Rasulullah saw bersabda sehabis perang Badar:
رجعتم من الجهاد الاصغر الى الجهاد الأكبر فقيل وماجهاد الأكبر يارسول الله؟ فقال جهاد النفس
Kalian semua pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran besar. Lalu ditanyakan kepada Rasulullah saw. Apakah pertempuran besar wahai Rasulullah? Rasul menjawab “jihad (memerangi) hawa nafsu.
Dalam surah asy Syams Allah SWT berfirman:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا * فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا * قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا * وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
dan jiwa serta penyempurnaannya, (7) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (8) sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (9) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (10)
Pertarungan antara Qolbu dengan Hawa berlangsung setiap saat, dan akan menghasilkan tiga macam karakter pribadi (Nafs) pada diri manusia.:
- Jika Hawa nafsu yang selalu memenangkan pertempuran, akan melahirkan Nafsul Ammarah:
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan Aku tidak membebaskan diriku, Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang. (Yusuf : 53)
2. Jika Kadangkala Ruh menang, di waktu lain Hawa yang dominan maka akan membentuk nafsul Lawwamah:
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri) [Al Qiyamah : 2].
3. Jika Ruh selalu memenangkan pertempuran sehingga secara istiqomah dapat mengendalikan hawa nafsu maka akan terbentuk karakter Nafsul Mutmainnah, seperti disebutkan dalam surat Al Fajr : 27-28
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ۞ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً ۞
Hai jiwa yang tenang (27). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (28)
Sosok manusia memiliki nuansa yang lembut di dalam hatinya, yakni berupa Qalbu dan Hawa (Nafsu). Qalbu merupakan tempat untuk akhlak yang terpuji sedangkan Nafsu adalah untuk tempat akhlak yang tecela. Kita perlu lebih mengenal diri serta memahami posisi jiwa kita saat ini, apakah sudah terbentuk karakter nafsul muthmainnah atau masih pada nafsul lawwamah atau nafsul Ammaroh.
Nafsul Lawwamah memiliki karakteristik terkadang timbul semangat untuk berbuat baik, tetapi terkadang muncul keinginan untuk berbuat maksiyat. Sering mencela diri sendiri dan meyesali diri. Merupakan pusat dari kesenangan, penyebab ketergelinciran dan kerakusan. Nafsul Lawwamah memiliki sembilan sifat jelek yang perlu diwaspadai, yaitu: Al Laum (suka mencela), al Hawa (senang menuruti hawa nafsu), al makr (menipu), al ujub (membanggakan diri), al ghibah (menggunjing), ar riya (pamer atas amal dan prestasi), adz dzulm (menganiaya/tidak adil), al kidzb (dusta), al ghoflat (lalai).
KH Asrori Al Ishaqi (alm) menambahkan tentang penyakit-penyakit syahwat: Cinta kedudukan dan jabatan, Cinta kemuliaan dan kehormatan, Sombong, hasud dan nggerundel/pendendam.
Nafsul lawwamah merupakan pusat dari hawa nafsu, meskipun demikian nafsul lawwamah masih memiliki potensi sifat-sifat yang baik, yaitu keyakinan akan kebenaran syariat Islam (meskipun masih belum menjadi komitmen), penyerahan diri, tauhid, dan makrifat (pengenalan akan Tuhan).
Pendidikan Jiwa dengan Dzikir
Kita adalah ruh yang telah menyatu dengan tubuh, dan sifat dasar kita adalah cinta, kearifan, dan kegembiraan. Namun pada kenyataannya kita sering merasa galau, tertekan, dan kecewa yang tentunya bertolak belakang dari sifat dasar spiritual kita. Ini tandanya kita masih berada pada kungkungan nafs ammarah yang membawa kita pada arah hidup yang tidak benar.
Pada titik ini kita tidak menyadari kesalahan dan kecenderungan kita untuk berbuat jahat. Kita selalu menyangkal dan mencari pembenaran seperti orang-orang yang sedang kecanduan. Ketidaksadaran dan penyangkalan kita membuat nafs ammarah menjadi semakin kuat. Dibutuhkan perjuangan untuk meningkatkan kualitas jiwa melalui pendidikan nafs. Metode yang dilakukan yaitu dengan: Taubat, mujahadah (berjuang) dan riyadlah (olahraga jiwa), takhalli (membersihkan diri dari sifat tercela), tahalli (menghiasi diri dengan sifat yang mulia), dan tajalli (pencerahan). Rasulullah saw bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهَدَ الرَّجُلُ نَفْسَهَ وَ هَوَاهُ
Jihad yang paling utama adalah seseorang berjuang melawan dirinya dan hawa nafsunya. (HR. Ibnu An-Najjar, Abu Nu’aim dan Ad-Dailami)
Nafs ammarah tidak bisa dimatikan karena ia merupakan bagian dari diri kita sendiri. Yang bisa kita lakukan yaitu mentransformasikan nafs ammarah menjadi sifat-sifat dan perilaku yang baik. Selain itu kita juga harus menyucikan dan membuka hati. Cara penyucian hati (tazkiyatun nafs) yaitu melalui praktik melepaskan diri dari jeratan duniawi dan selalu mengingat Tuhan (dzikir). Dzikir akan memancarkan cahaya hati dan membuat kita lebih peka terhadap gerak-gerik nafs.
