Pertanyaan: Tanya Prof, bolehkah ketika thawaf kita berpindah madzhab?, sehingga ketika memegang tangan istri tidak membatalkan thawaf (Nasirin)
Waalaikumsalam wr.wb. Perihal pak Nasirin ini memang sering disampaikan. Jamaah haji Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi’i sering bertanya juga, ketika thawaf bolehkah mengikuti madzhab lain tentang batalnya wudhu.
Memang tidak semua orang dapat memahami secara langsung petunjuk dalam Al Qur’an dan Hadits, bukan saja karena banyak yang tidak bisa memahami bahasa al Qur’an, tetapi juga karena banyak ayat dan hadits yang memerlukan analisis dan pendalaman yang untuk melakukannya dibutuhkan banyak syarat. Mereka yang memenuhi syarat-syarat itu tampil melakukan apa yang dinamai ijtihad dan hasil ijtihad mereka itulah yang dinamai madzhab.
Bagi yang tidak mampu melakukan ijtihad, dia diharapkan melakukan pembahasan dan penilaian atau paling tidak memahami dalil dan alasan mengapa imam madzhab A berpendapat demikian dan imam madzhab B berpendapat berbeda. Selanjutnya, dia memilih mana diantara kedua pendapat yang berbeda itu yang dinilainya memiliki dalil yang lebih kuat. Di sini yang bersangkutan tidak taklid buta, tetapi mengikuti dengan kejelasan (ittiba’).
Contohnya لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ pada an Nisa ayat 43 di atas diterjemahkan dengan kamu menyentuh perempuan, dipahami oleh Imam Syafi’i dalam arti persentuhan kulit dari jenis kelamin berbeda bukan mahram, baik dengan syahwat atau tidak. Imam Malik mensyaratkan persentuhan itu dengan syahwat sedang Imam Hanafi menilai bahwa persentuhan dimaksud adalah hubungan seks sehingga sekadar persentuhan kulit walau dengan syahwat tidak membatalkan wudhu. Tidak tidak ada halangan bagi orang yang alim (berpengetahuan) jika ia dalam wudhu mengikuti pendapat Imam Syafii tapi batalnya wudhu ikut madzhab Hanafi selama niatnya tulus untuk melaksanakan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Dalam istilah hukum Islam, ini dinamai Talfiq, melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih.
Tentu saja orang awam tidak bisa melakukan seperti yang diuraikan tadi, maka tidak ada jalan lain untuk dia kecuali bertanya pada yang mengetahui. Dia tidak harus bermadzhab tertentu. Jawaban yang diberikan oleh ulama yang mempunyai madzhab atau yang mengikuti salah satu madzhab, itulah yang menjadi pegangan dan madzhabnya. Kalau kali ini dia bertanya kepada seorang yang bermadzhab Syafi’i tidak ada halangan esok dia bertanya kepada ulama penganut madzhab Maliki.
Ada ulama yang berpendapat hukum asal talfiq antar mazhab adalah tidak boleh dilakukan dalam satu masalah dan yang terkait (seperti contoh masalah wudhu di atas). Namun, apabila berada dalam situasi yang sangat diperlukan dan mengharuskan demikian, maka hukumnya dibolehkan. Misalnya, seorang yang sedang tawaf harus dalam keadaan suci dari hadas kecil dan besar, itu artinya tidak boleh bersentuhan dengan wanita bukan mahram. Tapi karena sangat sulit untuk bersentuhan dengan pemuhrim wanita, maka bisa ikut mazhab lain seperti Hanafi, Maliki dan Hanbali yang mana sentuhan lelaki dan wanita tidak membatalkan wudhu. Beberapa ulama lain ada juga yang melarang talfiq, khususnya bagi orang yang masih awam dalam pemahaman agama. Karena dikhawatirkan semata-mata karena ingin kemudahan (nggampangke) atau istilahnya tatabbu’ al-rukhash, yang berdampak main-main dalam hukum agama. Contohnya Seorang ikut madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci, hanya karena ia suka memelihara anjing atau ia malas mensucikan yang berdasarkan madzhab Syafi’i merupakan Najis mugholadzoh. Najis yang harus disucikan dengan tujuh kali siraman air dan salah satunya dengan tanah.