Politik dan agama, pada dasarnya, adalah bagian dari dua sisi hidup yang bertolak belakang. Dua esensi, bahkan dua aspek itu sesungguhnya terpisahkan secara ekstrim. Kenapa? Karena keduanya tidak akan pernah bisa berada pada satu titik temu. Atas nama alasan apa pun, atau mau direkayasa dengan cara-cara paling canggih sekalipun, harmoni atas dua aspek ini tidak akan pernah bisa terwujud.
Sebab agama dan politik ibarat air dan api. Kalau keduanya dipaksakan berharmonisasi pada satu titik, keduanya saling membinasakan. Nyala api akan kehilangan daya terang dan daya bakarnya karena dipadamkan air, sementara air juga harus menerima risiko lenyap ditelan bara api. Agama bersikukuh pada kebenaran, kejujuran serta moral dan etika. Sedangkan politik selalu mengintip, mencari kesempatan untuk mengangkangi atau berselingkuh. Dalam politik, kebenaran, kejujuran, serta moral dan etika itu tak lebih dari rangkaian huruf yang cara menghayati maknanya harus dibalik alias jangan dihayati. Kalau memaknai kebenaran dan kejujuran sesuai hakikatnya, itu namanya tidak lagi berpolitik. Seorang politisi tulen tak akan segan-segan bertanya, “Apa itu kebenaran?”.
Apa makna di balik pertanyaan seperti itu? Menjelaskan bahwa politik tidak pernah mengenal kebenaran sebagai dasar mencapai tujuan. Kalau kebenaran saja tidak dikenal, kejujuran serta etika dan moral adalah aspek-aspek praktis tidak punya nilai dalam politik. Dalam politik, kejujuran dan moral, kalau perlu ditaruh di bawah telapak kaki untuk diinjak-injak. Bahkan, tak segan untuk dilenyapkan, kalau kemuliaan dan keluhuran itu berpotensi merusak strategi dan target. Sementara kemuliaan dan keluhuran adalah hal yang utama dalam agama.
Dengan demikian, politisi atau partai politik yang mengusung agama adalah sebuah omong kosong. Kenapa dikatakan begitu? Karena konsekuensinya yang sangat bertolak belakang itu. Kalau partai politik itu konsekuen dalam perjuangannya, pilihannya hanya ada dua. Pertama, mengadopsi budaya politik yang segala sesuatunya dilandasi kepentingan -berarti siap mengingkari kebenaran serta tak peduli pada etika dan moral. Kedua, menolak mengadopsi budaya politik. Kalau sudah begitu, dia bukan lagi politisi atau partai politik.
Komunitas politisi atau partai politik itu hanya punya satu fokus, yakni bagaimana mencapai atau mewujudkan target kepentingan. Ketika kekuatan mayoritas tak tercapai, politisi atau partai politik akan mencari teman yang kurang lebih punya kepentingan sama. Dari situ dibangun sinergi yang popular dengan istilah koalisi. Tanpa kekuatan mayoritas, kepentingan politisi atau partai politik itu tak akan pernah tercapai. Harus ada kompromi. Ini salah satu budaya dalam politik. Bersediakah partai politik pengusung agama memainkan perilaku seperti itu?
Kalau bersedia, partai itu hanya sekadar mencantumkan terminologi-terminologi agama sebagai kendaraan berpolitik. Partai itu sekadar menggemakan terminologi agama untuk mendapatkan simpati dari calon konstituen. Sebab, ketika masuk tahap pembicaraan tentang bagaimana mencapai target kepentingan, terminologi-terminologi agama itu sudah tidak ada lagi. Sebab, si politisi atau partai langsung beradaptasi dengan budaya politik.
Itu sebabnya, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif perlu mengingatkan lagi bahwa partai politik yang berasaskan agama tidak akan laku dan akan ditinggal konstituennya. Apalagi, belum ada bukti partai politik yang berasaskan agama membela rakyat. Sejarah membuktikan, beberapa partai hanya menjadikan agama sebagai kendaraan politik.