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Karena itu, ingatlah kalian padaKu, niscaya akupun ingat pada kalian. Serta bersyukurlah padaKu jangan mengingkari nikmatKu” (Al Baqoroh : 152)
Apa yang akan anda lakukan ketika di malam hari ada pencuri yang menyatroni rumah?. Anda di kamar tidur dan mendengar pencuri mengendap-endap sambil memasukkan barang-barang berharga ke karungnya. Kalau anda bergegas ke dapur mengambil sebilah pisau maka pencuri juga memiliki belati. Jika anda menggenggam sepucuk pistol, ia akan menodongkan Revolver. Nafsu akan mencerminkan kekuatan apapun yang anda gunakan untuk melawannya.
Yang harus anda lakukan adalah menyalakan semua lampu sehingga cahaya terang memenuhi ruangan. Pencuri itu seorang yang pengecut, jika ketahuan ia akan lari tunggang langgang. Bagi nafs al-Ammarah, dzikir adalah lampu yang menerangi rumah yang gelap gulita itu. Nafsul ammarah yang sudah berhasil dijinakkan akan membantu kalbu dalam mengawasi pelanggaran-pelanggaran nafsul lawwamah. Seperti anjing penjaga dengan hewan ternak di sekitarnya.
Tahapan kedua disebut ‘nafsu yang mencela diri sendiri’ (nafs lawwamah). Pada tingkatan ini setidaknya kita menyadari bahwa kita salah. Kita berada dalam cengkeraman sesuatu yang bukan merupakan pribadi kita yang terbaik, tetapi kita masih membiarkan diri kita terus bertindak buruk. Kita mungkin tidak selalu berada di bawah kendali mereka, tetapi pengaruh mereka masih nyata adanya.
Langkah awal untuk pendidikan jiwa dapat ditempuh dengan upaya mengetahui dan merasakan sifat-sifat nafs al-lawwamah kemudian berlatih untuk menghilangkan sifat-sifat tersebut. Menumbuhkan kesadaran untuk konsisten dalam meninggalkan sifat-sifat tercela. Sabar menghadapi hal akhwal (masa pancaroba) serta tetap tekun berlatih (takhalli). Menumbuhkan sifat-sifat positif (tahalli) dan terus berdzikir.
Bagi nafs lawwamah dzikir akan menyadarkan dirinya bahwa ia bagaikan sedang berada dalam sebuah rumah yang penuh dengan hal buruk seperti kotoran, anjing, babi, ular, macan dan gajah. Ia sempat bergumul dengan berbagai macam keburukan tersebut, ia berusaha untuk mengeluarkannya, ia pun sempat terluka oleh cakar dan sengatan binatang buasnya. Dzikir dan munajat membantu nafs lawwamah untuk mengalahkan dan mengeluarkan mereka semua dari rumah jiwanya.
Setelah lahir sikap mental dan akhlaq yang lebih permanen, kita memasuki tingkatan berikutnya yaitu ‘nafsu yang terinspirasi’ (nafs al-Mulhimah). Dalam nafsu yang terinspirasi, hati yang bijaksana mulai memasuki kepribadian dan kesadaran. Nafs ini memiliki tujuh sifat positif yang cukup dominan, yaitu: As-sakhowat (dermawan), al-qana’at (menerima/tidak rakus), al-hilm (lapang dada), at-tawadlu’ (rendah hati), at-taubah (bertaubat), ash-shabr (sabar/tahan uji), at-tahammul (tahan menjalani penderitaan).
Untuk pertama kalinya, kita punya kekuatan alternatif untuk mengatasi kekuatan ego, yaitu kearifan, intuisi, dan suara hati. Namun kekuatan-kekuatan ego masih aktif, ia bisa menunggangi benih kesadaran yang baru tumbuh itu untuk membesar-besarkan diri dan merasa telah berhasil menjadi ‘orang suci’. Dalam kondisi seperti ini kita harus belajar mengucapkan, “Kesadaran, kebijaksanaan ini bukanlah milikku, Ia berasal dari Allah melalui diriku, untuk mengujiku apakah aku bisa bersyukur atau tidak”.
Tetaplah waspada!, sebab pada kesempatan lain Ego akan kembali membisikkan, “Inilah kebijaksanaanku, Aku tahu itu!”. Ini tahap yang paling berbahaya bagi para penempuh jalan spiritual, banyak yang mengalami kemandegan di sini. Maksud hati ingin melemahkan ego tapi justru semakin membesar, menggelembung dan jumawa.
Solusinya yaitu harus terus-menerus menghidupkan kalbu dengan dzikir. Melalui dzikir kepada Allah, maka Sang Maha Raja akan ingat pula pada hamba-Nya kemudian memberikan cahaya dan perlindungan-Nya kepada penjaga rumah jiwa. Sehingga nafs menjadi tenang dan tenteram serta diliputi dengan kebahagiaan.
Tatkala dzikir menempati rumah jiwa, dan tatkala ‘kebenaran’ tampak dengan jelas, nafs itupun kembali pada kondisi muthmainnah. Itulah nafs yang mendapat cahaya kalbu secara sempurna sehingga bisa terhindar dari segala kekotoran dan selalu tekun mengerjakan ketaatan sehingga hatinya menjadi tenteram.
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah kalbu menjadi tenteram (Ar Rad : 28).
Untuk berlindung dari keburukan nafs ammarah maka perbanyaklah kalimat tahlil (la ilaha illa Allah). Agar tidak terus terombang-ambing dalam nafs lawamah maka sering-seringlah menyebut ‘Allah’. Supaya bisa diselamatkan Allah dalam kondisi nafs mulhimah maka berdzikir ‘Hu’ (Engkau). Kemudian dzikir ‘Haqq’ (Kebenaran) diucapkan dengan penuh kesadaran agar jiwa kita bisa dibimbing kepada ‘nafs yang tenteram’ (nafs al-Muthmainah).