Jamaluddin Al Afghani (1838-1897) merupakan salah satu cendekiawan, pemikir, dan pembaharu Islam terkemuka yang paling karismatik dan berpengaruh di penghujung abad ke- 19. Al Afghani dianggap sebagai “Bapak Pan-Islamisme Modern” meyakini bahwa Islam merupakan suatu tata kehidupan yang komprehensif dan ketat, mencakup politik dan kemasyarakatan disamping peribadatan. Ia menyerukan persatuan dan solidaritas Islam yang terkikis akibat kekuasaan kolonialisme Eropa. Sepanjang usianya, Al Afghani menjelajahi dan tinggal di berbagai negara: India, Afghanistan, Turki, Mesir, Perancis, Rusia, Amerika Serikat, London, Uzbekistan, dan Iran untuk berupaya membangunkan kembali dunia Islam dari tidur panjangnya.
Selama tinggal di Turki, ia menyampaikan pidato-pidatonya di Universitas Konstantinopel. Dia menyatakan bahwa umat Islam perlu belajar tentang semua ilmu pengetahuan modern, tetapi pada saat yang bersamaan juga harus mendidik generasi muslim secara lebih ketat dalam hal nilai-nilai, tradisi, dan sejarah Islam. Menurutnya, Modernisasi tidak harus berarti westernisasi, artinya Muslim bisa mencari bahan modernisasi sendiri yang khas Islam di dalam Islam itu sendiri. Seruannya agar masyarakat berpikir rasional dan tidak taklid buta kepada para ulama, menyebabkan ia diusir dari Turki.
Selanjutnya Al Afghani mengajar di Universitas Al Azhar Mesir, dia terus menjelaskan visinya tentang modernisasi Islam. Disini dia menyerukan demokrasi parlementer menurut versi Islam, yaitu melalui konsep Syuro dan Ijma’. Al Afghani mendorong para cendekiawan muslim Mesir untuk terlibat dalam aktivitas politik dan sosial guna membebaskan negara mereka dari hegemoni Inggris. Setelah tinggal di Mesir selama delapan tahun, dia kembali diusir karena ide-idenya yang progresif dan revolusioner.
Di Paris Perancis, Al Afghani bersama muridnya Muhammad Abduh, menerbitkan jurnal ‘Al Urwatul Wutsqo’, yang menyeru kepada massa untuk bangkit melawan Kolonial. Abduh melanjutkan perjuangan Al Afghani dengan menulis banyak artikel, risalah dan ulasan yang mengelaborasi dan mensistematisasi ide-ide dan pemikiran modernis Al Afghani. Abduh menyampaikan: “Kecenderungan umat untuk taklid dan menolak ijtihad merupakan penyebab kemunduran umat Islam. Taklid dapat meruntuhkan kepercayaan diri kaum muslim, juga menghilangkan semua bentuk kreativitas dan pemikiran segar diantara para cendekiawan dan intelektual Islam”. Abduh berhasil menjadi Grand Mufti di Mesir, anggota dewan legislatif, dan rektor Al Azhar. Karya-karyanya telah mempengaruhi banyak ulama, pemikir dan pembaharu di seluruh dunia muslim termasuk Indonesia.
Rasyid Ridha sering disebut pelanjut Muhammad Abduh dan Jamaludin Al Afghani, tetapi dengan pemikiran yang cenderung konservatif. Ridha mengakui dan meyakini adanya pemerintahan negara Islam dengan idealisasi zaman Nabi dan khulafa Al Rasyidin. Penerapan hukum Islam memerlukan sebuah pemerintahan Islam, karena hukum adalah produk dari musyawarah antara penguasa dan ulama. Umat Islam harus memulihkan kekhalifahan dan persatuan Pan-Islam. Pan-Islamisme sebagaimana digagas Al Afghani, menurut Rasyid Ridha harus dapat membentuk kekhalifahan Islam dengan jalan mempersatukan seluruh umat islam. Corak pemikiran dan gerakan salafiyah Rasyid Ridho ini memberi pengaruh bagi kalangan aktivis Islam di Mesir dan organisasi-organisasi Islam revivalis dewasa ini.
Murid Jamaluddin yang lain, Zaghlul, mendirikan partai politik (Wafd) yang selanjutnya berkembang menjadi gerakan nasionalis untuk kemerdekaan Mesir. Muridnya di Sudan, Mahdi, menjadi pemimpin agama yang mencetuskan perlawanan terhadap Inggris dan berhasil menyatukan seluruh Sudan di bawah kepemimpinannya. Al Afghani juga mengilhami para aktivis di Iran untuk melakukan boikot tembakau dan akhirnya berhasil mendorong gerakan konstitusional pada abad ke 20. Tarzi, seorang intelektual dari Afghanistan (murid Al Afghani), mendidik pangeran Afghan untuk menjadi raja yang modernis yang berhasil membawa Afghanistan meraih kemerdekaan penuh dari Inggris. Keturunan intelektual Jamaludin yang lain yaitu Hasan Al Banna, mendirikan Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Dalam era kebangkitan Islam di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ideologisasi Islam tampaknya satu nafas dengan gerakan Pan-Islamisme sebagaimana dikumandangkan oleh Jamaludin Al Afghani yang kemudian menggema ke seluruh Dunia Islam termasuk ke Indonesia. Gerakan pemikiran Afghani menginspirasi dan menjadi bagian dari kelahiran gerakan reformasi atau modernisme islam di Indonesia pada awal abad ke-20. Gerakan kebangkitan islam (revivalisme agama) ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi Islam modern seperti Syarikat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Al Irsyad (1914), Persatuan Islam (1923) dan lain-lain.
Gerakan Islam di Timur Tengah yang mengusung pemurnian dan islamisme pada era abad ke-19 didominasi oleh gerakan wahabi dan pemikiran revivalis garis keras Rasyid Ridha. Sedangkan pada era mutakhir banyak dipengaruhi oleh Ikhwanul Muslimin yang menjadi kekuatan inspirator bagi tumbuhnya gerakan-gerakan islam serupa di banyak negara muslim. Gerakan tersebut memperoleh momentum puncak di Indonesia ketika terjadi pergantian rezim otoriter Orba ke Reformasi (tahun 1998). Tema utama yang menjadi basis dan isu ideologi Islam militan pada umumnya yaitu Pan-Islamisme, mengikuti model pemikiran Jamaludin Al Afghani yang dikonsepsikan oleh Rasyid Ridha, yakni mengembalikan Islam dan umat Islam ke masa lampau dari kemerosotan yang parah, membebaskan diri dari pemikiran dan sistem yang kufur, anti peradaban dan imperealisme Barat, dan membangun daulah Islamiyah dengan Sistem Khilafah Islam.
Referensi:
- Tamim Ansary, 2009, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam, Penerbit Zaman, Jakarta
- Muhammad Majloum K, 2008, 100 Muslim Paling Berpengaruh Pada Sejarah, Penerbit Noura Books, Jakarta
- Haedar Nashir, 2013, Islam Syariat, Mizan Pustaka, Bandung
- Carl W. Ernst, 2003, Pergulatan Islam di Dunia Kontemporer Doktrin dan Peradaban, Mizan, Bandung