Lahirnya Demokrasi di Eropa
Ketika Martin Luther menentang beberapa ajaran dan praktik Gereja Katolik Roma melalui 95 Tesis yang ditempelkan di gereja Wittenberg Jerman pada tahun 1517 maka pemikiran reformasinya segera beredar luas hingga mencapai Prancis, Inggris, dan Italia. Paus Leo X menjatuhkan sangsi ekskomunikasi pada tahun 1521 dan memaklumkan Martin Luther sebagai pelanggar hukum. Sejak saat itu dimulailah krisis berdarah Katolik-Protestan, konflik sektarian terburuk dalam sejarah Eropa. Perang ini tidak saja melibatkan rakyat sipil tapi juga antar negara: Jerman, Inggris, Spanyol, Tahta Suci, Bohemia, Perancis, Belanda, Denmark, Swedia, Turki dll. Korban Perang sepanjang 1524 sd.1651 mencapai 10 hingga 18 juta jiwa.
Belajar dari pengalaman pahit ini, John Locke, filosof Inggris dalam bukunya a letter concerning toleration (1689), menekankan bahwa negara jangan terlalu ikut campur dalam kebebasan ibadah menurut agama masing-masing. Melalui tulisan-tulisannya toleransi beragama berkembang dan meluas di Eropa. Voltaire, tokoh reformis Perancis mempopulerkan pemikiran John Locke lewat bukunya Letters in the English (1734). Ia memiliki komitmen terhadap toleransi umat beragama, terutama ketika orang-orang Protestan diburu di Perancis. Sastrawan ini berjuang melawan fanatisme dan mendukung kebebasan beragama.
Selanjutnya Locke menerbitkan bukunya Two Treatises of Government yang isinya tentang ide dasar konstitusi demokrasi liberal. Locke meyakini bahwa tiap manusia memiliki hak alamiah, bukan hanya hak hidup, tetapi juga kebebasan pribadi dan hak atas pemilikan sesuatu. Tugas pemerintah adalah melindungi penduduk dan hak milik warga negara. Voltaire turut menyebarkan ide-ide John Locke di Perancis. Pendiriannya sangat gigih dalam membela kebebasan berbicara, ungkapannya yang terkenal: “Saya tidak setuju apa yang kau bilang, tapi akan saya bela mati matian hakmu untuk mengucapkan itu”.
Pembatasan kekuasaan mutlak raja-raja dimulai di Inggris lewat Magna Carta (1215). Piagam Besar ini lahir dari perselisihan antara Paus, Raja John, dan para Baronnya atas hak-hak raja. Magna Carta mengharuskan raja untuk membatalkan beberapa hak dan menghargai beberapa prosedur legal, dan untuk menerima bahwa keinginan raja dapat dibatasi oleh hukum. Beberapa abad selanjutnya (1689) dicetuskan Bill of Rights yang merupakan undang-undang parlemen Inggris, yang isinya mengatur tentang: kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen; kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat; Pajak, UU dan pembentukan tentara harus seijin parlemen; Hak warga negara untuk memeluk agama menurut kepercayaan masing-masing; dan Parlemen berhak untuk mengubah keputusan raja.
Puncaknya pada 1789 di Perancis, Monarki absolut yang telah memerintah selama berabad-abad runtuh dalam waktu tiga tahun. Ide-ide lama yang berhubungan dengan tradisi dan hierarki monarki, aristokrat, dan Gereja Katolik digulingkan secara tiba-tiba dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Sepanjang tahun 1793-1794 antara 16.000 hingga 40.000 rakyat Perancis tewas dalam revolusi. Revolusi ini telah menimbulkan dampak yang mendalam terhadap perkembangan sejarah modern. Pertumbuhan republik dan demokrasi liberal, menyebarnya sekularisme, dan perkembangan ideologi modern adalah beberapa warisan dari Revolusi Perancis.
