kita LOOK, LIKE, COMMENT and SHARE.Bisa ratusan,ribuan bahkan jutaan orang membaca berita keliru tanpa kita bisa kontrol. Permintaan MAAF tak akan bisa menghapus semuanya.
Akhirnya Kedisiplinan untuk mencuekkan informasi yg belum terkonfirmasi lebih ringan bagi kita daripada nanti ada pihak lain yang terpaksa memotong jemari kita yang sudah terlanjur menyebarkan HOAX!Wallahualam Bishawab
Muhammad Burhan
Mantan Wartawan Ndeso