Masyarakat Indonesia banyak yang salah mengartikan apa yang dimaksud dengan istilah “Islam Nusantara”. Mereka beramai-ramai membully term Islam Nusantara sebagai Islam aliran baru, bid’ah, dan sesat. “Siapa nabinya, apa kitabnya”, adalah pertanyaan-pertanyaan mereka yang menolak tema Muktamar NU pada tahun 2015 di Jombang Jawa Timur itu. Sedang bagi yang menerima istilah Islam Nusantara, mereka mengartikan sebagai Islam yang diamalkan masyarakat Nusantara.
NU sebagai pengusung istilah Islam Nusantarapun tak luput dari cibiran penolaknya. Lebih-lebih melalui media sosial. Pertanyaannya, seberapa ilmu pengetahuan agama kita dibanding dengan para ulama, habaib, kyai, professor, dan intelektual NU yang sudah dikenal pecinta ilmu? NU yang diistilahkan sebagai pesantren besar, dan pesantren adalah NU kecil merupakan lingkungan hidup umat Islam mainstream ini. NU beraqidah ahlussunah wal jamaah. Sudah pasti tidak gegabah membuat term Islam Nusantara sebagai media dakwah Islam yang tasamuh, tawassuth, tawazun, dan ta’adul. Islam yang bisa menebar kasih sayang bagi seluruh alam. Bukan Islam yang melahirkan kengerian (Islamophobia), juga bukan Islam yang mudah menuduh kafir, bid’ah, sesat kepada kelompok yang berbeda paradigm dengannya.
Islam Nusantara mudah kita temui sehari-hari di masyarakat Nusantara, khususnya masyarakat pulau Jawa. Corak ber-Islam yang santun, menyatu dengan kearifan lokal, memiliki nilai toleransi yang tinggi antar umat beragama dan antar sesame manusia (ukhuwah basyariyah). Bukan ajaran baru mengenai Islam yang berasal dari Indonesia. Untuk melihat lebih dalam tentang konsep Islam Nusantara, kita bisa membaca sejarah metode dakwah Walisongo, yang mampu menyebarkan Islam tanpa perang dan dapat di terima oleh masyarakat Nusantara khususnya penduduk Jawa. Bagaimana strategi dakwah Walisongo sehingga dapat dengan mudah di terima oleh masyarakat Nusantara?
Pada saat Walisongo mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat Nusantara, sebagian masyarakat masih menganut agama Hindu dan Budha. Beberapa kerajaan memiliki petinggi yang agamanya Hindu dan Budha. Hal ini berpengaruh kepada corak kebijakan dan budaya yang berkembang di Nusantara. Banyak temuan penelitian menyatakan bahwa para alim ulama yang tergabung dalam Walisongo, lebih banyak menggunakan instrumen budaya lokal untuk digunakan sebagai media dakwah Islam. Seperti dengan media wayang, gong gamelan, tembang macapat, dan lain sebagainya.
Wayang kulit yang sekarang masih bisa kita temui pada acara-acara hiburan di daerah Jawa merupakan media dakwah Walisongo yang ampuh untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Pada saat itu masyarakat sudah sangat akrab dengan budaya wayangan yang biasanya di selenggarakan pada saat upacara kelahiran, pernikahan atau upacara tolak balak, namun biasanya kegiatan wayang di tambah dengan sesaji. Karena itulah Walisongo memasukkan unsur Islam kedalamnya, sekarang muncul lakon dan cerita yang disesuaikan dengan agama Islam seperti layang kalimasodo yang mengajarkan syahadat, atau tokoh punakawan yang merupakan penasihat Pandawa dan membawa misi agama Islam. jika kita bandingkan dengan cerita Pandawa dari India, maka tidak akan kita jumpai tokoh punakawan.
Media lain untuk penyebaran Islam yaitu melalui galeman dan tembang. Musik gamelan dan tembang memang sangat lekat dengan kepercayaan jaman dulu, oleh Walisongo di sisipkan ajaran Islam di dalamnya. Tembang tombo ati dan lir ilir misalnya, kedua temang tersebut di ciptakan bertujuan sama yaitu mengajak manusia agar lebih bertakwa kepada Tuhan. Ada juga tembang-tembang Macapat, seperti maskumambang, sinom, kinanti, pangkur, dan lainnya.
Perayaan adat masyarakat Jawa pada saat itu juga sangat lekat dengan musik gamelan. Karena itulah Walisongo kemudian menyelenggarakan sekaten dan grebeg maulud yang diselenggarakan pada saat hari lahir Nabi Muhammad Saw. Dalam perayaan ini gamelan diperdengarkan agar mengundang penduduk sekitar untuk datang, kemudian dilanjutkan pemberian dakwah dan pemerian sedekah raja berupa gunungan makanan, maka masyarakat mulai tertarik untuk mempelajari Islam. Kemudian sesaji dan slametan di ubah niatnya, yang dulunya sesaji di buat untuk dewa sekarang dibuat untuk dijadikan sedekah kepada tetangga. Slametan di ubah niat dan doanya, bukan lagi berdoa kepada dewa, tapi berdo’a kepada Allah Swt.
Selain melalui budaya Walisongo juga menyebarkan Islam melalui dunia pendidikan.
Dengan mendirikan berbagai pesantren untuk pusat pendidikan Islam dan mengajarkan nilai-nilai Islam yang santun serta mengamalkannya. Jika santri sudah lulus dari pesantren, santri tersebut dapat mendirikan pesantren di daerahya masing-masing, sehingga Islam dapat berkembang secara lebih cepat.
Dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam berdakwah kita tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikuti apa yang kita mau, tetapi kita harus mampu berlaku arif untuk mengajak kepada kebaikan atau ajaran Islam yang benar. Lalu kenapa praktik beragama Islam yang ada di Indonesia tidak sama dengan yang ada di Arab sebagai kelahiran Islam? Karena agama Islam dapat diamalkan dimana saja, dengan budaya apa saja yang tidak melanggar syariat. Sehingga Islam selalu kontekstual kapanpun dan dimanapun. Islam bukan Arab dan Arab tidak selalu Islam. Mari belajar berpikir jernih, sehingga bisa membedakan mana Islam dan mana budaya.