Imam Abul Hasan Syadzili dilahirkan di desah Ghamarah, Maroko, pada tahun 1197 M. Beliau memiliki garis keturunan Rasulullah saw melalui cucu lelakinya, Hasan bin Ali. Dibesarkan di lingkungan keluarga pemeluk islam yang taat yang menganut madzhab Maliki.
Abul Hasan menghafal Al-Qur’an dan mempelajari islam secara tekun sejak kanak-kanak. Dia menjadi pelajar yang berbakat dan mendapatkan pengakuan di daerahnya kala masih berusia di awal dua puluhan. Dia Sering terlibat dalam diskusi dan perdebatan ilmiah dengan para cendekiawan lokal terkemuka lainnya. Namun kemudian dia merasa jenuh dengan perdebatan dan argumentasi hukum yang kering itu, serta merindukan kepuasan personal dan kedamaian batin.
Dia mulai mencari guru spiritual dalam hal tasawuf dan ma’rifat. Abul Hasan menemukan seorang wali Qutub bernama Syeikh Abdussalam Ibnu Masyis dari Fez. Beliau seorang syarif (keturunan Rasulullah saw) yang terkenal dengan Shalawat Masyis-nya. Di antara guru-guru Abul Hasan, Ibn Masyis-lah yang sangat mempengaruhi perjalanan spiritual dan kehidupannya. Atas nasihatnya pula Abul Hasan meninggalkan Fez menuju Tunisia dan tinggal di sebuah daerah bernama Syadzili, hingga ia dikenal sebagai Abul Hasan Asy-Syadzili.
Imam Abul Hasan Syadzili membangun sebuah Zawiyah di Tunisia pada 1228 M. Dalam salah satu pengasingan spiritualnya, Imam Syadzili mendapatkan sebuah visi yang menyuruhnya keluar dan mengajak para penduduk setempat untuk kembali pada ajaran islam yang suci. Beliau bersama murid-muridnya memberikan ceramah ke kota-kota dan desa-desa lokal. Gerakan ini kemudian dikenal dengan nama Tarekat Syadziliyah. Penduduk setempat merespon ajakannya dengan sangat antusias dan menjadi penganut tarekatnya. Spiritualitas islam-pun menyebar ke seluruh penjuru Tunisia, Maroko, dan berbagai wilayah di Afrika Utara.
Pada tahun 1224, di usia 47 tahun Imam Syadzili mengaku mendapatkan ilham lagi yang menyuruhnya hijrah ke Mesir untuk mendakwahkan islam di sana. Beliau memutuskan untuk meninggalkan Tunisia menuju Iskandariah. Di Mesir beliau medapatkan sambutan hangat dari rakyat secara umum dan terutama para ulama, pejabat pemerintah, dan kelompok sufi lainnya. Tokoh-tokoh terkenal seperti Izzuddin bin Abdul Salam, Al Mundziri, dan Abu Fath al-Wasithi mendukung dakwah beliau dalam rangka menghidupkan kembali ajaran dan spiritualitas islam.
Masa hidup Imam Syadzili merupakan salah satu periode penting dalam sejarah sufisme. Pada masa ini bermunculan banyak tokoh sufi berpengaruh di berbagai penjuru dunia Islam. Mereka itu diantaranya adalah Mu’inuddin Chisti, Syihabuddin Umar al-Suhrawardi, Jalaludin Rumi, Abu Madyan Shu’aib al-Maghribi, Muhyiddin bin Al-Arabi. Merekalah yang menjaga piijar islam terus menyala di tengah banyaknya tantangan di bidang politik, sosial dan kultural yang dihadapi oleh kaum muslimin pada saat itu.
Abul Hasan Asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tulis di bidang tasawuf, begitu juga penerusnya, Abul Abbas al-Mursi. Fokus utama ajarannya adalah pencapaian kesucian batin dan pencerahan spiritual melalui praktik zikir terus menerus atau menyebut nama dan sifat Ilahiah (al-Asma wa al-Shifat). Kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari tasawuf Syadziliyah. Beliau menghindari praktik asketisme yang ekstrim tapi justru menganjurkan bentuk asketisme yang berimbang dan moderat untuk mengangkat dan meninggikan jiwa tanpa merusak badan.
Sebagai ajaran, Tareqat ini dipengaruhi oleh Al-Ghazali dan Abu Thalib al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: “Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid Al- Ghazali”. Perkataan yang lainnya: “Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karya Al-Ghazali, mewarisi anda ilmu. Sementara Kitab Qut al-Qulub, karya Abu Thalib al-Makki, mewarisi anda cahaya.”
Tarekat Syadziliah mempunyai lima prinsip dasar yang harus menjadi ciri sikap dan tingkah laku setiap pengikutnya, yakni: 1) Bertaqwa kepada Allah, baik dalam keadaan sunyi maupun dalam keadaanramai; 2). Mengikuti sunnah Rasulullah; 3). Berkhalwat; 4). Ridha kepada Allah; 5). Senantiasa mengingat Allah baik dalam keadaan lapang maupun sulit.
Ahmad bin Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa, dan biografi keduanya, sehingga khasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibnu Atha’illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut dalam magnum opusnya, al-Hikam. Dia secara sistematis menjelaskan prinsip prinsip fundamental dari tarekat ini bagi generasi selanjutnya.
Imam Syadzili wafat ketika hendak berangkat menunaikan ibadah haji di tahun 1258 M. Pada saat yang sama, dunia islam menghadapi ancaman politik dan militer yang serius dari gerombolan berkuda Mongol. Ibukota kekhalifahan Abbasiyah luluh lantak menjadi puing. Dalam perjalanan ke Makkah Imam Syadzili mendengar kabar kejatuhan Baghdad. Ia menghembuskan nafas yang terakhir lalu dimakamkan di Mesir, yaitu di daerah Humaitsara dekat pantai Laut Merah.