يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri (kepada Allah). (Ali Imran : 102)
Ketaqwaan yang dituntut oleh ayat ini adalah yang sesuai dengan Kebesaran, Keagungan dan Anugerah Allah SWT. Lebah memberikan madu sebanyak sari kembang yang diisapnya, bulan memancarkan cahaya sebanyak posisinya terhadap matahari. Manusia terhadap Allah pun harus demikian, sebanyak nikmat-Nya sebanyak itu pula seharusnya pengabdiannya.
Ayat Ali Imran ini menjelaskan batas akhir dan puncak taqwa yang sebenarnya. Semua dianjurkan untuk berjalan pada jalan taqwa, semua diperintahkan mendaki menuju puncak, dan masing-masing selama berada di jalan itu akan memperoleh anugerah sesuai dengan hasil usahanya.
Makna Taqwa
Puncak-puncak ketaqwaan tercakup dalam tiga kata yang akan diuraikan pada tulisan ini, yaitu Khosiya, Waqa, dan Ahsana. Khosyah artinya rasa takut dan gentar yang lahir dari penghormatan dan pengagungan. Rasa khosyah tumbuh dari adanya pengetahuan dan pengenalan tentang yang ditakuti itu.
وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ
…, dan mereka khosyah kepada Rabb-nya… (Ar Ra’du : 21)
وَخَشِيَ الرَّحْمٰنَ بِالْغَيْبِۚ
dan yang khosyah kepada ar Rahman walaupun dia tidak melihatnya. (Yasin : 11)
Hakikat taqwa bukan hanya rasa takut pada siksa neraka tapi juga harapan pada kenikmatan surga. Bagi yang mengenal Allah maka ia tidak hanya takut kepada-Nya, tetapi juga kagum. Betapa tidak? Dia Maha Pendidik (Rabb), Maha Pengasih (Rahman) juga Maha Pengampun dan Pemaaf, Dia Maha Mensyukuri kepatuhan kita dengan menganugerahkan aneka ganjaran. Khosyah ini akan mendekatkan kita kepada Allah karena Rahmat-Nya mengalahkan Amarah-Nya.
Taqwa terambil dari akar kata waqaa – yaqii yang berarti melindungi, menjaga atau menghindari. Makna yang bisa diambil dari waqa lebih luas daripada shona, yaitu tidak hanya menjaga diri (inderawi) dari dosa namun mencakup menjaga hati dari hal-hal selain Allah SWT. Sebagaimana hadits yang disampaikan oleh Ibnu Mas’ud tentang taqwa:
“Menaati Allah dan tidak mendurhakai-Nya, mengingat-Nya dan tidak sesaatpun melupakan-Nya, Mensyukuri-Nya dan tidak sesaatpun mengingkari-Nya (HR. Ibnu Mardawaih dan al Hakim)
Orang yang telah mantap dalam ketaqwaannya disebut muttaqiin dari bentuk kata ittaqa. Mereka secara konsisten memelihara dirinya dari dominasi nafsu dan ego (al Hasyr : 9) serta menjadikan taqwa sebaik baik bekal dalam seluruh aspek kehidupannya
وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal yang murni! (al Baqarah : 197)
Ahsana-yuhsinu maknanya adalah mengerjakan kebaikan dan keindahan diambil dari akar kata hasuna-yahsunu. Merupakan buah dari pengamalan khosiya dan waqa. Akhlaq ini (ihsan) lahir dari sifat ra’fah pada diri seseorang. Apabila sifat welas asih (rahmah) demikian melimpah ruah maka ia dinamai ra’fah dan pelakunya disebut ra’uf.
وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
…dan jika kamu bergaul (dengan isterimu) secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (An Nisa : 128)
Tuhsinu pada ayat di atas artinya puncak kebajikan. Maknanya lebih tinggi dari kandungan makna adil, karena adil adalah memperlakukan orang lain seperti Anda ingin diperlakukan. Ihsan adalah memperlakukan orang lain lebih baik lagi. Adil adalah mengambil semua hak Anda dan memberikan semua hak orang lain, sedangkan ihsan adalah mengambil lebih sedikit yang seharusnya menjadi hak Anda dan memberikan lebih banyak kepada orang lain.
