Para ahli hukum Islam telah mengajarkan bahwa sesungguhnya, manusia yang telah menyucikan hatinya memiliki akses yang lebih kepada alam malakut-khayali dan alam jabarut-ruhani sejak ia berada di alam ciptaan ini. Karena, hati manusia-manusia seperti ini sesungguhnya sudah berada dalam proses kembali kepada Allah saat tubuh mereka masih terikat kepada alam ciptaan ini. “Matilah kalian sebelum kalian mati” begitulah Rasulullah Saw. mengajarkan.
Secara epistemologis, Islam mengakui bahwa kemampuan atau daya mengetahui manusia juga mencakup daya intuisi (khayali-imajinal) dan daya rohani (dzawi). Yang pertama untuk mengakses alam malakuti-khayali, dan yang satunya untuk mengakses alam jabarut-rohani. Sayangnya, paradigma pendidikan materialistik yang dominan sekarang ini hanya mempromosikan daya rasional saintifik dan ketrampilan praktis belaka. Akibatnya, anak-anak kita tidak menghargai serta tidak memiliki pengetahuan tentang realitas yang lebih tinggi, yakni realitas malakut dan rohani tersebut di atas, dan cara mencapai pengetahuan tentang keduanya. Dalam konteks materialistik seperti ini, pengetahuan hanya dianggap bernilai jika memiliki kegunaan pragmatis belaka.
Akibatnya, bagi orang-orang seperti ini, yang penting adalah memiliki kemampuan yang bermanfaat bagi upaya mengumpulkan berbagai pencapaian duniawi. Hal ini bukan saja akan merusak kehidupan kemasyarakatan, melainkan justru akan menjerumuskan anak-anak kita kepada kesengsaraan.
Yang tak kalah penting, pendidikan kita hanya memandang sebelah mata pengembangan kemampuan anak-anak kita dalam mengapresiasi keindahan (estetika). Padahal, keindahan, selain memberikan kebahagiaan menikmatinya dan melembutkan jiwa, adalah sarana untuk mengembangkan keimanan dan kecintaan kepada Allah juga, seba gaimana pernyataan Nabi SAW, “Aku melihat Allah dalam Keindahan-Nya Yang Sempurna.” Dan bahwa keindahan adalah salah satu Sifat-Nya pula: “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan.”
Hasilnya, kita merasa telah mendidik anak-anak kita dengan keimanan dan kecintaan kepada Allah SWT, tapi kenyataannya kita merasa ragu apakah, misalnya, mereka benar-benar beriman dan cinta kepada Allah dan bukannya malah cenderung menuhankan harta, kekuasaan, dan sebagainya? Apakah masih tersisa dalam diri mereka semangat kasih-sayang, amal saleh, dan pengorbanan, yang sesungguhnya menjadi inti ketakwaan dan sekaligus sumber makna hidup bagi mereka?
Akhirnya, kita dapati masyarakat kita, termasuk anak-anak kita, diterpa gejala-gejala kehampaan hidup, kemerosotan akhlak, perusakan lingkungan hidup, vandalisme, kebencian, premanisme, dan sikap nafsi-nafsi, serta berbagai gejala dehumanisasi yang amat memprihatinkan. Maka, satu-satunya jalan untuk memecahkan masalah serius bangsa adalah dengan mengubah paradigma pendidikan kita, dalam ranah teori dan praktiknya, dari berpusat rasional-saintifik dan vokasional kepada orientasi ruhaniah, akhlak, dan estetika.
Dengan kata lain, seharusnya, kurikulum pendidikan kita perlu disusun sesuai prioritasnya yang benar, mulai dari yang dasar hingga yang paling praktis. Pengembangan kemampuan akademik –meliputi kemampuan berpikir logis- analitis, kemampuan observasi-saintifik, keingintahuan, serta kemampuan vokasional atau life skills— mestilah didasarkan pada perspektif rohaniah, akhlaki, dan estetik seperti tersebut di atas.
Terbukti, bukan saja daya rohaniah, akhlaki, dan estetik akan membimbing penerapan kemampuan rasional-saintifik dan vokasional secara benar, kedua kemampuan yang disebut belakangan justru akan mencapai puncaknya dengan dukungan kemampuan-kemampuan yang disebut terdahulu. Kenyataannya, berbagai penelitian mengenai peran kecerdasan sosial-emosional dan kecerdasan rohaniah-personal kiranya telah cukup membuktikan hal ini. Yakni, bahwa kiprah manusia untuk meraih kesuksesan-kesuksesan duniawi, termasuk belajar dan berusaha, justru akan makin meningkat jika diarahkan dan diterapkan dengan panduan daya-daya lebih tinggi tersebut.
Oleh karenanya, sudah waktunya pengajaran kerohaniahan dan akhlak dalam konteks ini mestilah tak berhenti pada sekadar rutinitas peribadatan dan pengajaran akhlak yang bersifat kognitif belaka, melainkan didasarkan pada pemahaman makna batiniah dari ajaran-ajaran agama serta akhlak tersebut dan diselenggarakan dengan berbekal kebersihan hati juga semangat kasih-sayang.