Assalamualaikum
Abah, saya punya uneg-uneg, mau curhat boleh ya? Banyak orang yang menjalankan puasa, tapi perilakunya seperti orang yang tidak berpuasa. Itu bagaimana ya? (Shima, Jepara)
Jawab
Puasa termasuk dalam kategori ibadah mahdlah, yang pelaksanaannya harus sesuai dengan syari’at Islam, keluar daripadanya dianggap mengada-ada (bid’ah). Pelaksanaannya tidak hanya secara formal, fiqhiah semata, tetapi harus menekankan aspek spiritualisnya, sehingga pelaksanaanya harus benar-benar dihayati sepenuh hati, harus merasakan lapar dan dahaga agar tidak terkena sindiran Nabi saw. yang artinya:
“Banyak orang yang menjalankan puasa yang tidak mendapat suatupun dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga”. (HR. Muslim)
Letak spiritualitasnya ialah pada tujuan puasa, yakni meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. sebagaimana difirmankan-Nya dalam al-Baqarah [2]: 183 Pengertian taqwa di sini ialah orang yang penuh tanggung jawab, terhadap diri sendiri, orang lain dan lebih-lebih lagi terhadap Allah SWT. Orang yang taqwa ialah orang konsisten dengan dimensi kemanusiaannya, sebagai makhluk Allah SWT., harus mengabdi kepada-Nya, sebagai makhluk individu harus mengetahui hak dan kewajibannya terhadap dirinya, yang terdiri dari unsur jasmani dan rohani; dan sebagai makhluk sosial harus berlaku baik di tengah-tengah masyarakat.
Puasa juga bisa menanamkan rasa disiplin, baik disiplin jiwa, moral dan sosial, berjiwa besar dan tahan uji, tidak mudah putus asa, akhirnya membentuk akhlaq al-karimah, karerna dia merasa diawasi (muraqabah) oleh Dzat yang Maha Mengetahui.
Dengan perasaan muraqabah tersebut, maka muncul perasaan adanya prinsip pengawasan diri kita sendiri dan pada saat mengawasi itu, kitapun sadar bahwa kita sedang diawasi oleh Dzat yang Maha Mengetahui. Akibat daripadanya, ada kesadaran untuk membimbing dan mengarahkan diri, merasa sedang disorot oleh ‘kamera’ Ilahi yang menusuk tajam kepada qalbu. Diri kita akan terhindar dari bujuk rayu hawa nafsu (dorongan nafsu rendah) atau nafsu basyariyah/ nafsu biologis.
Kesadaran muraqabah ini, akan melahirkan enam prinsip, prinsip Tuhan serba hadlir, Dia selalu mengawasi diri kita; prinsip malaikat yang mencatat atau merekam amal perbuatan kita; prinsip al-Qur`an sebagai pedoman hidup yang membimbing sikap, ucapan dan prilaku kita; prinsip Rasul sebagai uswah (teladan), sehingga dengan prinsip ini apapun yang kita lakukan harus sesuai dengan prilaku beliau; prinsip masa depan yang membahagiakan, apapun yang kita lakukan harus berporoskan ke depan yang membahagiakan dan keenam ialah prinsip keteraturan dalam segala hal yang merupakan manifestasi dari keimanan kepada taqdir (kepastian) Allah SWT., baik yang bernilai positif maupun yang bernilai negatif.
Puasa, bisa menimbulkan rasa empati, yakni merasakan terhadap apa yang dirasakan orang lain, bagaimana nasib orang lain yang kurang beruntung (dlu’afa`), oleh karena itu puasa harus benar-benar bisa merasakan lapar, tidak hanya tidur dengan perasaan agar tidak merasakan lapar. Semboyan yang didengung-dengungkan seperti “naumush sha`im ‘ibadah” (tidurnya orang puasa itu termasuk ibadah) merupakan pemaknaan yang kurang sempurna, karena tidur yang bernilai ibadah itu, apabila ketika jaga melakukan kemaksiatan. Sekiranya ketika jaga membuahkan hal-hal yang positif tentunya tidak demikian, sehingga semboyan tersebut tidak perlu lagi dikedepankan.
Puasa mendidik manusia disiplin diri, baik fisik seperti meninggalkan makan, minum dan seksual pada siang hari, mempunyai ketahanan fisik yang kuat, dan perut diistirahatkan. Dan dari segi moral meninggalkan suatu larangan, meski dalam kondisi normal diperbolehkan; serta disiplin spiritual, menyadari benar bahwa puasa adalah tameng (junnah) terhadap ajakan hawa nafsu yang selalu mengajak ke kejelekan dan kemungkaran seperti: nafsu amarah yang selalu mengajak kepada kejahatan, lawwamah, yaitu nafsu yang menegur, artinya setelah mengerjakan suatu kemaksiatgan dia menyesal, namun sesudah itu dia kembali mengulangi lagi.
Juga terhindar dari ajakan nafsu sabu’iyyah (kebuasan), nafsu bahimiyyah (binatang), nafsu uluhiyyah (kesombongan). Semua nafsu-nafsu tadi harus dikendalikan sedemikian rupa agar menjilma menjadi nafsu muthmainnah (yang tenang) akhirnya mencapai nafsu mardliyyah (diridlai).
Dalam puasa mencegah makan, minum dan hubungan seksual merupakan kebutuhan fa’ali manusia yang intinya ialah ingin menjadi ‘copi’ Tuhan dan internalisasi sifat-sifat-Nya, sebagaimana sabda Nabi saw.: takhallaqu bi akhlaqillah ‘ala qadri thaqati al-basyar (berakhlak kamu sekalian dengan akhlak Allah sesuai dengan kemampuan dan kewenangan manusia).