Ihsan antara hamba dengan Allah SWT adalah leburnya diri sehingga dia hanya melihat Allah saja. Karena itu pula ihsan antara hamba dengan sesama manusia adalah bahwa dia tidak melihat lagi dirinya sendiri dan hanya melihat orang lain itu. Barangsiapa melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang lain dan tidak melihat dirinya pada saat beribadah kepada Allah dia dinamai muhsin, ketika itu dia telah mencapai puncak dalam segala amalnya.
وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
..Dan Allah mencintai orang-orang yang Muhsin. (Ali Imran:134)
Surah ar Ra’du ayat 20-22 beserta beberapa surah lainnya menggambarkan karakter Muhsinin, yang memiliki beberapa sifat:
- Memuliakan orang tua (al Ahqaf : 15-16)
- Membalas dengan kebaikan pada orang yang pernah menzaliminya (Fush Shilat : 34)
- Memenuhi Janji untuk meng-Esakan Allah
- Menghubungkan kekerabatan yang terputus (Silaturahmi)
- Rasa Khouf dan Khosyah
- Bersabar karena mengharap Ridha Allah semata
- Mi’raj di dalam Shalat
- Berinfaq secara sembunyi atau terang-terangan
- Berdzikir dan tafakur dalam setiap gerak hidupnya (Ali Imran : 191)
- Mengorbankan ego dalam rangka menjaga keutuhan rumah tangga (an Nisa:128)
Pahala bagi orang yang bertaqwa
Nabi saw mengajarkan dzikir setelah shalat: subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar. Wirid tersebut merupakan Internalisasi taqwa ke alam pikiran bawah sadar, yaitu dengan niat pembersihan diri dari dosa (takholli), memperbaiki dan memperindah akhlaq (tahalli) serta terbukanya hijab kesadaran ruhani (tajalli).
Pada puncak ketaqwaan ini ibadahnya kepada Allah berlandaskan Niyah, ubudiyah, wa syukron, wantifaalan wa qiyaaman bi haqqil khidmah, yaitu secara sadar merasa ‘ngawulo’, syukur, dengan membuktikan ikut perintah Allah dan sebenar-benar pelayanan. Ibadahnya dapat menghasilkan bertambahnya kemuliaan dan ketinggian derajat disisi Allah SWT baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
Merasa tidak ingin apa-apa dan perlunya ibadah semata mata dalam rangka tahqiiqul ubudiyyah wal qiyaamu biwadzoo’I fi ar-Rububiyyah. Ia berada di puncak keihlasan dan semua gerak kehidupannya selalu didorong oleh rasa syukur.
وَاَنَّ اِلٰى رَبِّكَ الْمُنْتَهٰىۙ
dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya (segala sesuatu menuju), (An Najm : 42)
Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga Adn dan Ma’wa. Di Jannatul Futuh terebut mereka akan mendapatkan terbukanya hati di sisi Allah. Bidzuhuril karoomah, Mendapatkan kemuliaan yang nyata dengan bertemu Allah, Sang Kekasih. Penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu kenikmatan yang lebih mereka dambakan daripada melihat (Wajah) Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana disebutkan di dalam al Quran,
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ ,إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat.” (Al-Qiyamah: 22-23)
Jarir bin Abdillah berkata, “Kami pernah duduk bersama Nabi SAW, saat itu beliau memandang ke arah bulan ketika purnama. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya kalian akan memandang Rabb kalian sebagaimana kalian memandang bulan ini. Kalian tidak berdesakan ketika memandang Allah. Jika kalian mampu, untuk tidak melewatkan shalat sebelum terbitnya matahari (subuh) dan shalat sebelum tenggelamnya matahari (Ashar), lakukanlah!” (HR. Bukhori Muslim)
وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوْبِهَا ۚ
…dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum matahari terbit, dan sebelum terbenam; (Thaha : 120)
“Yaa Allah, Pengampunan-Mu lebih luas daripada dosa-dosaku, dan RahmatMu lebih kuandalkan daripada amal kebajikanku”.