Fiqih Islam merupakan ilmu yang mengatur tata cara kehidupan seorang muslim, termasuk dalam hal thaharah atau bersuci, yang merupakan syarat sah pelaksanaan ibadah. Salah satu pembahasan penting dalam fiqih thaharah adalah mengenai penyucian dari najis. Najis terbagi menjadi tiga kategori, yaitu najis mukhaffafah (ringan), najis mutawassithah (sedang), dan najis mughallazhah (berat). Najis mughallazhah adalah najis yang dianggap paling berat dalam syariat, contohnya adalah air liur anjing sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad ﷺ:
طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucikanlah bejana salah seorang dari kalian yang dijilat anjing dengan cara membasuhnya tujuh kali, salah satunya dengan tanah” (HR. Muslim).
Ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam fiqih, air dan tanah memiliki fungsi penting sebagai media penyucian yang tidak dapat digantikan oleh zat lain. Jika ditinjau dari sudut pandang kimia, perintah penggunaan air dan tanah dalam penyucian najis mughallazhah dapat dijelaskan secara ilmiah. Air (H₂O) merupakan molekul polar dengan sudut ikatan 104,5°, yang memiliki kemampuan membentuk ikatan hidrogen (hydrogen bonding). Sifat polaritas air menjadikannya sebagai universal solvent atau pelarut universal, karena mampu melarutkan senyawa ionik seperti garam (NaCl), serta senyawa organik polar seperti asam amino dan protein. Dalam menyucikan najis air liur anjing, air berfungsi untuk melarutkan komponen organik yang terkandung di dalamnya, seperti enzim amilase, lipase, protein saliva, asam amino bebas, serta sisa metabolit bakteri. Selain itu, air juga berperan dalam mengurangi konsentrasi mikroorganisme patogen yang terdapat dalam air liur anjing, misalnya Pasteurella multocida, Staphylococcus aureus, dan Capnocytophaga canimorsus.
Namun, air saja tidak cukup efektif dalam menghilangkan keseluruhan sifat najis mughaladzhah. Air liur anjing memiliki kandungan lipid dan glikoprotein yang bersifat hidrofobik (tidak larut air), sehingga cenderung melekat kuat pada permukaan bejana atau kulit. Pada titik inilah tanah berperan. Tanah secara kimia mengandung mineral silikat (SiO₂), aluminosilikat, oksida besi (Fe₂O₃), serta senyawa karbonat seperti CaCO₃. Struktur koloid tanah, terutama pada partikel lempung (clay), memiliki luas permukaan spesifik yang sangat tinggi dan bermuatan negatif, sehingga mampu mengikat molekul organik bermuatan positif maupun kation logam. Proses ini dikenal dengan istilah adsorpsi, di mana senyawa-senyawa organik dalam air liur anjing dapat menempel pada permukaan partikel tanah dan dinetralkan. Selain itu, partikel tanah yang bersifat abrasif membantu melepaskan lapisan lendir saliva yang bersifat lengket. Beberapa jenis tanah juga mengandung senyawa antimikroba alami, misalnya ion besi (Fe³⁺) dan aluminium (Al³⁺) yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen.
Apabila dianalisis lebih mendalam, proses penyucian najis berat dengan kombinasi air dan tanah dapat dijelaskan dengan baik. Air, dengan polaritasnya, melarutkan komponen organik dan mengencerkan konsentrasi bakteri. Tanah, melalui sifat koloid dan mineralnya, menyerap, mengikat, dan menginaktivasi sisa kontaminan. Mekanisme ini mirip dengan prinsip kimia analitik dalam proses adsorpsi menggunakan zeolit atau karbon aktif, di mana zat terlarut berikatan dengan permukaan padatan yang bermuatan. Selain itu, beberapa penelitian mikrobiologi menunjukkan bahwa tanah yang kaya akan mineral tertentu memiliki efek antimikroba alami, sehingga mampu menekan pertumbuhan bakteri dari air liur anjing. Dengan demikian, praktik mencuci tujuh kali, salah satunya dengan tanah, memiliki dasar ilmiah yang kuat baik dari aspek kimia maupun biologi.
Dari pandangan fiqih, jawaban atas pertanyaan “apakah benar air dan tanah dapat mensucikan najis berat?” sangat jelas: ya, karena didasarkan pada hadis sahih Nabi Muhammad ﷺ. Namun, jika ditinjau dari perspektif ilmu pengetahuan, ketentuan tersebut juga dapat dipahami secara rasional. Air berperan sebagai pelarut utama yang membersihkan secara fisik, sementara tanah bertindak sebagai agen kimiawi dan biologis yang mendukung proses dekontaminasi. Dengan kata lain, ketentuan syariat Islam mengenai thaharah sejalan dengan prinsip-prinsip sains modern tentang higienitas dan dekontaminasi.