John Locke menyampaikan bahwa pemerintah baru dapat menjalankan kekuasaannya atas persetujuan yang diperintah, ini berarti menolak hak suci raja. Kemerdekaan pribadi dalam masyarakat berada di bawah kekuasaan legislatif yang disepakati dalam suatu negara. Jika wakil rakyat tidak bisa memenuhi amanahnya maka bisa dijungkirkan oleh rakyat. Locke juga mengemukakan perlunya ada pemisahan kekuasaan, legislatif harus lebih unggul daripada eksekutif dan yudikatif (waktu itu merupakan cabang dari eksekutif). Lebih lanjut Montesqueieu menulis buku Spirit of the laws (1748), yang memisahkan kekuasaan dalam pemerintahan menjadi legislatif, eksekutif dan Yudikatif.
Toleransi, Hak Asasi Manusia, pembatasan dan pemisahan kekuasaan (untuk mencegah kekuasaan absolut), serta partisipasi rakyat dalam menentukan pemerintahan adalah landasan bagi demokrasi. Sebagai tatanan bagi manusia yang hidup di era modern.
Penghambat Lahirnya Demokrasi – Refleksi Sejarah Islam
Yusuf Qaradhawi, ulama populer dari Mesir menyebut demokrasi sebagai barang hilangnya umat Islam. Tidak ada larangan dalam syariat Islam untuk mengutip ide, teori atau praktik dari kalangan non muslim, karena ilmu pengetahuan atau hikmah itu milik orang mukmin yang hilang, maka dimana saja dia mendapatinya ia berhak atasnya.
Pertanyaannya adalah mengapa kesempatan untuk melahirkan demokrasi dalam 1000 tahun lebih masa peradaban Islam bisa terlewatkan?. Berikut beberapa faktor penyebabnya:
- Militerisme sepanjang perjalanan sejarah Islam
Islam sejak awal kelahirannya selalu bersentuhan dengan militerisme. Pada jaman Nabi saw peperangan demi peperangan dilakukan melawan kafir Qurays. Di masa Abu Bakar dilakukan mobilisasi pasukan melawan pemberontakan (riddah) setelah itu diletakkan fondasi untuk ekspansi ke luar jazirah Arabia. Di era Umar, pasukan muslim berhasil menaklukkan Romawi dan Persia, dua super power di masa itu. Salah satu pahlawan yang berjasa dalam kemenangan besar ini adalah Khalid bin Walid. Tetapi ketika Umar berkuasa jenderal brilian ini diberhentikan. Kasus pemecatan Khalid bin Walid ini dapat dianalisis sebagai upaya memelihara supremasi ibukota negara (Madinah) atas hierarki markas besar di pertempuran yang terjadi ribuan kilometer jauhnya. Dengan cara demikian supremasi pemerintahan sipil atas bala tentara dipelihara terus menerus selama operasi penaklukan.
Selama 700 tahun semenjak kelahiran Islam, peran kaum militer profesional berkembang melalui beberapa tahapan: 1). Muncul tentara profesional pada permulaan Islam (era Khulafaur Rasyidin); 2). Fungsionalisasi tentara sebagai alat pasifikasi wilayah-wilayah Imperium yang baru direbut atau yang sedang mengalami pemberontakan (era dinasti Umayah dan Abbasiyah paruh awal); 3). Munculnya kekuatan militer sebagai penguasa pemerintahan secara nyata. Pada paruh akhir dinasti Abbasiyah, muncul penguasa-penguasa (sultan) Turki yang memerintah secara de facto atas nama dinasti. Mereka sebelumnya adalah para budak yang sejak kanak-kanak dilatih militer untuk dijadikan bodyguard khalifah, gubernur dan para pejabat tinggi. Para pengawal itu lalu membunuh majikannya dan mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan. Mereka saling menyerang satu sama lain sehingga melemahkan dinasti Abbasiyah.
