Gembong kafir Quraisy: Al Walid ibn al Mughiroh, Aswad Ibn Abdul Muthalib, Umayah Ibn Khalaf menawarkan kompromi menyangkut pelaksanaan tuntunan agama. Usul mereka agar nabi beserta umatnya mengikuti dan melaksanakan kepercayaan musyrik Quraisy selama setahun demikian sebaliknya. Nabi menjawab “Aku berlindung kepada Allah, dari tergolong orang-orang yang mempersekutukan Allah”. Lalu turunlah surat Al Kafiruun, yang merupakan surat ke 19, turun sesudah surat al Maun dan sebelum al Fiil.
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“ Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
Diin dapat berarti agama, balasan, dan kepatuhan. Dengan alasan bahwa kaum musyrikin Makkah tidak memiliki agama maka sebagian ulama mengartikan diin dengan “balasan”. Ayat tsb difahami senada dengan
قُلْ لَا تُسْأَلُونَ عَمَّا أَجْرَمْنَا وَلَا نُسْأَلُ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Katakanlah: “Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat”. (QS Saba’ : 25)
Jika Diin dimaknai dengan agama, maka ayat ini berarti mempersilahkan mereka menganut apa yang mereka yakini. Karena Nabi sudah mendakwahi mereka dengan ajaran agama yang benar dan mereka bersikeras menolak ajaran tersebut, kelak di hari kemudian masing2 akan mempertanggungjawabkan pilihannya.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat… (QS. Al Baqarah : 256)
QS AL Kafirun ayat 6 ini merupakan pengakuan eksistensi secara timbal balik. Sehingga masing-masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapat kepada orang lain tetapi sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing. Absolutisme ajaran agama adalah sikap jiwa ke dalam, tidak menuntut pernyataan atau kenyataan di luar bagi yang tidak meyakininya. Ketika kaum musyrikin bersikeras menolak ajaran Islam, maka demi kemaslahatan bersama, Allah memerintahkan Nabi SAW menyampaikan di QS Saba’ 24-26, bahwa:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ قُلِ اللَّهُ ۖ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَىٰ هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
- Katakanlah: “Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah”, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.
قُلْ لَا تُسْأَلُونَ عَمَّا أَجْرَمْنَا وَلَا نُسْأَلُ عَمَّا تَعْمَلُونَ
- Katakanlah: “Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat”.
قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ
- Katakanlah: “Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui”.
Pada ayat tsb terlihat bahwa ketika absolutisme diantar keluar, ke dunia nyata Nabi SAW tidak diperintahkan menyatakan apa yang di dalam keyakinan tentang kemutlakan kebenaran ajaran Islam, tetapi justru sebaliknya, kandungan ayat tsb bagaikan menyatakan: Mungkin kami yang benar, mungkin pula kamu, mungkin kami yang salah, mungkin pula kamu, serahkan saja kepada Tuhan yang memutuskannya.
QS Al Kafiruun ini sering dipakai untuk menolak ucapan selamat natal, hal ini perlu dikritisi. Allah berfirman dalam QS. Maryam ayat 33
وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari Aku dilahirkan, pada hari Aku meninggal dan pada hari Aku dibangkitkan hidup kembali”.
Ayat ini mengabadikan serta merestui ucapan selamat hari kelahiran (Natal) yang diucapkan pertama kali oleh Nabi Isa. Ucapan selamat Natal diperbolehkan selagi tidak ada pengakuan tentang keTuhanan Yesus Kristus yang dapat mengaburkan akidah Islam. Ucapan natal yang disampaikan umat islam adalah dalam konteks keyakinan :
قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا
Berkata Isa: “Sesungguhnya aku Ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, (QS Maryam : 30)
Ucapan selamat/salam/shalawat boleh disampaikan kepada seluruh nabi-nabi sebagai hamba dan utusan Allah. Merayakan hari natal dalam konteks keyakinan ini juga dibolehkan sebagaimana Nabi saw juga merayakan hari keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun dengan berpuasa ‘Asyura. Puasa ini diwajibkan oleh Nabi kepada umat islam sebelum berubah hukumnya menjadi sunah dengan turunnya perintah puasa Ramadhan.
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى الهُم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى الهُل بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ نَحْنُ نَصُوْمُهُ تَعْظِيْمًا لَهُ
Nabi SAW tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :”Apa ini?” Mereka menjawab :”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur”. Maka beliau Rasulullah menjawab :”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” (HR. Bukhori-Muslim)
Jadi tidak ada salahnya mengucapkan selamat natal selama aqidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Al Quran sendiri yang telah mengabadikan ucapan selamat Natal itu. Demikian pula dengan menghadiri upacara natal yang bukan ritual. Hal ini dilakukan semata-mata dalam konteks keharmonisan hubungan bertetangga, pertemanan dalam bingkai persatuan negara (NKRI)
Pendapat ini bisa dianalogikan dengan pendapat beberapa ulama yang menyatakan bahwa seorang nasrani bila menyembelih binatang halal atas nama al Masih putera maryam, maka sembelihan itu boleh dimakan oleh muslim, baik penyebutan tersebut diartikan sebagai permohonan shalawat dan salam untuk beliau atau dengan arti apapun (Al Biqa’i dalam kitab Ar Raudhoh, dalam menafsirkan QS Al An’am :121).
Referensi:
- M. Quraish Shihab, 2011, Tafsir Al Misbah : Pesan-Kesan-dan Keserasian Al Qur’an, cetakan IV, Lentera Hati, Ciputat-Tangerang
- Zuhairi Misrawi, 2017, Al Qur’an Kitab Toleransi : Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil Alamiin, Pustaka OASIS, Jakarta
- M. Quraish Shihab, 2010, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, cetakan IX, Lentera Hati, Ciputat-Tangerang