Dikisahkan, ada seorang pemuda yang pergi untuk berguru kepada Nabi Musa AS. Dalam perjalanan ia bertemu dengan seorang cacat yang teronggok di bawah pohon, Ia buta dan tidak memiliki tangan-kaki. Sang pemuda bertanya perihal orang tersebut dan dijawab, “Saya ini korban perampokan, tangan-kaki saya dipotong dan mata saya dibutakan”. Ketika ditanyakan bagaimana dia bisa bertahan hidup? Si Cacat itu bercerita, “setiap hari ada semut yang mengumpulkan buah-buahan ke dekat mulutku selama sepuluh tahun ini, dan aku minum dari air hujan dan embun”. Ketika si pemuda minta pamit, orang cacat itu berpesan: “Tolong sampaikan ke Nabi Musa, kemuliaan seperti apa yang akan Allah berikan kepada saya nanti di surga, setelah mengalami segala penderitaan ini dengan penuh kesabaran?”
Di tengah perjalanan pemuda tersebut dicegat oleh perampok yang dulu pernah merampok si cacat tadi. Penjahat itu telah membunuh sembilan puluh sembilan orang dan dia ingin menjadikan pemuda itu korban yang ke-seratus. Saat hendak dibunuh pemuda itu berseru, “Jangan bunuh.., saya tidak membawa kekayaan apapun, tujuan saya hendak berguru kepada Nabi Musa.” Mendengar nama Nabi Musa disebut, si perampok mengurungkan niatnya, wajahnya mendadak muram, lalu dengan memohon ia minta tolong kepada si pemuda tadi agar menyampaikan salam dan pesannya kepada Nabi Musa: “ Saya sudah membunuh sembilan puluh sembilan orang dan saya ingin bertobat apakah kiranya Allah akan menerima tobat saya..?”
Setelah bertemu dengan Nabi Musa, pemuda itu menyampaikan perihal si cacat dan perampok tadi. Nabi Musa menjawab: Orang cacat itu penghuni neraka dan Allah akan mengampuni dosa-dosa si perampok serta memasukkannya ke surga. Si pemuda heran, “mengapa demikian..?” Musa menjawab, ciri-ciri penghuni surga itu dia selalu berharap akan kebaikan Allah, seberapapun besarnya dosa yang dilakukan ia tidak pernah berputus asa kepada Tuhan. Perampok itu diampuni karena mengharap-harap RahmatNya.
Nabi Musa melanjutkan, adapun si Cacat itu, yang di ingat-ingat hanya kebaikan dan amal-amalnya, dia merasa aman dan mengandalkan pada upaya yang tak seberapa itu. Dia sama sekali lupa akan nikmat yang telah Allah berikan kepadanya melalui semut yang mengantarkan buah ke mulutnya dan hujan/embun yang menghampirinya selama sepuluh tahun. Karena menuntut keadilan Tuhan, maka amalnya ditimbang berdasarkan sifat ke-Maha Adilannya.
Allah berfirman dalam QS Al Hajj ayat 47
وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
: “Dan sesungguhnya satu hari (menurut perhitungan) Tuhanmu adalah seperti 1000 tahun menurut perkiraanmu.”.
Jika usia hidup manusia sekitar 60 tahun, maka setara dengan 1,4 jam di alam akhirat. Selama 60 tahun itu sepertiganya (20 tahun) dipakai untuk tidur, sepertiga lagi untuk bekerja, dan sisanya untuk keluarga, hiburan dan ibadah. Seandainya sholat kita dalam sehari membutuhkan waktu 7 menit x 5 = 35 menit, berarti ibadah kita seumur hidup itu dalam pandangan Allah hanya 2,1 menit saja. Apa yang bisa diandalkan dengan waktu sependek itu dihadapan samudera nikmat Allah dan surganya yang seluas langit dan bumi. Adakah seorang bos mau menggaji pelayannya yang hanya bekerja selama 2,1 menit seumur hidupnya?, apalagi ia menuntut dana pensiun lengkap dengan berbagai fasilitas-fasilitas yang sungguh tidak layak untuknya?. Untungnya Tuhan kita adalah Ar Rahiim (yang maha penyayang kepada hambanya)
لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ » . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ
Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.” “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, tanya beberapa sahabat. Beliau menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)