Pasca jatuhnya Abbasiyah, dengan lahirnya Turki Utsmani dan lain-lain, semuanya tetap menunjukkan berlangsungnya pemerintahan militer di kalangan masyarakat muslim. Hingga saat inipun pemerintahan militeristik masih menghantui hidup bangsa-bangsa di sebagian dunia muslim. Penekanan pada stabilitas kekuasaan pemerintahan menggunakan cara-cara militer mengakibatkan minimnya partisipasi rakyat dalam menentukan roda pemerintahan yang demokratis.
- Ulama yang melegitimasi kekuasaan mutlak penguasa
Tradisionalisme politik Islam Suni, sangat menekankan absolutisme dan kedaulatan penguasa vis a vis rakyat. Para ulama cenderung ada dalam posisi submisif terhadap penguasa politik. Mereka cenderung memberikan legitimasi dan justifikasi keagamaan kepada penguasa absolut, misal dengan pemberian gelar dzill Allah fil al ardh (bayang-bayang Allah di muka bumi) kepada para sultan. Merasa jengkel saja, apalagi berani melawan pada penguasa merupakan bughat (pemberontakan), yang bukan saja merupakan pelanggaran politik tetapi sekaligus merupakan pelanggaran agama.
Sejak masa dinasti Umayah, penguasa muslim umumnya tidak memiliki otoritas keagamaan. Abbasiyah yang menggantikan juga tidak lebih baik. Bahkan mereka memperkuat absolutisme kekuasaan dengan mengambil alih konsep dan kultur politik Persia pra Islam yang sangat menekankan absolutisme penguasa . Akhirnya peran Ulama terpinggirkan dan terjadi pemisahan antara agama dan politik. Memang ulama-ulama tertentu mendapat tempat dalam struktur keagamaan (misal Syaikhul Islam), tetapi dikontrol secara ketat dan mereka mendapatkan fasilitas dari para penguasa sehingga menjadi sangat tergantung pada kekuasaan politik. Hal ini menyebabkan konsep pemikiran yang menekankan pada absolutisme kekuasaan politik tetap menjadi paradigma yang dominan. Daya kritis rakyat untuk mengevaluasi kinerja penguasa serta partisipasi masyarakat dalam pemerintahan sangat rendah. Hal seperti ini masih bisa kita jumpai pada pemerintahan muslim di jaman modern, contohnya Arab Saudi.
Kegetiran yang diberi pembenaran agama itu adalah bom waktu. Para ulama yang tidak mengerti peta global ini malah mencarikan dalil agama untuk menolak demokrasi, yang menjadi alat bagi penguasa untuk mempertahankan rejimnya. Agama yang seharusnya diajarkan adalah yang membebaskan manusia dari segala penderitaan dan ketidakadilan. Agama yang memberikan ruang kepada manusia untuk berpartisipasi secara aktif di lingkungannya masing-masing tanpa rasa takut atau dimata matai. Ruang itu bisa diberikan oleh demokrasi yang implementasinya disesuaikan dengan bingkai kultur bangsa masing-masing.
- Kemakmuran yang hanya untuk tujuan kemewahan dan kekuasaaan
Penemuan benua Amerika oleh Colombus, Meksiko oleh Cortes dan Pizzaro di Peru mendatangkan kekayaan yang melimpah, terutama emas di Eropa. Kemakmuran ini dimanfaatkan untuk menyokong gairah intelektual yang sedang merebak di eropa melalui Renaissance. Meski Eropa sempat terkoyak-koyak oleh perang saudara dan sektarian tapi bersamaan dengan itu lahir pula ilmuwan-ilmuwan kawakan seperti Calvin, Copernicus, Kepler, Francis Bacon, Harvey, Galileo, Descartes, Leeuwenhoek, Isaac Newton dll. Termasuk juga John Locke, Voltaire, Rousseau yang melalui ide mereka gagasan tentang demokrasi dirumuskan dan dikampanyekan. Melalui tangan dingin para ilmuwan itu tatanan dunia baru dirintis dan dibangun kembali.
Sebaliknya di dunia muslim saat itu (era Turki Utsmani), kekayaan yang melimpah dari penaklukan-penaklukan lebih besar dinikmati oleh lingkaran kekuasaan untuk kemewahan dan mempertahankan cengkeraman kekuasaan. Perilaku boros dan serakah para penguasa seperti ini berlangsung terus dari generasi ke generasi. Seperti kita ketahui di era modern saat ini, kekayaan melimpah di negara-negara Arab tertentu tidak digunakan untuk proses pencerahan, tetapi justru untuk kemewahan pribadi. Para Tiran memasung akal merdeka rakyatnya, agar tidak protes atau memberontak kepada penguasa.
Fatimah Mernisi, penulis dan sosiolog dari Maroko menyampaikan kritiknya bahwa pembahasan tentang demokrasi di Arab telah berlangsung selama 150 tahun, tetapi tetap saja ditolak dengan alasan merupakan budaya impor dari Barat. Anehnya mobil, listrik, televisi dll yang juga merupakan barang impor malah dinikmati. Alasan sesungguhnya dari penolakan itu adalah bukan karena asing sifatnya melainkan karena demokrasi akan membahayakan kepentingan para elit yang telah sekian lama memonopoli kekuasaan dan kekayaan. Kekuasaan mereka akan tumbang sekali rakyat diberikan hak untuk menentukan nasibnya melalui demokrasi.
- Padamnya gairah dan kreativitas di bidang Intelektual
Abad ke-10 kegairahan akan kreativitas intelektual merosot tajam di kalangan umat islam. Hadirnya Al Ghazali di abad 11 yang memadukan tasawuf dan syariat dan meminggirkan filsafat menandakan gejala hilangnya minat umat Islam pada sains dan intelektual. Abad-abad selanjutnya umat lebih larut dalam mistisisme tasawuf sehingga berkurang daya kritisnya tentang hukum-hukum alam dan tatanan kehidupan duniawi.
Perlawanan kultural pada pemerintahan militeristik muncul dalam bentuk produk literer dari kaum agamawan yang mendalami hukum agama (para ahli fiqih). Walaupun produk literer itu tidak mampu merubuhkan pemerintahan militeristis (pada 400 tahun terakhir dinasti Abbasiyah), tapi ia mampu mengembangkan cara hidup yang hakikatnya berlawanan dengan sendi-sendi pemerintahan militeristik itu sendiri. Islam tersebar di seluruh penjuru dunia justru mengambil corak perlawanan kultural tersebut, baik dalam etik sosialnya maupun pandangan hidupnya.
Perlawanan kultural tersebut akan mencapai tujuannya apabila diletakkan dalam kerangka lebih luas dari apa yang dimilikinya selama ini. Ia tidak lagi cukup hanya menjadi ekspresi keimanan sebagai muslim untuk penegakan ajaran formal Islam belaka, tetapi harus menjadi bagian dari upaya kemanusiaan umum untuk membebaskan rakyat yang tertindas dari belenggu kenistaan, kehinaan dan kemiskinan yang menurunkan derajatnya sebagai makhluk yang mulia. Dari tangan dan tinta pejuang kultural yakni para cendekiawan inilah harapan umat digantungkan. Permata-permata yang hilang dari umat beriman, seperti halnya demokrasi, HAM, toleransi, egaliterian (kesetaraan), sains dan teknologi, moralitas dll bisa kembali ditemukan.
Link Terkait:
>>Syura dan Demokrasi >> DEMONusaSyuraKRASI
Referensi:
- Abdurrahman Wahid, “Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah”, dalam Prisma Pemikiran GusDur
- Azyumardi Azra, “Islam dan Konsep Negara”, dalam Fiqih Kebhinekaan-Maarif Institute
- Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan-Sebuah Refleksi Sejarah
- Tamim Ansary, Dari Puncak Baghdad : Sejarah Dunia Versi Islam
- Michael H.Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah
- https://learniseasy.com/ham-pengertian-sejarah-jenis-macam-dan-penegakannya.html#
- https://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Perancis
- http://en.m.wikipedia.org/wiki/Thirty_Years’_War